INFLASI adalah konsep ekonomi yang menggambarkan peningkatan harga-harga umum barang dan jasa selama periode tertentu. Secara sederhana, inflasi membuat uang yang kita miliki hari ini mungkin tidak memiliki nilai beli yang sama dengan esok hari. Hal ini terjadi karena dengan inflasi, harga barang dan jasa cenderung meningkat.
Pada tingkat dasar, inflasi diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Ketika permintaan barang atau jasa meningkat lebih cepat daripada kemampuan ekonomi untuk memproduksinya, harga cenderung naik.
Inflasi juga dapat disebabkan oleh faktor lain seperti peningkatan biaya produksi atau kebijakan moneter yang ekspansif. Penjelasan ini disederhanakan dari teori yang dijelaskan oleh Milton Friedman dalam bukunya "Money Mischief: Episodes in Monetary History" (1992), dimana dia mengatakan, "Inflasi adalah fenomena moneter."
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Kemudian, inflasi dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab dan tingkat kenaikannya. Misalnya, inflasi ringan yang terjadi ketika kenaikan harga relatif lambat, dan inflasi galop, di mana harga naik dengan sangat cepat. Inflasi hiper, yang jarang terjadi, adalah kondisi di mana harga meningkat secara ekstrem dan tidak terkendali. Jenis-jenis inflasi ini dijelaskan dengan lebih rinci oleh ekonom Paul Krugman dalam bukunya "The Return of Depression Economics" (1999).
Penting untuk mengukur inflasi karena ini memberikan gambaran tentang kesehatan ekonomi suatu negara. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Indeks Harga Produsen (IHP). IHK mengukur perubahan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga, sedangkan IHP mengukur perubahan harga di tingkat produsen. Cara pengukuran ini dijelaskan oleh Thomas J. Sargent dalam karyanya "Rational Expectations and Inflation" (1986).
Dalam jangka panjang, inflasi dapat memiliki dampak yang signifikan pada ekonomi. Contohnya, inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli konsumen dan menyebabkan ketidakpastian ekonomi. Di sisi lain, inflasi yang terlalu rendah dapat menandakan kelemahan dalam permintaan, yang juga berpotensi merugikan ekonomi. Analisis ini sesuai dengan yang ditemukan dalam penelitian oleh Carmen M. Reinhart dan Kenneth S. Rogoff, dalam buku mereka "This Time is Different: Eight Centuries of Financial Folly" (2009).
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Secara keseluruhan, memahami inflasi adalah kunci untuk memahami banyak aspek ekonomi, dari kebijakan moneter hingga keputusan investasi pribadi. Meskipun konsepnya mungkin tampak rumit, pemahaman dasar tentang inflasi sangat penting untuk semua orang, tidak hanya bagi ekonom atau pelaku pasar.
Sejarah dan Asal Usul Konsep Inflasi
Konsep inflasi telah ada sejak lama, meskipun pemahaman kita tentangnya telah berkembang seiring berjalannya waktu. Inflasi, sebagai fenomena ekonomi, mulai mendapatkan perhatian serius pada masa Revolusi Industri, ketika perubahan ekonomi dan sosial besar-besaran mulai terjadi. Namun, catatan tentang peningkatan harga dan devaluasi mata uang dapat ditelusuri kembali ke peradaban kuno.
Salah satu contoh awal inflasi terjadi di Kekaisaran Romawi. Selama periode ini, para penguasa sering mengurangi kandungan emas dan perak dalam koin mereka untuk membiayai pengeluaran berlebihan, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan nilai mata uang dan meningkatnya harga barang. Detail ini dijelaskan Peter Temin dalam bukunya "The Roman Market Economy" (2012), yang meneliti ekonomi Romawi dan praktik moneternya.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Pada abad ke-17 dan ke-18, konsep inflasi mulai lebih terstruktur seiring dengan perkembangan teori ekonomi. Ekonomi merkantilisme, yang mendominasi pemikiran ekonomi Eropa pada masa itu, melihat inflasi dari perspektif keseimbangan perdagangan dan aliran emas dan perak (Adam Smith, "The Wealth of Nations", 1776).
Era modern membawa pemahaman yang lebih dalam tentang inflasi, terutama dengan pengembangan teori ekonomi Keynesian pada awal abad ke-20. John Maynard Keynes, dalam bukunya "The General Theory of Employment, Interest, and Money" (1936), mengemukakan gagasan bahwa inflasi terjadi ketika permintaan agregat dalam ekonomi melebihi pasokan agregat. Ini menandai pergeseran pemikiran dari hanya fokus pada penawaran uang menjadi pemahaman yang lebih luas tentang dinamika ekonomi.
Periode pasca Perang Dunia II juga penting dalam sejarah inflasi. Masa ini ditandai dengan pengalaman inflasi tinggi di banyak negara, termasuk hiperinflasi di Jerman pasca-Perang Dunia I dan inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an, terutama di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Pengalaman-pengalaman ini memberikan pelajaran penting dan membantu mengembangkan alat kebijakan moneter yang digunakan untuk mengelola inflasi saat ini, seperti yang dijelaskan oleh Milton Friedman dan Anna Schwartz dalam karya mereka "A Monetary History of the United States" (1963).
Dengan demikian, sejarah inflasi adalah cerita tentang bagaimana pemahaman manusia tentang ekonomi dan kebijakan moneter telah berevolusi. Dari koin Romawi yang dicampur hingga kebijakan suku bunga modern, konsep ini terus menjadi pusat dalam pemikiran dan praktik ekonomi.