HAK asasi manusia (HAM) merujuk pada hak dan kebebasan dasar yang dimiliki setiap individu tanpa memandang ras, jenis kelamin, kebangsaan, agama, atau karakteristik lainnya. HAM lahir dari keyakinan bahwa setiap manusia memiliki martabat dan nilai yang sama. Karenanya, perlu adanya perlindungan terhadap hak dan kebebasan tersebut agar terhindar dari pelanggaran yang dapat merendahkan martabat manusia.
Pada intinya, HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan. Hak ini tidak dapat diambil alih, diberikan, atau ditarik kembali oleh pihak manapun, termasuk negara.
Menurut John Locke dalam bukunya "Two Treatises of Government" (1689), manusia dilahirkan dengan hak asasi seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan memiliki properti. Locke berpendapat bahwa tugas pemerintah adalah melindungi hak-hak tersebut, bukan merampasnya.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Selain itu, perjuangan pengakuan dan perlindungan HAM telah memengaruhi berbagai dokumen internasional, salah satunya adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Dokumen ini mendasari banyak perjanjian internasional lainnya yang berupaya melindungi dan mempromosikan hak dan kebebasan setiap individu.
Pemahaman tentang HAM terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan tantangan yang muncul. Meski demikian, prinsip dasarnya tetap sama: setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan dan pengakuan atas martabat dan hak-haknya. Upaya global dan nasional dalam mengadvokasi dan melindungi HAM harus terus diperkuat demi terwujudnya dunia yang adil dan beradab.
Sejarah Perkembangan HAM di Dunia
Sejarah perkembangan HAM tak lepas dari serangkaian peristiwa dan pergerakan sosial yang berlangsung selama berabad-abad. Di zaman Yunani Kuno, konsep tentang hak asasi manusia mulai muncul melalui pemikiran filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka membahas hak-hak dasar individu dan pentingnya kebebasan berpikir. Namun, pada masa itu, pemahaman tentang HAM masih terbatas pada kelompok tertentu, seperti warga negara bebas.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Lompat ke zaman Renaisans di Eropa, ide-ide tentang hak asasi manusia kembali mendapat sorotan, terutama dengan munculnya pemikiran tentang hak individu dan kebebasan sipil. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Voltaire berkontribusi besar dalam membentuk pemikiran tentang hak asasi manusia di era ini.
Namun, momentum besar dalam pengakuan HAM di tingkat global adalah setelah berakhirnya Perang Dunia II. Kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama perang menjadi katalis bagi masyarakat internasional untuk menetapkan standar hak asasi manusia. T
ahun 1948 menjadi tonggak sejarah dengan diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB. Dokumen ini menjadi landasan bagi banyak negara dalam merumuskan konstitusi dan hukum nasionalnya mengenai HAM.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Dalam dekade-dekade berikutnya, berbagai perjanjian dan konvensi internasional lainnya dibentuk untuk melindungi berbagai aspek HAM, seperti hak-hak perempuan, anak-anak, dan hak atas pembangunan. Upaya global ini menunjukkan betapa pentingnya memastikan perlindungan dan pengakuan atas hak asasi setiap individu, tak peduli latar belakang mereka.
Pentingnya HAM untuk Kehidupan Manusia
HAM bukanlah sekadar konsep atau ideologi yang didebatkan oleh filsuf dan ilmuwan hukum, namun merupakan pilar fundamental bagi kehidupan manusia. Tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap HAM, martabat dan integritas individu dapat dengan mudah dikompromikan atau dilanggar.
Pertama, HAM menjamin kebebasan dan kesempatan setiap individu untuk tumbuh dan berkembang. Setiap manusia berhak untuk hidup, mendapatkan pendidikan, bekerja, dan memenuhi kebutuhan dasarnya.
Dengan perlindungan HAM, individu dapat mengejar potensi dan aspirasinya tanpa rasa takut atau diskriminasi. Seperti yang diungkapkan oleh Amartya Sen dalam "Development as Freedom" (1999), kebebasan merupakan kunci dari pembangunan dan kemajuan manusia.
Kedua, HAM mempromosikan kesetaraan dan keadilan. Dengan prinsip bahwa setiap manusia lahir dengan hak yang sama, maka diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan dapat dicegah. Perlindungan terhadap HAM menjamin bahwa setiap individu diperlakukan dengan adil dan sama di hadapan hukum, tanpa memandang latar belakang etnis, agama, jenis kelamin, atau status sosial.
Ketiga, HAM juga berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial dan perdamaian. Dengan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak individu, potensi konflik dan ketegangan sosial dapat diminimalkan.
Seperti yang dijelaskan oleh Johan Galtung dalam "Peace by Peaceful Means" (1996), pengakuan HAM merupakan salah satu elemen kunci dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan.
Akhirnya, HAM mengajarkan kita tentang pentingnya empati, solidaritas, dan saling menghargai. Melalui pemahaman dan praktik HAM, kita diajak untuk melihat sesama bukan sebagai 'yang lain', melainkan sebagai bagian dari komunitas global yang memiliki hak dan martabat yang sama.