Mengatasi Narsisisme Digital: Dampak Media Sosial dan Solusi Kesehatan Mental

11/08/2023, 11:39 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Mengatasi Narsisisme Digital: Dampak Media Sosial dan Solusi Kesehatan Mental
Ilustrasi narsisme digital
Table of contents
Editor: EGP

DI era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan banyak orang. Dari segala macam latar belakang, usia, dan budaya, penggunaan media sosial telah meningkat pesat. 

Seiring dengan kemajuan teknologi dan aksesibilitas media sosial, muncullah berbagai tantangan terkait kesehatan mental, salah satunya adalah narsisisme yang dipicu oleh media sosial. 

Namun, apa sebenarnya dampak dari narsisisme ini terhadap kesehatan mental, apa saja faktor pemicunya, serta bagaiama pula strategi mengatasinya? 

Baca juga: Merumuskan dan Menjalankan Resolusi Tahun Baru

Dampak Narsisisme Media Sosial pada Kesehatan Mental

Media sosial, dengan semua kelebihan dan manfaatnya, juga memiliki dampak sampingan yang kurang menguntungkan. Salah satunya adalah peningkatan narsisisme di kalangan pengguna.

Menurut Jean M. Twenge dalam bukunya "The Narcissism Epidemic" (2009), peningkatan interaksi virtual dan penekanan pada citra diri digital dapat memperdalam rasa ketidakpuasan terhadap diri sendiri dan penerimaan sosial.

Dalam jangka panjang, hal itu  dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan rendah diri.

Baca juga: Mengungkap Rahasia Kecantikan: Panduan Lengkap Tipe Kulit dan Ciri-cirinya

(Lihat juga: narsisisme-di-media-sosial-dampaknya-pada-kesehatan-mental">Narsisisme di Media Sosial, Dampaknya pada Kesehatan Mental)

Bahkan, dalam kehidupan nyata, mereka yang terlalu fokus pada citra digital mereka mungkin menemukan kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal yang sehat dan mendalam.

Dr. Larry Rosen dalam "iDisorder: Understanding Our Obsession with Technology and Overcoming Its Hold on Us" (2012) menyatakan bahwa interaksi berlebihan dengan media sosial dapat mengganggu kualitas hubungan interpersonal dan pemahaman diri yang sehat.

Baca juga: Perlengkapan Apa yang Penting Dimiliki untuk Anak Kost?

Lebih lanjut, pengguna yang sering mencari validasi melalui jumlah "like", komentar, atau pengikut dapat mengalami penurunan harga diri jika ekspektasi mereka tidak terpenuhi. Ketergantungan pada validasi eksternal ini dapat memengaruhi persepsi individu tentang keberhasilan dan kebahagiaan, membuat mereka rentan terhadap gangguan emosional.

Faktor Pemicu Narsisisme di Media Sosial

Salah satu faktor utama pemicu narsisisme di media sosial adalah desain platform itu sendiri. Banyak platform media sosial dirancang untuk menekankan citra diri dan validasi eksternal.

Sherry Turkle dalam "Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other" (2011) menekankan bagaimana teknologi memengaruhi pembentukan identitas dan relasi kita.

Kebutuhan untuk 'dilihat' dan 'dihargai' mendorong banyak pengguna untuk mempresentasikan diri mereka dalam cahaya yang paling menguntungkan, sering kali mendistorsi realitas.

Selain itu, era informasi saat ini memberikan tekanan pada individu untuk selalu "tetap terhubung" dan "selalu tampil sempurna". Hal ini memicu keinginan untuk selalu memperbaharui status, memposting foto, dan berinteraksi dalam upaya untuk mempertahankan atau meningkatkan citra sosial.

Dalam "Culture of Narcissism: American Life in an Age of Diminishing Expectations" (1979), Christopher Lasch berpendapat bahwa budaya kontemporer mendorong individualisme yang berlebihan dan obsesi terhadap citra diri.

Fenomena "FOMO" (Fear of Missing Out) juga menjadi pemicu. Kekhawatiran akan ketinggalan informasi atau momen penting dapat mendorong seseorang untuk terus-menerus memeriksa dan memperbaharui profil media sosial mereka. Hal ini, dalam jangka panjang, dapat memperkuat perilaku narsistik dan ketergantungan pada validasi digital.

Strategi Mengatasi Dampak Narsisisme di Media Sosial

Dampak narsisisme dalam media sosial tidak dapat diabaikan, tetapi ada beberapa strategi yang dapat diadopsi untuk mengurangi efek negatifnya.

Pertama, pengakuan akan masalah ini dan pemahaman akan peran media sosial dalam hidup kita adalah langkah penting. Tristan Harris, seorang mantan etika desainer di Google, dalam berbagai pidatonya, telah menekankan pentingnya menggunakan teknologi dengan cara yang lebih sadar dan bertanggung jawab.

Kedua, menetapkan batasan waktu dalam menggunakan media sosial dapat membantu dalam mengurangi dampak narsisisme. Memahami bahwa media sosial hanyalah salah satu aspek dari kehidupan dan tidak menentukan nilai atau keberhasilan seseorang adalah penting.

Dr. Cal Newport dalam bukunya "Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World" (2019) menyediakan panduan tentang bagaimana mengurangi penggunaan teknologi secara keseluruhan.

Akhirnya, penekanan pada hubungan dan aktivitas dalam kehidupan nyata dapat membantu mengalihkan fokus dari citra digital. Menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga dan teman, atau mengejar hobi dan kepentingan lainnya, dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan mengurangi kebutuhan untuk validasi eksternal melalui media sosial.

Studi Kasus: Melawan Narsisisme Digital

Salah satu contoh inspiratif tentang bagaimana melawan narsisisme digital datang dari seorang influencer media sosial terkenal, Essena O'Neill. Pada tahun 2015, O'Neill, yang saat itu memiliki lebih dari 600.000 pengikut di Instagram, mengumumkan bahwa dia meninggalkan platform karena merasa bahwa kehidupannya telah dikonsumsi oleh obsesi akan citra digital yang "sempurna."

Dia mulai mengedit keterangan foto lamanya dengan keterangan yang jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik layar, termasuk tekanan untuk terlihat sempurna dan berjuang dengan harga diri.

Dia bahkan memulai sebuah situs web, "Let's Be Game Changers," untuk mendorong orang lain untuk melihat lebih dalam pada hidup mereka dan bagaimana mereka menggunakan media sosial.

Aksi Essena menarik perhatian media global dan memicu diskusi tentang realitas yang sering terdistorsi dari kehidupan media sosial. Ini menjadi contoh nyata tentang bagaimana individu dapat mengambil langkah-langkah untuk mengenali dan mengatasi dampak narsisisme digital dalam hidup mereka.

Kesimpulan

Di era digital saat ini, media sosial telah memengaruhi banyak aspek kehidupan kita, termasuk cara kita melihat diri sendiri dan berinteraksi dengan orang lain. Sementara platform ini menawarkan banyak keuntungan, dampak negatifnya, seperti peningkatan narsisisme, telah menjadi isu yang mendesak.

Penekanan berlebihan pada citra diri digital dan kebutuhan untuk mendapatkan validasi dari audiens virtual dapat merusak kesehatan mental seseorang.

Faktor pemicu seperti desain platform, budaya kontemporer, dan rasa FOMO memperkuat perilaku narsistik ini. Namun, dengan kesadaran dan upaya yang tepat, dampak buruk ini bisa diminimalkan.

Langkah-langkah seperti mengenali masalah, membatasi penggunaan, dan fokus pada hubungan nyata dapat membantu menjaga keseimbangan.

Studi kasus seperti Essena O'Neill menggambarkan bahwa perubahan positif memang mungkin, dan dengan pendekatan yang lebih sadar, kita dapat memanfaatkan media sosial tanpa mengorbankan kesejahteraan mental kita.

Referensi:

Jean M. Twenge, "The Narcissism Epidemic", Atria Books, 2009.

Dr. Larry Rosen, "iDisorder: Understanding Our Obsession with Technology and 
Overcoming Its Hold on Us", Palgrave Macmillan, 2012.

Sherry Turkle, "Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other", Basic Books, 2011.

Christopher Lasch, "Culture of Narcissism: American Life in an Age of Diminishing Expectations", W.W. Norton & Company, 1979.

Tristan Harris, Talks at various conferences on Ethical Technology Design.
Dr. Cal Newport, "Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World", Portfolio, 2019.

Essena O'Neill, "Let's Be Game Changers", website and media coverage, 2015.

Lifestyle Lainnya