POSITIVISME adalah pandangan filsafat yang menyatakan bahwa pengetahuan yang sah dan otentik berasal dari pengalaman indrawi dan observasi ilmiah. Dalam tradisi pemikiran ini, prinsip empirisme, metode ilmiah, dan penolakan terhadap metafisika menjadi dasar yang sangat esensial.
Empirisme menekankan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, metode ilmiah memandang pentingnya sistematis dan obyektivitas, sementara penolakan terhadap metafisika berfokus pada kritik terhadap klaim pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi.
Keyakinan pada Empirisme: Pengetahuan Berasal dari Pengalaman Indrawi
Empirisme adalah pandangan epistemologis yang mengedepankan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan. Filsuf seperti John Locke dan David Hume telah memperkenalkan ide ini ke dalam tradisi pemikiran Barat, dengan menyatakan bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah seperti "lembaran kertas kosong", yang kemudian diisi melalui pengalaman (Locke, An Essay Concerning Human Understanding, 1690).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Pengalaman indrawi, yang meliputi apa yang kita lihat, dengar, rasa, dan sentuh, menjadi titik awal dalam membangun pengetahuan. Dalam konteks ini, positivisme memandang bahwa observasi dan eksperimen merupakan cara terbaik untuk memperoleh informasi yang objektif dan dapat diandalkan.
Hal ini mencerminkan prinsip dasar ilmu pengetahuan yang modern, yang menekankan pentingnya metode empiris dalam penelitian (Hume, A Treatise of Human Nature, 1739).
Namun, pendekatan empiris ini tidak tanpa kritik. Ada argumen bahwa tidak semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi. Misalnya, konsep-konsep matematis atau logika, yang lebih bersifat abstrak.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Meski demikian, positivisme tetap berpendapat bahwa meskipun ada beberapa aspek pengetahuan yang tidak sepenuhnya bersumber dari pengalaman, metode empiris tetap menjadi cara terbaik untuk mendekati kebenaran (Kant, Critique of Pure Reason, 1781).
Dalam dunia modern, prinsip empirisme yang dianut positivisme tetap menjadi dasar bagi banyak disiplin ilmu. Dari ilmu alam hingga ilmu sosial, metode empiris menjadi landasan dalam melakukan penelitian. Hal ini membuktikan bahwa, meskipun ada tantangan dan kritik, keyakinan pada empirisme tetap relevan dan berdampak pada cara kita memahami dunia (Popper, The Logic of Scientific Discovery, 1959).
Mengedepankan Metode Ilmiah dalam Pencarian Pengetahuan
Metode ilmiah adalah pendekatan sistematis dalam menginvestigasi fenomena alam dan sosial dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang akurat dan dapat diulang. Proses ini melibatkan pengumpulan data melalui observasi dan eksperimen, serta analisis data untuk menghasilkan kesimpulan (Popper, The Logic of Scientific Discovery, 1959).
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Dalam menerapkan metode ilmiah, peneliti biasanya mengikuti serangkaian langkah tertentu. Dimulai dari penyusunan pertanyaan penelitian, hipotesis, observasi atau eksperimen, analisis data, hingga interpretasi hasil. Setiap langkah memiliki standar ketat untuk memastikan integritas dan keandalan temuan (Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 1962).
Bagi para penganut positivisme, metode ilmiah menjadi alat utama dalam pencarian pengetahuan. Mereka percaya bahwa melalui pendekatan ini, pengetahuan dapat dibangun dengan dasar yang kuat, obyektif, dan bebas dari bias. Positivisme menganggap metode ilmiah sebagai pendekatan yang paling mendekati kebenaran objektif (Comte, Course of Positive Philosophy, 1830).
Meskipun ada kritik terhadap metode ilmiah, khususnya dalam hal batasannya dalam memahami realitas kompleks, pendekatan ini tetap menjadi standar emas dalam banyak disiplin ilmu. Banyak inovasi dan kemajuan ilmiah yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari penerapan metode ilmiah yang ketat dan konsisten (Feyerabend, Against Method, 1975).
Penolakan terhadap Metafisika dan Pengetahuan Spekulatif
Metafisika telah lama menjadi bagian dari diskusi filsafat, yang mempelajari aspek-aspek kenyataan yang mendasar dan sifat-sifat dasar dari eksistensi. Hal ini mencakup pertanyaan tentang keberadaan, realitas, dan sifat waktu dan ruang (Aristoteles, Metaphysics, 350 B.C).
Positivisme, dalam pandangannya, menolak klaim-klaim metafisika yang tidak dapat diverifikasi melalui metode ilmiah atau pengalaman indrawi. Bagi para penganut positivisme, diskusi metafisika sering kali dianggap spekulatif dan tidak memberikan kontribusi konkret terhadap perkembangan pengetahuan (Comte, Course of Positive Philosophy, 1830).
Inti dari kritik positivisme terhadap metafisika adalah kebutuhan verifikasi. Jika sebuah klaim atau teori tidak dapat diverifikasi atau diuji melalui metode ilmiah, maka klaim tersebut dianggap tidak memiliki dasar yang kuat dalam realitas empiris. Dengan demikian, klaim-klaim spekulatif yang tidak dapat diverifikasi dianggap tidak relevan dalam pencarian pengetahuan yang sah (Ayer, Language, Truth, and Logic, 1936).
Meskipun positivisme mengkritik keras metafisika, bukan berarti metafisika sepenuhnya ditinggalkan dalam tradisi filsafat. Banyak filsuf yang tetap mempertahankan pentingnya metafisika sebagai salah satu cabang filsafat. Namun, pengaruh positivisme telah membuat banyak ilmuwan dan filsuf lebih kritis terhadap klaim-klaim yang tidak dapat diuji atau diverifikasi (Russell, A History of Western Philosophy, 1945).
Kesimpulan
Positivisme, sebagai salah satu pendekatan filsafat, memberikan kerangka pemikiran yang mengedepankan pengetahuan yang berasal dari pengalaman indrawi dan observasi ilmiah. Melalui prinsip empirisme, positivisme menekankan pentingnya pengalaman sebagai sumber utama dari pengetahuan.
Pendekatan ini juga mendorong penerapan metode ilmiah yang sistematis dan obyektif dalam pencarian pengetahuan.
Sementara itu, dalam konteks metafisika dan klaim pengetahuan spekulatif, positivisme mengajukan kritik tajam dengan menekankan pentingnya verifikasi. Meski memiliki kritik dan tantangan, prinsip-prinsip positivisme telah memberikan kontribusi signifikan dalam pembentukan dan pengembangan metode ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu, menunjukkan relevansinya yang mendalam dalam tradisi pemikiran modern.
Referensi:
John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, Clarendon Press, 1690.
David Hume, A Treatise of Human Nature, Oxford University Press, 1739.
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Cambridge University Press, 1781.
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery, Routledge, 1959.
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, University of Chicago Press, 1962.
Auguste Comte, Course of Positive Philosophy, Clarendon Press, 1830.
Paul Feyerabend, Against Method, Verso, 1975.
Aristoteles, Metaphysics, Clarendon Press, 350 B.C.
A.J. Ayer, Language, Truth, and Logic, Dover, 1936.
Bertrand Russell, A History of Western Philosophy, Simon and Schuster, 1945.