Bagaimana Menjaga Kemerdekaan di Era Digital

15/08/2023, 14:34 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Bagaimana Menjaga Kemerdekaan di Era Digital
Ilustrasi era digital
Table of contents
Editor: EGP

KETIKA kita membahas kemerdekaan di era modern, pemikiran kita dengan cepat akan teralihkan kepada teknologi digital yang kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Teknologi bukan hanya alat yang memfasilitasi aktivitas manusia, tetapi juga menjadi medan baru bagi aktualisasi diri, ekspresi, dan pertarungan nilai. 

Pada era digital ini, pemahaman tentang kemerdekaan pun mengalami pergeseran dan perluasan.

Teknologi dan Kemerdekaan

Teknologi telah mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, bahkan cara kita berpikir. Seiring dengan perkembangan teknologi, kita mendapatkan kemudahan dalam mengakses informasi, berbagi pengetahuan, dan berkolaborasi dengan orang dari seluruh dunia. 

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Manuel Castells dalam The Rise of the Network Society (1996) menyatakan, era digital telah membentuk "masyarakat jaringan" di mana individu memiliki kebebasan lebih besar dalam mengekspresikan diri dan memengaruhi masyarakat.

Namun, ada satu hal penting yang sering terlewatkan: dengan ketergantungan kita terhadap teknologi, sejauh mana kita benar-benar bebas? 

Saat kita menggunakan platform media sosial, misalnya, kita mungkin merasa bebas untuk berbagi pemikiran dan perasaan, tetapi di sisi lain, kita juga memberikan data pribadi kepada perusahaan-perusahaan besar. 

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Sebagaimana Shoshana Zuboff mengungkapkan dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019), ada pertarungan implisit antara kebebasan individu dan kepentingan ekonomi korporasi di era digital.

Era digital telah menyajikan kemudahan yang tiada tara bagi umat manusia. Teknologi, khususnya internet, telah memberikan kita platform untuk mendengar dan didengar. Dalam hal ini, teknologi dapat dianggap sebagai pemberi kemerdekaan. 

Namun, sepertinya yang diungkapkan oleh Marshall McLuhan dalam Understanding Media: The Extensions of Man (1964), "medium adalah pesan". Artinya, cara kita menerima informasi melalui teknologi ini telah membentuk cara kita berpikir dan berperilaku.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Dengan kemudahan akses informasi, masyarakat modern memiliki kemerdekaan untuk memilih sumber informasi yang mereka inginkan. Teknologi telah memberi kita kekuatan untuk memvalidasi dan memverifikasi informasi dengan cepat.

Namun, di sisi lain, terlalu banyak informasi atau yang dikenal dengan "information overload" dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakmampuan untuk membedakan fakta dari opini.

Sebagai contoh, fenomena "kamar gema" atau "echo chambers" di media sosial, di mana individu hanya dikelilingi oleh informasi yang mendukung pandangan mereka, memperkuat polarisasi dan mengurangi ruang untuk diskusi yang konstruktif.

Lebih jauh, teknologi telah mengubah definisi kemerdekaan itu sendiri. Jika dahulu kemerdekaan bisa diartikan sebagai kemampuan untuk bertindak tanpa batasan, kini di era digital, kemerdekaan bisa juga diartikan sebagai kemampuan untuk terkoneksi dan berinteraksi tanpa hambatan.

Namun, harus diingat bahwa koneksi ini juga membawa tanggung jawab. Seperti yang dikatakan oleh Peter Parker (atau lebih dikenal dari cerita Spiderman), "Dengan kekuatan besar datang tanggung jawab besar".

Oleh karena itu, meskipun teknologi memberikan kita kemerdekaan yang lebih luas, ia juga menuntut kita untuk bertindak dengan bijaksana.

Implikasi Teknologi terhadap Kemerdekaan Individu dan Privasi

Dengan kemajuan teknologi, informasi menjadi lebih terbuka dan mudah diakses. Akan tetapi, akses yang tak terbatas ini juga membawa risiko, khususnya bagi privasi individu.

Perangkat lunak pelacak, pengumpulan data oleh perusahaan besar, serta potensi pengawasan oleh pemerintah telah menjadi isu utama dalam diskusi kemerdekaan di era digital.  Bruce Schneier dalam Data and Goliath (2015) menjelaskan bagaimana data pribadi kita dikumpulkan, dianalisis, dan digunakan tanpa sepengetahuan kita.

Bukan hanya privasi yang menjadi taruhannya. Di era informasi, terdapat fenomena disinformasi dan misinformasi yang memengaruhi cara pandang individu dan memanipulasi realitas. 

Kebebasan untuk mengakses informasi sebenarnya juga harus diimbangi dengan keterampilan literasi digital untuk membedakan antara fakta dan fiksi.

Saat kita menyelami dunia maya, kita sebenarnya sedang memasuki ruang publik yang tak terbatas. Setiap tindakan, komentar, atau interaksi yang kita lakukan meninggalkan jejak digital.

Meskipun terasa seperti beraktivitas di ruang privat, sebenarnya kita sedang berada di bawah sorotan mata publik dan seringkali tanpa kita sadari.

Dalam konteks ini, Eli Pariser dalam bukunya The Filter Bubble (2011) mengungkapkan bahwa algoritma yang digunakan oleh platform digital cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi kita. Hal ini, meskipun terasa memanjakan, sebenarnya membatasi ruang gerak kita untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas.

Seiring dengan kemajuan teknologi, muncul pula berbagai perangkat yang terkoneksi dengan internet, dikenal dengan istilah Internet of Things (IoT). Mulai dari jam tangan pintar, kulkas, hingga lampu rumah, semua dapat dikendalikan melalui perangkat pintar kita.

Sementara ini memberikan kemudahan, juga meningkatkan risiko privasi. Data tentang keseharian, kebiasaan, hingga pola tidur pengguna dapat dengan mudah diakses dan dikumpulkan.

Andrew Keen dalam The Internet is Not the Answer (2015) mengkritik bagaimana model bisnis di balik teknologi ini seringkali memperdagangkan privasi pengguna demi keuntungan finansial.

Selain itu, keberadaan teknologi telah mengaburkan batasan antara ruang publik dan ruang privat. Media sosial kini menjadi etalase kehidupan pribadi. Kita dengan sukarela membagikan momen-momen pribadi, dari makanan yang kita makan, tempat yang kita kunjungi, hingga perasaan kita.

Meskipun ini memberikan kesempatan untuk terkoneksi dengan orang lain, juga membuka pintu bagi potensi pelanggaran privasi dan eksploitasi data oleh pihak ketiga.

Sebagai contoh, Roger McNamee, mentor dari pendiri Facebook, dalam bukunya Zucked (2019), menjelaskan bagaimana platform media sosial besar dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk keuntungan komersial, namun juga untuk manipulasi politik.

Tantangan Menjaga Kemerdekaan dalam Dunia Digital

Menghadapi dunia digital yang semakin kompleks, tantangan terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa kebebasan individu tidak dikorbankan. Salah satu tantangannya adalah terkait regulasi. Bagaimana pemerintah seharusnya mengatur dunia maya tanpa menghalangi kreativitas dan inovasi?

Lawrence Lessig dalam Code and Other Laws of Cyberspace (1999) menegaskan bahwa perangkat lunak dan kode komputer bisa menjadi bentuk regulasi baru, namun harus dibuat dengan mempertimbangkan hak dan kebebasan individu.

Selain regulasi, pendidikan dan kesadaran digital menjadi kunci. Masyarakat harus diberdayakan untuk memahami risiko dan peluang di era digital, serta dilengkapi dengan keterampilan untuk menjaga privasi dan kebebasan mereka sendiri.

Menghadapi era digital, kita berhadapan dengan tantangan ganda: memanfaatkan teknologi sebagai pendorong kemajuan sambil tetap menjaga prinsip-prinsip kemerdekaan dan kebebasan.

Di tengah kemudahan yang ditawarkan teknologi, tuntutan untuk selalu 'online' dan terkoneksi kadang menimbulkan tekanan tersendiri.

Nicholas Carr dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010) menggambarkan bagaimana teknologi, terutama internet, telah mengubah cara kerja otak kita, membuat kita kurang mampu untuk berpikir mendalam dan kritis.

Selanjutnya, kemajuan teknologi juga menyertakan kehadiran kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Meski AI dapat memudahkan berbagai aspek kehidupan, keberadaannya juga menimbulkan pertanyaan etika.

Misalnya, bagaimana AI dapat memengaruhi keputusan yang kita buat? Max Tegmark dalam Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence (2017) menekankan pentingnya menjaga agar AI tidak mengambil alih kebebasan manusia dalam membuat keputusan, serta memastikan bahwa AI digunakan untuk kemaslahatan manusia, bukan sebaliknya.

Tak hanya itu, di era digital ini kita juga dihadapkan pada fenomena cyberbullying, hate speech, dan disinformasi. Sementara platform digital memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk berekspresi, juga memberikan ruang bagi perilaku negatif yang dapat mengancam kemerdekaan dan kesejahteraan individu lain.

Danah Boyd dalam It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens (2014) menyoroti bagaimana remaja, sebagai generasi digital native, menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga kemerdekaan mereka di dunia maya, sekaligus memanfaatkan teknologi untuk ekspresi diri dan pembentukan identitas.

Dengan demikian, menjaga kemerdekaan di era digital memerlukan pemahaman yang mendalam, adaptasi, serta partisipasi aktif dari semua pihak. Baik individu, komunitas, perusahaan teknologi, hingga pemerintah harus bersinergi untuk menciptakan dunia digital yang kondusif, aman, dan berlandaskan prinsip kemerdekaan.

Kesimpulan

Dunia digital telah membawa transformasi luar biasa dalam cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan mendapatkan informasi. Di satu sisi, teknologi memberikan kita kebebasan yang belum pernah ada sebelumnya, memungkinkan kita untuk terkoneksi, berbagi, dan memperoleh wawasan dari berbagai sumber dengan kecepatan kilat.

Namun, di sisi lain, tantangan yang muncul seiring dengan kemajuan teknologi, mulai dari isu privasi, risiko disinformasi, hingga dilema etika di balik AI, memerlukan refleksi mendalam.

Kemerdekaan di era digital bukan hanya tentang akses tanpa batas, tetapi juga tentang pemahaman, tanggung jawab, dan kesadaran diri. Kita dituntut untuk selalu kritis, bijaksana dalam berinteraksi, serta menjaga batasan antara ruang publik dan privat di dunia maya.

Di tengah potensi luar biasa yang ditawarkan teknologi, penting bagi kita untuk selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, etika, dan integritas. Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa teknologi berfungsi sebagai alat pemberdayaan, bukan sebagai instrumen penindasan atau manipulasi.

Referensi:

Manuel Castells, The Rise of the Network Society, Blackwell Publishers, 1996.

Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism, PublicAffairs, 2019.

Bruce Schneier, Data and Goliath, W. W. Norton & Company, 2015.

Lawrence Lessig, Code and Other Laws of Cyberspace, Basic Books, 1999. 

Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man, McGraw-Hill, 1964.

Eli Pariser, The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think, Penguin Press, 2011.

Andrew Keen, The Internet is Not the Answer, Atlantic Monthly Press, 2015.

Roger McNamee, Zucked: Waking Up to the Facebook Catastrophe, HarperCollins, 2019.

Nicholas Carr, The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains, W. W. Norton & Company, 2010.

Max Tegmark, Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence, Vintage, 2017.

Danah Boyd, It's Complicated: The Social Lives of Networked Teens, Yale University Press, 2014.

OhPedia Lainnya