HUKUM sebagai landasan kehidupan masyarakat memiliki berbagai pendekatan dalam memahaminya. Salah satunya adalah positivisme hukum, yang selama berabad-abad telah menjadi titik perdebatan di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Namun, apa sebenarnya positivisme hukum itu? Mengapa pendekatan ini begitu penting dan sering menjadi pusat diskusi?
Definisi Positivisme Hukum
Positivisme hukum merupakan pandangan atau teori filosofis tentang hukum yang berfokus pada norma-norma yang tertulis dan diakui oleh masyarakat sebagai hukum. Dengan kata lain, hukum dipandang sebagai sesuatu yang independen dari pertimbangan moral, etika, atau nilai-nilai lainnya. Hukum dilihat sebagai produk manusia yang eksis dalam bentuk undang-undang dan regulasi, bukan sebagai hasil penemuan alamiah.
Menurut John Austin, salah satu pendukung utama dari positivisme hukum, hukum adalah perintah dari penguasa kepada rakyatnya dan harus dipatuhi, tanpa mempertimbangkan keadilannya (Austin, "The Province of Jurisprudence Determined", 1832).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Pendekatan ini memandang hukum dari sudut pandang teknis dan prosedural. Artinya, ketika sebuah aturan diakui sebagai hukum dalam suatu sistem hukum, maka itu adalah hukum, tanpa memandang konten moral atau etikanya. Dengan begitu, positivisme hukum memisahkan antara apa yang dianggap sebagai hukum (fakta) dengan apa yang seharusnya menjadi hukum (nilai).
Sejarah dan Latar Belakang Positivisme Hukum
Positivisme hukum memiliki akar sejarah yang panjang dan beragam. Meskipun konsep-konsep dasarnya telah ada sejak zaman Yunani Kuno, pemikiran positivistik modern umumnya dikaitkan dengan pemikir-pemikir Eropa pada abad ke-19.
Salah satu tokoh penting dalam tradisi ini adalah Jeremy Bentham, yang berargumen bahwa hukum harus bersifat ilmiah dan dapat diukur (Bentham, "An Introduction to the Principles of Morals and Legislation", 1789).
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Perkembangan lebih lanjut dari ide-ide Bentham diambil oleh muridnya, John Austin. Bagi Austin, esensi hukum adalah perintah penguasa yang didukung oleh ancaman sanksi. Konsep ini menjadi dasar pemikiran positivisme hukum untuk beberapa dekade ke depan.
Pada abad ke-20, teori ini mendapatkan kritik dan variasi baru dari tokoh-tokoh seperti HLA Hart, yang mengembangkan konsep 'aturan pengenalan' sebagai dasar bagi suatu sistem hukum (Hart, "The Concept of Law", 1961).
Seiring berjalannya waktu, positivisme hukum berkembang dan beradaptasi dengan tantangan-tantangan baru, tetapi prinsip dasarnya tetap konsisten: hukum didefinisikan oleh kriteria-kriteria formal, bukan pertimbangan moral atau etika.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Karakteristik Utama Positivisme Hukum
Fokus pada Norma Tertulis. Salah satu karakteristik paling mencolok dari positivisme hukum adalah penekanannya pada norma-norma hukum yang tertulis. Bagi para positivis, hukum yang sah adalah hukum yang secara eksplisit diakui dan ditegaskan dalam undang-undang atau regulasi.
Dalam konteks itu, keberadaan hukum dapat diverifikasi melalui dokumentasi resmi, dan bukan berdasarkan tradisi, kebiasaan, atau pertimbangan moral.
Pemisahan Hukum dari Moralitas. Para positivis memandang hukum dan moral sebagai dua entitas yang berbeda. Meskipun hukum tertentu mungkin berbasis atau menggambarkan nilai-nilai moral tertentu, validitas hukum itu sendiri tidak bergantung pada pertimbangan moral. Dengan kata lain, suatu norma dapat dianggap sah sebagai hukum meskipun dianggap tidak adil atau tidak etis.
Kedaulatan Hukum. Positivisme hukum memandang hukum sebagai hasil dari kehendak penguasa atau lembaga berwenang. Dalam pandangan ini, hukum eksis karena adanya keputusan dari pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk membuat hukum. Ini sering kali terkait dengan konsep kedaulatan negara, di mana hukum yang sah adalah hukum yang dikeluarkan oleh penguasa atau lembaga negara yang berwenang.
Hukum sebagai Sistem Tertutup. Dalam kerangka positivisme hukum, hukum dilihat sebagai sistem tertutup yang beroperasi berdasarkan aturan-aturan internalnya sendiri. Ini berarti bahwa pertanyaan tentang apakah suatu norma adalah hukum atau bukan dapat dijawab dengan merujuk pada aturan-aturan dalam sistem hukum itu sendiri, dan bukan dengan merujuk pada sumber-sumber eksternal seperti moral atau keadilan.
Netralitas dalam Penafsiran. Dalam menerapkan hukum, positivis berpendapat bahwa hakim dan pejabat hukum lainnya harus netral dan obyektif. Mereka harus menginterpretasikan dan menerapkan hukum sesuai dengan kata-katanya, tanpa membiarkan pertimbangan pribadi, politik, atau moral mempengaruhi keputusan mereka.
Dengan memahami karakteristik-karakteristik ini, kita dapat lebih memahami bagaimana pendekatan positivistik memengaruhi pemikiran dan praktik hukum di berbagai belahan dunia. Meskipun sering kali menjadi subyek kritik, positivisme hukum tetap menjadi salah satu pendekatan dominan dalam studi hukum.