SEJARAH konflik antara Israel dan Palestina adalah salah satu yang paling kompleks dan berlarut-larut di dunia. Meskipun konflik ini tampaknya berfokus pada beberapa dekade terakhir, akarnya mencapai kembali ribuan tahun. Berikut adalah ringkasan sejarah konflik antara dua kelompok itu.
Zaman Kuno
Konflik di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Israel dan Palestina bermula ribuan tahun yang lalu. Beberapa masyarakat kuno, termasuk Israel kuno dan Filistin, memperebutkan wilayah yang strategis ini.
Menurut catatan sejarah dan Alkitab, Kerajaan Israel dan Kerajaan Yehuda didirikan sekitar abad ke-10 SM, dan berhadapan dengan banyak musuh, termasuk Filistin (Morris, Righteous Victims, 1999).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Namun, pada tahun-tahun berikutnya, wilayah ini dikuasai oleh berbagai kekaisaran, termasuk Babilonia, Persia, Yunani, dan Romawi. Masing-masing dari mereka membawa perubahan budaya, agama, dan politik yang berbeda. Sementara beberapa periode menunjukkan ketegangan, periode lainnya ditandai oleh kerjasama dan perdamaian relatif (Gilbert, Israel: A History, 1998).
Zaman Modern
Era modern konflik Israel-Palestina dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, saat Zionisme, gerakan nasionalis Yahudi untuk mendirikan negara Yahudi di Tanah Suci, mulai berkembang. Palestina saat itu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah dan kemudian menjadi mandat Britania setelah Perang Dunia I (Smith, Palestine and the Arab-Israeli Conflict, 2017).
Tetapi seiring berjalannya waktu, permukiman Yahudi meningkat, dan ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab pun meningkat. Ini diperparah oleh klaim nasionalis dari kedua kelompok tersebut, yang masing-masing menganggap wilayah tersebut sebagai tanah air mereka. Kekerasan sporadis terjadi selama beberapa dekade berikutnya, dengan bentrokan besar pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Deklarasi Balfour (1917)
Deklarasi Balfour merupakan surat dari Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild, seorang pemimpin komunitas Yahudi di Inggris. Surat tersebut menyatakan dukungan pemerintah Inggris untuk "pendirian rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina" (Balfour, Deklarasi Balfour, 1917).
Meskipun Deklarasi Balfour tidak mengabaikan hak politik dan sipil komunitas non-Yahudi di Palestina, banyak orang Palestina memandangnya sebagai pengabaian hak mereka. Ini memicu protes dan bentrokan, serta memperdalam ketidakpercayaan antara kedua komunitas (Pappe, The Ethnic Cleansing of Palestine, 2006).
Deklarasi ini, bersama dengan kebijakan-kebijakan lain yang diadopsi oleh Inggris selama masa mandatnya, meletakkan dasar untuk konflik yang berkelanjutan antara Israel dan Palestina yang masih terus berlangsung hingga saat ini.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Mandat Inggris (1918-1948)
Setelah Perang Dunia I, Imperium Britania (Inggris) mengambil alih kontrol Palestina dari Kesultanan Utsmaniyah melalui Mandat Inggris untuk Palestina, yang diberikan oleh Liga Bangsa-Bangsa tahun 1922. Mandat ini memberi Britania otoritas untuk mengelola wilayah Palestina dengan tujuan mendirikan "rumah nasional bagi bangsa Yahudi" sesuai Deklarasi Balfour, namun juga mempertimbangkan hak-hak sipil dan agama penduduk non-Yahudi (Khalidi, The Iron Cage, 2006).
Selama periode Mandat Inggris, imigrasi Yahudi ke Palestina meningkat secara signifikan, menyebabkan ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab meningkat. Berbagai pemberontakan Arab terjadi sebagai tanggapan terhadap kebijakan Inggris dan peningkatan populasi Yahudi.
Inggris sendiri kesulitan mengelola ketegangan yang terjadi dan mencoba berbagai solusi, termasuk pembatasan imigrasi Yahudi dan rencana pemisahan wilayah (Shlaim, The Iron Wall, 2000).
Pembentukan Israel (1948)
Setelah Perang Dunia II, tekanan internasional untuk mendirikan negara Yahudi meningkat, terutama karena tragedi Holocaust di Eropa. Pada tahun 1947, PBB mengeluarkan Resolusi 181 yang merekomendasikan pemisahan Palestina menjadi dua negara: satu Arab dan satu Yahudi (Caplan, Palestine Jewry and the Arab Question, 1917-1925, 1978). Meskipun komunitas Yahudi menerima rekomendasi ini, banyak kelompok Arab menolaknya.
Pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion, pemimpin gerakan Zionis, mendeklarasikan pendirian negara Israel. Keputusan ini memicu perang dengan negara-negara Arab tetangga, yang dikenal sebagai Perang Kemerdekaan Israel atau Perang Nakba oleh Palestina. Ketika gencatan senjata dicapai pada tahun 1949, peta wilayah telah berubah secara signifikan, dengan Israel mengendalikan lebih banyak wilayah daripada yang disarankan oleh PBB (Morris, 1948: A History of the First Arab-Israeli War, 2008).
Perang 1967 (Perang Enam Hari)
Perang 1967, yang dikenal sebagai Perang Enam Hari, merupakan konfrontasi singkat namun transformatif antara Israel dan negara-negara Arab tetangga, termasuk Mesir, Yordania, dan Suriah. Pada awal Juni 1967, setelah meningkatnya ketegangan dan persiapan militer oleh kedua belah pihak, Israel melancarkan serangan mendadak ke Mesir. Dalam waktu enam hari, pasukan Israel berhasil merebut wilayah signifikan, termasuk Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur (Oren, Six Days of War, 2002).
Kemenangan taktis ini memberikan pengaruh strategis dan geopolitik besar bagi Israel. Namun, pendudukan wilayah-wilayah tersebut, terutama Tepi Barat dan Yerusalem Timur, menambah lapisan kompleksitas baru dalam konflik Israel-Palestina dan menjadi sumber ketegangan regional yang berkelanjutan.
Pendudukan dan Intifada
Setelah Perang 1967, Israel mulai menduduki wilayah-wilayah yang dikuasainya, termasuk Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pendudukan ini menghadapi perlawanan signifikan dari penduduk Palestina, yang merasa hak dan tanah mereka dirampas (Tessler, A History of the Israeli-Palestinian Conflict, 1994).
Intifada, yang berarti "pemberontakan" dalam bahasa Arab, merujuk pada dua gelombang besar protes dan perlawanan terhadap pendudukan Israel. Intifada pertama dimulai pada 1987, dengan demonstrasi, pemogokan, dan kekerasan batu-versus-peluru.
Intifada kedua, yang sering disebut sebagai "Intifada Al-Aqsa", dimulai pada tahun 2000 setelah kunjungan kontroversial pemimpin oposisi Israel, Ariel Sharon, ke kompleks Al-Aqsa. Intifada kedua ini jauh lebih mematikan dan melibatkan bentrokan bersenjata, serangan bom bunuh diri, dan operasi militer (Bickerton & Klausner, A History of the Arab-Israeli Conflict, 2009).
Kedua Intifada tersebut menggarisbawahi ketidakpuasan yang mendalam dan frustrasi penduduk Palestina terhadap pendudukan Israel dan menghasilkan tanggapan militer yang keras dari Israel, yang berdampak pada banyak korban jiwa di kedua belah pihak.
Proses Damai Oslo (1990-an)
Pada awal 1990-an, meningkatnya tekanan internasional dan kelelahan dari konflik yang berlarut-larut mendorong Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) ke meja perundingan. Proses ini menghasilkan Persetujuan Oslo, serangkaian kesepakatan yang ditandatangani di tahun 1993 dan 1995, yang mendasari pembentukan Otoritas Palestina dan pengakuan timbal balik antara Israel dan PLO (Quandt, Peace Process, 2001). Tujuannya adalah menciptakan solusi dua negara, di mana Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan dengan damai.
Meskipun ada optimisme awal, Proses Damai Oslo mengalami banyak hambatan, termasuk pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin pada tahun 1995 oleh seorang ekstremis Yahudi dan meningkatnya kekerasan dari kedua belah pihak. Meskipun demikian, periode ini merupakan salah satu upaya paling serius untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Abad ke-21
Awal abad ke-21 ditandai dengan Intifada kedua dan respons militer Israel yang keras, yang menyebabkan ribuan korban. Ketegangan berlanjut dengan pemilihan Hamas, yang berhaluan keras, sebagai pemerintah Jalur Gaza pada tahun 2006. Hal ini memicu serangkaian konflik bersenjata antara Hamas dan Israel di tahun-tahun berikutnya (Gelvin, The Israel-Palestine Conflict, 2014).
Meskipun ada upaya perdamaian yang berkelanjutan, termasuk inisiatif oleh Amerika Serikat dan negara-negara lain, solusi komprehensif untuk konflik tetap sulit dicapai. Perpecahan internal di kalangan Palestina antara Fatah dan Hamas, serta perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat, merupakan hambatan utama bagi perdamaian.
Isu-isu Kontemporer
Dalam dekade terakhir, beberapa isu kontemporer telah mendominasi lanskap konflik Israel-Palestina. Perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat telah mendapat kecaman internasional dan dianggap ilegal menurut hukum internasional (Black, Enemies and Neighbors, 2017). Di sisi lain, serangan roket dari Gaza ke Israel oleh kelompok-kelompok perlawanan Palestina telah menimbulkan kecaman dan tanggapan militer dari Israel.
Pemblokiran Israel terhadap Jalur Gaza, yang menurut Israel bertujuan untuk mencegah penyelundupan senjata, telah mendapat kecaman karena kondisi kemanusiaan yang memburuk di wilayah tersebut. Selain itu, isu-isu seperti status Yerusalem, hak pengungsi Palestina, dan pengakuan negara Palestina oleh komunitas internasional tetap menjadi titik kontroversi utama.
Referensi:
Morris, Benny. Righteous Victims. Alfred A. Knopf, 1999.
Gilbert, Martin. Israel: A History. Black Swan, 1998.
Smith, Charles D. Palestine and the Arab-Israeli Conflict. Palgrave Macmillan, 2017.
Balfour, Arthur James. Deklarasi Balfour. 1917.
Pappe, Ilan. The Ethnic Cleansing of Palestine. Oneworld Publications, 2006.
Oren, Michael B. Six Days of War. Presidio Press, 2002.
Tessler, Mark. A History of the Israeli-Palestinian Conflict. Indiana University Press, 1994.
Bickerton, Ian J. & Klausner, Carla L. A History of the Arab-Israeli Conflict. Prentice Hall, 2009.
Quandt, William B. Peace Process. Brookings Institution Press, 2001.
Gelvin, James L. The Israel-Palestine Conflict. Cambridge University Press, 2014.
Black, Ian. Enemies and Neighbors. Atlantic Monthly Press, 2017.