KAWASAN Timur Tengah, khususnya wilayah yang saat ini dikenal sebagai Israel dan Palestina, memiliki sejarah panjang dan kompleks. Penaklukan oleh berbagai kekaisaran telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah kedua bangsa ini. Salah satu periode paling signifikan dalam sejarah mereka adalah zaman kekuasaan Kekaisaran Romawi.
Penaklukan oleh Kekaisaran Romawi
Zaman Romawi adalah periode penting dalam sejarah konflik antara bangsa Israel dan Palestina. Pada abad ke-1 SM, Yerusalem dan sekitarnya dikuasai oleh Kekaisaran Romawi.
Pengaruh Romawi di kawasan ini dimulai ketika mereka mendukung Herodes Agung untuk menguasai wilayah Yudea (Magness, The Archaeology of the Early Islamic Settlement, 2003). Herodes, walaupun kontroversial, membangun banyak monumen, termasuk pembangunan ulang Bait Suci di Yerusalem.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Namun, pemerintahan Herodes dan keterlibatan Romawi tidak selalu diterima dengan baik oleh penduduk setempat. Banyak orang Yahudi yang merasa tertindas di bawah pemerintahan Romawi. Hal ini berujung pada berbagai pemberontakan melawan Romawi, salah satunya adalah Pemberontakan Besar yang dimulai tahun 66 M dan berakhir tahun 73 M dengan jatuhnya benteng Masada (Goodman, Rome and Jerusalem: The Clash of Ancient Civilizations, 2007).
Pemberontakan itu dipicu oleh ketidakpuasan terhadap kebijakan pajak Romawi dan tindakan-tindakan yang dianggap menghina tradisi Yahudi.
Pemberontakan tersebut melibatkan berbagai faksi Yahudi, mulai dari Zelot, yang ingin mengusir Romawi dari tanah Yahudi, hingga kelompok-kelompok lain yang memiliki pandangan moderat. Awalnya, pemberontakan itu berhasil membebaskan Yerusalem dari cengkeraman Romawi.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Namun, kekuatan militer Romawi yang luar biasa akhirnya berhasil mengalahkan para pemberontak (Schäfer, The History of the Jews in the Greco-Roman World, 2003).
Kekalahan itu sangat menyakitkan bagi orang Yahudi. Bait Suci di Yerusalem, pusat kehidupan keagamaan Yahudi, dihancurkan oleh tentara Romawi tahun 70 M. Ini adalah titik terendah dalam sejarah Yudaisme.
Penghancuran Bait Suci itu menandai akhir dari Yudaisme berpusat di Bait Suci. Tanpa Bait Suci, bentuk ibadah dan praktik keagamaan Yahudi mengalami transformasi. Sinagoge menjadi pusat ibadah utama dan rabin-rabin mulai memainkan peran kunci dalam interpretasi hukum dan tradisi Yahudi.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Perisitwa itu juga memicu awal dari diaspora Yahudi ke berbagai wilayah di luar Palestina, sebuah proses yang akan berlangsung selama berabad-abad ke depan (Magness, The Archaeology of the Early Islamic Settlement, 2003).
Walaupun banyak pemberontakan lain terjadi setelah itu, kekuatan Romawi tetap dominan. Salah satu pemberontakan terakhir adalah Pemberontakan Bar Kokhba (132-135 M), yang, meski gagal, meninggalkan jejak mendalam dalam memori kolektif bangsa Yahudi.
Sebagai akibat dari pemberontakan ini, Romawi melakukan represi besar-besaran, mengganti nama wilayah Yudea menjadi Palestina, dan memulai proses yang akhirnya menyebabkan penyebaran dan diaspora komunitas Yahudi ke berbagai penjuru dunia (Levine, The Ancient Synagogue: The First Thousand Years, 2000).
Perubahan Nama dari Yudea menjadi Palestina
Setelah kegagalan Pemberontakan Bar Kokhba antara tahun 132-135 M, Kekaisaran Romawi merasa perlu untuk menghilangkan semangat nasionalisme Yahudi dan mengurangi potensi pemberontakan di masa mendatang. Salah satu cara yang mereka gunakan adalah dengan menghapus identitas Yudea dari peta dan memori kolektif (Goodman, Rome and Jerusalem: The Clash of Ancient Civilizations, 2007).
Kaisar Romawi, Hadrianus, memutuskan untuk mengganti nama Yudea menjadi "Syria Palaestina", yang pada dasarnya adalah gabungan dari nama provinsi tetangga, Syria, dan nama Palaestina, sebuah nama yang berasal dari kata "Filistin" atau "Philistine".
Philistine adalah salah satu musuh tradisional bangsa Israel (dalam kisah di Alkitab). Dengan demikian, memakai nama ini tidak hanya menghilangkan identitas Yahudi dari wilayah tersebut tetapi juga menambahkan penghinaan dengan merujuk pada musuh lama mereka (Schäfer, The History of the Jews in the Greco-Roman World, 2003).
Langkah ini bukanlah sekadar perubahan administratif atau geografis semata. Mengganti nama Yudea menjadi Palestina merupakan tindakan simbolis yang dimaksudkan untuk memutus hubungan wilayah tersebut dengan sejarah dan identitas Yahudi. Selain mengganti nama, Hadrianus juga memulai kampanye untuk mendirikan koloni-koloni Romawi di wilayah tersebut dan mempromosikan budaya serta agama Romawi (Levine, The Ancient Synagogue: The First Thousand Years, 2000).
Nama "Palestina" akhirnya bertahan dan digunakan selama berabad-abad oleh berbagai kekaisaran dan bangsa yang menguasai wilayah tersebut, mulai dari Bizantium, Arab, hingga Kesultanan Utsmaniyah.
Meskipun demikian, memori kolektif dan identitas Yahudi terhadap tanah ini tetap kuat, dan aspirasi untuk kembali ke tanah leluhur ini terus berkembang di kalangan komunitas Yahudi di seluruh dunia (Magness, The Archaeology of the Early Islamic Settlement, 2003).
Referensi:
Magness, J. The Archaeology of the Early Islamic Settlement. Eisenbrauns. (2003).
Goodman, M. Rome and Jerusalem: The Clash of Ancient Civilizations. Vintage. (2007).
Schäfer, P. The History of the Jews in the Greco-Roman World. Routledge. (2003).
Levine, L. I. The Ancient Synagogue: The First Thousand Years. Yale University Press. (2000).