Bagaimana John Locke, George Berkeley, dan David Hume Mendefinisikan Pengetahuan

13/10/2023, 11:37 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Bagaimana John Locke, George Berkeley, dan David Hume Mendefinisikan Pengetahuan
Empirisme
Table of contents
Editor: EGP

EMPIRISME memiliki pengaruh mendalam dalam cara kita memahami dunia. Ini adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman inderawi. Bukan dari intuisi, takdir, atau ide bawaan sejak lahir. 

Sejak berabad-abad lalu, berbagai pemikir telah mencoba menjelajahi dan mendefinisikan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan dan apa arti "realitas" sebenarnya. 

Dalam tulisan ini, kita akan menyelami pemikiran tiga tokoh empirisme terkemuka: John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Setiap tokoh memberikan perspektif uniknya tentang bagaimana kita memahami dunia di sekitar kita. 

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

John Locke: Pendekatan empiris dan konsep tabula rasa

John Locke, lahir pada 1632 dan meninggal tahun 1704, dikenal sebagai salah satu tokoh empirisme terkemuka. Pendekatan empirisnya mencerminkan keyakinan bahwa pikiran manusia ketika lahir adalah seperti kertas kosong, yang ia sebut dengan konsep "tabula rasa."

Konsep ini menegaskan bahwa individu mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman dan interaksi dengan dunia luar, dan bukan dari konsep-konsep yang telah ada sejak lahir.

Dalam karyanya, "An Essay Concerning Human Understanding" (1689), Locke menjelaskan bahwa tidak ada ide atau konsep yang ada dalam pikiran kita sejak lahir. Semua ide dan konsep berasal dari pengalaman.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Ada dua jenis pengalaman yang diajukan oleh Locke: sensasi, yang berasal dari interaksi langsung dengan dunia luar melalui indera; dan refleksi, yang berasal dari introspeksi pikiran kita sendiri (Locke, An Essay Concerning Human Understanding, hal. 45).

Konsep tabula rasa ini menantang pandangan dominan pada masanya yang percaya bahwa manusia dilahirkan dengan pengetahuan dasar atau ide-ide tertentu. Locke berpendapat bahwa semua ide kita, baik yang sederhana maupun kompleks, berasal dari kombinasi pengalaman sensasi dan refleksi. Melalui proses asosiasi dan abstraksi, pikiran kita mengorganisir dan mengembangkan ide-ide ini menjadi konsep-konsep yang lebih kompleks.

Jadi, pemikiran John Locke telah memberikan dasar bagi perkembangan empirisme dan menantang pandangan tradisional tentang asal-usul pengetahuan. Pendekatannya memberikan fondasi bagi banyak penelitian dan teori selanjutnya dalam bidang filsafat, psikologi, dan ilmu lainnya.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Melalui pemikirannya, kita dapat memahami pentingnya pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan dan bagaimana pikiran manusia mengembangkan pemahaman tentang dunia.

George Berkeley: Empirisisme dan ide tentang realitas

Sebagai seorang tokoh penting dalam sejarah empirisme, George Berkeley membawa perspektif yang unik dan radikal tentang sifat realitas. Lahir pada tahun 1685 dan meninggal  tahun 1753, Berkeley dikenal dengan pendekatannya yang sering disebut sebagai "empirisisme idealis".

Dalam pandangannya, realitas pada dasarnya adalah ide dalam pikiran, dan keberadaan dunia luar sebagai entitas material adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan.

Berkeley mengemukakan argumennya dengan tegas bahwa segala sesuatu yang kita kenal sebagai obyek material hanyalah kumpulan ide atau persepsi. "Esse est percipi" atau "to be is to be perceived" menjadi prinsip sentral dalam filsafatnya.

Dengan kata lain, suatu obyek ada jika dan hanya jika obyek tersebut sedang dipersepsi (Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge, 1710, hal. 23).

Dia menantang pandangan konvensional yang mengatakan bahwa obyek-obyek memiliki keberadaan independen dari persepsi kita. Bagi Berkeley, ide-ide adalah satu-satunya realitas yang pasti. Misalnya, pohon yang ada di taman ada karena kita mempersepsinya, dan jika tidak ada makhluk yang mempersepsinya, pohon tersebut, dalam pandangan Berkeley, tidak ada.

Meskipun pandangan ini tampak kontroversial, Berkeley membangun argumennya dengan logika yang kuat dan konsisten. Dia berargumen bahwa kita tidak pernah benar-benar mengalami benda-benda material secara langsung, hanya persepsi atau ide tentang mereka. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk meyakini keberadaan dunia material di luar ide-ide kita.

Singkatnya, George Berkeley memberikan kontribusi mendalam dalam bidang empirisme dengan pandangan idealisnya tentang realitas. Dia menantang anggapan tradisional tentang keberadaan dunia material dan mengusulkan bahwa realitas sebenarnya adalah kumpulan ide yang dipersepsi oleh pikiran.

David Hume: Kritik terhadap konsep penyebab dan akibat

David Hume, tokoh empirisme asal Skotlandia yang hidup antara tahun 1711 hingga 1776, dikenal sebagai salah satu filsuf paling kritis dalam sejarah pemikiran Barat. Salah satu area kritik terpenting Hume adalah terhadap konsep penyebab dan akibat, yang merupakan fondasi dari banyak pemahaman ilmiah dan filosofis.

Menurut Hume, meskipun manusia sering menganggap bahwa suatu peristiwa menyebabkan peristiwa lain terjadi, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar menyaksikan "penyebab" itu sendiri.

Sebagai contoh, ketika kita melihat sebuah bola biliar memukul bola lain dan bola kedua tersebut bergerak, kita menganggap bola pertama menyebabkan bola kedua bergerak. Namun, Hume menantang anggapan ini dengan menyatakan bahwa kita hanya melihat dua peristiwa yang terjadi berurutan, bukan satu bola "menyebabkan" gerakan bola lainnya (Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, 1748, hal. 76).

Yang kita percayai sebagai hubungan sebab dan akibat, menurut Hume, sebenarnya hanyalah hasil dari kebiasaan dan ekspektasi kita. Kita telah melihat peristiwa-peristiwa tertentu terjadi berurutan begitu sering sehingga kita percaya ada hubungan sebab-akibat di antara mereka. Namun, kita tidak punya dasar rasional untuk meyakini bahwa masa depan akan mirip dengan masa lalu.

Hume juga berpendapat bahwa ide penyebab dan akibat tidak dapat ditemukan dalam pengalaman kita. Kita mungkin melihat dua peristiwa yang terjadi secara berurutan, tapi kita tidak pernah melihat "hubungan penyebab" di antara keduanya. Oleh karena itu, gagasan tentang sebab dan akibat adalah hasil dari penalaran kita sendiri, bukan sesuatu yang dapat diamati.

Secara keseluruhan, kritik Hume terhadap konsep penyebab dan akibat mengajak kita untuk merefleksikan dasar-dasar pemikiran kita. Dia menantang kita untuk mempertanyakan apa yang kita anggap sebagai "pengetahuan" dan bagaimana kita sampai pada kesimpulan tertentu. Kontribusi Hume dalam area ini telah membentuk banyak diskusi filosofis dan ilmiah selanjutnya.

Referensi:

Locke, John. "An Essay Concerning Human Understanding." Clarendon Press, 1689.
Berkeley, George. "A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge." Aaron Rhames, 1710.
Hume, David. "An Enquiry Concerning Human Understanding." A. Millar, 1748.

OhPedia Lainnya