Akar Intifada Pertama dalam Konflik Palestina Israel: Dari Latar Belakang hingga Resolusi

17/10/2023, 16:04 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Akar Intifada Pertama dalam Konflik Palestina Israel: Dari Latar Belakang hingga Resolusi
Ilustrasi Intifada
Table of contents
Editor: EGP

INTIFADA, yang dalam bahasa Arab berarti "pemberontakan", merujuk pada dua gelombang perlawanan besar-besaran oleh rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel. Intifada Pertama, yang dimulai pada akhir 1987, merupakan respons terhadap dekade-dekade ketidaksetaraan dan ketegangan yang meningkat di wilayah tersebut. 

Pemicunya adalah meningkatnya ketidakpuasan di kalangan penduduk Palestina terhadap kebijakan-kebijakan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta perasaan terabaikan oleh komunitas internasional. Frustrasi ini diperparah oleh peningkatan pemukiman Israel di wilayah yang diduduki dan kebijakan represif oleh tentara Israel (Morris, "Righteous Victims", 1999).

Sementara itu, peran organisasi Palestina, seperti PLO (Palestine Liberation Organization), dalam perjuangan kemerdekaan semakin melemah di mata masyarakat karena dianggap tidak efektif. Hal ini menciptakan kevakuman kepemimpinan dan ruang bagi masyarakat sipil untuk mengambil alih perjuangan. 

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Selain itu, pembantaian Sabra dan Shatila di Lebanon pada 1982 oleh milisi yang berkerja sama dengan Israel memperparah citra Israel dan meningkatkan kemarahan di kalangan rakyat Palestina (Shlaim, "The Iron Wall", 2000).

Kronologi

Pada 8 Desember 1987, sebuah truk milik Israel menabrak dua mobil di Jalur Gaza, menewaskan empat warga Palestina. Meski kejadian tersebut dianggap kecelakaan, rakyat Palestina melihatnya sebagai tindakan sengaja dan ini menjadi percikan api yang menyulut Intifada Pertama

Tak lama setelah kejadian tersebut, protes dan demonstrasi pecah di seluruh Tepi Barat dan Jalur Gaza. Demonstran menghadapi tentara Israel dengan batu, Molotov, dan barikade jalanan. Meski awalnya bersifat spontan, perlawanan ini segera mendapat dukungan dari kelompok-kelompok Palestina termasuk PLO (Smith, "Palestine and the Arab-Israeli Conflict", 2017).

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Dalam menanggapi perlawanan ini, Israel mengambil langkah-langkah keras, termasuk penangkapan massal, penggunaan gas air mata, dan pelarangan berkumpul. Namun, ketegangan semakin meningkat ketika Israel memulai kebijakan patah tulang, di mana tentara diperintahkan untuk mematahkan tulang tangan dan kaki para pemrotes dengan baton dan senjata lainnya. 

Kebijakan ini, yang dirancang untuk mencegah pemrotes melempar batu, mengundang kecaman internasional dan memperparah citra Israel di mata dunia (Roy, "The Gaza Strip: The Political Economy of De-development", 2016).

Intifada Pertama berlangsung selama enam tahun dan berakhir dengan Penandatanganan Kesepakatan Oslo pada 1993, yang menciptakan Otoritas Nasional Palestina dan membuka jalan bagi negosiasi lebih lanjut antara Israel dan Palestina.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Dampak

Intifada Pertama memiliki dampak mendalam baik bagi Israel maupun Palestina. Di pihak Palestina, intifada ini memperkuat identitas nasional dan kesadaran politik di kalangan rakyatnya. Mereka yang tadinya merasa terisolasi dan pasif menjadi aktif dalam perjuangan kemerdekaan mereka. Organisasi-organisasi grassroots tumbuh dan memainkan peran penting dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti pendidikan dan kesehatan, di tengah-tengah konflik (Kimmerling & Migdal, "The Palestinian People", 2003).

Untuk Israel, intifada ini menjadi pukulan telak bagi citra mereka di kancah internasional. Kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap demonstran yang sebagian besar tidak bersenjata mendapat kecaman keras dari komunitas internasional. 

Selain itu, biaya ekonomi dan militer yang dikeluarkan Israel untuk mengatasi intifada ini sangat besar, mengakibatkan ketegangan dalam masyarakat Israel sendiri dan meningkatkan tekanan untuk mencari solusi damai (Tessler, "A History of the Israeli-Palestinian Conflict", 1994).

Resolusi

Pada awal 1990-an, dengan meningkatnya tekanan internasional dan kelelahan dari kedua belah pihak, pembicaraan damai menjadi semakin mendesak. Proses ini berpuncak tahun 1993 dengan Penandatanganan Kesepakatan Oslo di Gedung Putih, Washington D.C., di hadapan Presiden AS saat itu, Bill Clinton. 

Kesepakatan ini menciptakan kerangka kerja untuk pemerintahan Palestina sementara dan negosiasi lanjutan mengenai isu-isu kunci, seperti status Yerusalem, pengungsi, dan perbatasan. 

Meski Kesepakatan Oslo tidak mengakhiri konflik sepenuhnya, itu adalah langkah signifikan menuju pencapaian perdamaian yang lebih berkelanjutan di kawasan tersebut (Ross & Makovsky, "Myths, Illusions, and Peace", 2009).

OhPedia Lainnya