Intifada Al-Aqsa atau Intifada Kedua: Ketidakpuasan Palestina dan Respon Israel

17/10/2023, 17:14 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Intifada Al-Aqsa atau Intifada Kedua: Ketidakpuasan Palestina dan Respon Israel
Ilustrasi Intifada Kedua
Table of contents
Editor: EGP

PADA akhir abad ke-20, ketegangan antara Israel dan Palestina mencapai titik kritis. Intifada Kedua, yang juga dikenal sebagai Intifada Al-Aqsa, bermula dari ketidakpuasan masyarakat Palestina terhadap kegagalan proses perdamaian.

Proses Oslo yang dimulai pada 1990-an seharusnya menjadi solusi perdamaian antara kedua belah pihak. Namun, kedua pihak kerap kali berselisih pandang sehingga kesepakatan sulit dicapai (Edward W. Said, "The End of the Peace Process: Oslo and After", Granta Books, 2000).

Penyebaran permukiman Israel di wilayah yang dianggap milik Palestina juga memicu kemarahan. Banyak warga Palestina yang merasa hak-hak mereka dilanggar dengan kehadiran permukiman-permukiman tersebut. Selain itu, ketidaksetujuan atas kontrol terhadap kota suci Yerusalem, terutama Masjid Al-Aqsa, menambah bara api ketidakpuasan.

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Pada September 2000, kunjungan Ariel Sharon, pemimpin oposisi Israel saat itu, ke kompleks Masjid Al-Aqsa memicu kemarahan masyarakat Palestina. Sharon, yang dikenal memiliki pandangan keras terhadap Palestina, dianggap telah melakukan provokasi dengan kunjungannya tersebut (Benny Morris, "Righteous Victims: A History of the Zionist-Arab Conflict, 1881-2001", Vintage Books, 2001).

Intifada ini bukan hanya pemberontakan militer, tetapi juga melibatkan perlawanan sipil. Demonstrasi, mogok kerja, dan bentrokan di jalanan menjadi tanda-tanda resistensi dari masyarakat Palestina.

Kronologi

Pada awal Oktober 2000, protes dan demonstrasi mulai merebak di berbagai wilayah Palestina. Bentrokan antara demonstran Palestina dan pasukan keamanan Israel pun tak terhindarkan. Dalam beberapa hari pertama, puluhan warga Palestina tewas akibat bentrokan tersebut.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Selama bulan-bulan berikutnya, serangan bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina mulai muncul. Sasaran utamanya adalah kawasan-kawasan permukiman Israel.

Dalam balasannya, Israel melancarkan serangan udara dan pengepungan terhadap wilayah-wilayah Palestina yang dianggap sebagai basis operasi militan.

Puncak dari Intifada Kedua terjadi pada tahun 2002 ketika Israel memulai Operasi Tembok Pelindung. Operasi ini merupakan upaya Israel untuk mengepung dan mengisolasi Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza (Avi Shlaim, "The Iron Wall: Israel and the Arab World", W. W. Norton & Company, 2001).

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Selama operasi ini, banyak infrastruktur sipil yang hancur, termasuk sekolah, rumah sakit, dan fasilitas publik lainnya.

Setelah beberapa tahun berlarut-larut, gencatan senjata antara kedua pihak mulai dideklarasikan pada tahun 2005. Meskipun begitu, dampak dari Intifada Kedua masih terasa hingga saat ini, terutama dalam hubungan antara Israel dan Palestina.

Dampak & Akibat

Intifada Kedua memiliki dampak mendalam terhadap kedua belah pihak, baik dari segi fisik, psikologis, maupun sosial. Dari perspektif Palestina, ribuan warga sipil tewas dan puluhan ribu lainnya terluka. Infrastruktur dasar, termasuk sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum, mengalami kerusakan parah akibat serangan dari Israel. Ekonomi Palestina pun terpuruk, dengan tingkat pengangguran yang meningkat drastis dan penurunan aktivitas ekonomi di banyak sektor.

Dari sisi Israel, serangan-serangan dari militan Palestina, terutama serangan bunuh diri, meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat sipil. Keamanan menjadi isu utama, dan banyak warga Israel yang merasa tidak aman di tempat-tempat publik. (Reuven Paz, "Palestinian Challenges to the Cohesive Fabric of Israeli Society", International Institute for Counter-Terrorism, 2003).

Biaya pertahanan Israel meningkat tajam selama periode ini, yang berdampak pada perekonomian negara tersebut.

Dalam konteks hubungan internasional, Intifada Kedua menarik perhatian dunia. Banyak negara yang mengutuk kekerasan dari kedua belah pihak dan mendesak solusi damai. Namun, polarisasi opini publik internasional terhadap konflik ini semakin meningkat, dengan sejumlah kelompok mendukung Palestina dan sejumlah lainnya mendukung Israel.

Resolusi

Menyusul berlarut-larutnya konflik, upaya internasional untuk mediasi dan mencari solusi damai semakin meningkat. PBB, Uni Eropa, Rusia, dan Amerika Serikat, yang dikenal sebagai Kuartet Diplomatik, berupaya mencari jalan keluar melalui berbagai inisiatif perdamaian (Dennis Ross, "The Missing Peace: The Inside Story of the Fight for Middle East Peace", Farrar, Straus and Giroux, 2004). Meskipun begitu, kesepakatan damai yang komprehensif antara Israel dan Palestina tetap sulit dicapai.

Gencatan senjata yang dideklarasikan pada tahun 2005 membawa harapan baru. Namun, ketegangan di lapangan tetap ada dan sering kali terjadi eskalasi kekerasan. Beberapa upaya resolusi, seperti inisiatif perdamaian Arab 2002 dan konferensi Annapolis 2007, diusulkan namun belum menghasilkan kesepakatan final.

Tantangan utama dalam mencapai resolusi adalah perbedaan pandangan antara kedua belah pihak mengenai isu-isu krusial seperti status Yerusalem, pengungsi Palestina, dan batas wilayah. Hingga saat ini, upaya pencarian solusi damai terus berlanjut, meskipun jalan menuju perdamaian tampaknya masih panjang.

OhPedia Lainnya