KONFLIK Palestina-Israel telah berlangsung selama puluhan tahun dan menciptakan krisis kemanusiaan yang mendalam di kawasan tersebut. Namun, sepanjang sejarah, telah ada beberapa upaya diplomatik yang bertujuan mencari solusi damai bagi kedua pihak. Beberapa dari upaya-upaya tersebut yang paling signifikan adalah Kesepakatan Camp David (1978), Kesepakatan Oslo (1990-an), KTT Camp David (2000), Inisiatif Perdamaian Arab (2002), Rencana Jalan Menuju Perdamaian (2003), dan Konferensi Annapolis (2007).
Kesepakatan Camp David (1978)
Kesepakatan Camp David merupakan pembicaraan damai antara Mesir dan Israel yang berlangsung di Camp David, Maryland, Amerika Serikat tahun 1978. Proses ini diprakarsai oleh Presiden AS saat itu, Jimmy Carter, dengan tujuan utama mencapai perjanjian perdamaian antara kedua negara.
Pada saat itu, Mesir adalah salah satu negara Arab yang memandang Israel sebagai musuh dan tidak mengakui keberadaannya. Namun, setelah 12 hari perundingan intensif, pemimpin kedua negara, yaitu Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin, sepakat untuk mengakui kedaulatan masing-masing dan mengakhiri permusuhan (Tessler, Mark, "A History of the Israeli-Palestinian Conflict", 1994, hal. 583-587).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Meski Kesepakatan Camp David bukan langsung mengenai konflik Palestina-Israel, namun kesepakatan ini mempunyai dampak signifikan. Dengan Mesir mengakui keberadaan Israel, jalan bagi upaya perdamaian di Timur Tengah terbuka lebar. Selain itu, dalam kesepakatan ini, ada rekomendasi untuk memberikan otonomi kepada Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Kesepakatan Oslo (1990-an)
Kesepakatan Oslo adalah serangkaian perjanjian antara pemerintah Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1990-an. Kesepakatan ini merupakan tonggak sejarah karena pertama kalinya kedua pihak sepakat untuk saling mengakui dan berkomitmen mencari solusi damai bagi konflik yang telah berlangsung lama.
Awal mula dari kesepakatan ini adalah rahasia dan dilakukan di Oslo, Norwegia, di bawah bimbingan pemerintah Norwegia. Perundingan ini membuahkan hasil yang dikenal sebagai Deklarasi Prinsip Oslo pada tahun 1993. Salah satu poin utama adalah pengakuan PLO terhadap negara Israel dan sebaliknya, Israel mengakui PLO sebagai wakil rakyat Palestina (Caplan, Neil, "The Israel-Palestine Conflict: Contested Histories", 2010, hal. 195-199).
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Sebagai tindak lanjut, pada 1995, Kesepakatan Oslo II ditandatangani yang menentukan wilayah otonomi Palestina dan penarikan pasukan Israel dari sebagian wilayah tersebut. Meskipun Kesepakatan Oslo merupakan langkah besar menuju perdamaian, namun beberapa isu penting seperti status Yerusalem, pengungsi Palestina, dan perbatasan masih menjadi sumber ketegangan hingga saat ini.
KTT Camp David (2000)
KTT Camp David pada tahun 2000 merupakan usaha yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Bill Clinton, untuk membawa perdamaian definitif antara Israel dan Palestina. KTT ini melibatkan Perdana Menteri Israel, Ehud Barak, dan Ketua PLO, Yasser Arafat. Tujuannya adalah menyelesaikan isu-isu yang belum terselesaikan dari Kesepakatan Oslo.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama dua minggu ini, banyak isu utama yang menjadi sorotan, seperti status Yerusalem, hak pulang bagi pengungsi Palestina, dan perbatasan antara Israel dan negara Palestina yang potensial. Namun, meskipun ada kemajuan dalam beberapa isu, kedua pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan (Ross, Dennis, "The Missing Peace", 2004, hal. 687-701).
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Kegagalan KTT Camp David 2000 seringkali dikaitkan dengan kurangnya kepercayaan antara kedua pihak dan ketidakmampuan para pemimpin untuk mengatasi tekanan domestik dan menemukan titik tengah yang dapat diterima oleh kedua pihak.
Inisiatif Perdamaian Arab (2002)
Inisiatif Perdamaian Arab muncul sebagai respons terhadap kegagalan upaya-upaya sebelumnya untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Diajukan oleh Raja Abdullah dari Arab Saudi pada KTT Liga Arab di Beirut tahun 2002, inisiatif ini menawarkan pengakuan penuh Israel oleh negara-negara Arab dengan syarat Israel menarik diri dari wilayah yang diduduki sejak tahun 1967 dan menerima pendirian negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Inisiatif ini juga menyoroti solusi bagi masalah pengungsi Palestina dengan mengacu pada Resolusi 194 PBB. Meski mendapat dukungan luas dari negara-negara Arab, respons Israel terhadap inisiatif ini cenderung dingin. Meski demikian, Inisiatif Perdamaian Arab tetap menjadi referensi penting dalam diskusi perdamaian di Timur Tengah hingga saat ini (Gelvin, James L., "The Israel-Palestine Conflict: One Hundred Years of War", 2005, hal. 280-284).
Rencana Jalan Menuju Perdamaian (2003)
Rencana Jalan Menuju Perdamaian, yang dikenal juga dengan "Roadmap for Peace", merupakan inisiatif yang diluncurkan pada 2003 oleh "Kuartet" - sebuah konsorsium yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa, dan PBB. Tujuannya adalah menciptakan solusi dua negara bagi konflik Palestina-Israel dalam waktu tiga tahun.
Rencana ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama menekankan pada penghentian kekerasan dan terorisme serta pemulihan kepercayaan antar kedua belah pihak. Tahap kedua menargetkan pembentukan negara Palestina sementara dengan batas-batas sementara. Sedangkan tahap ketiga bertujuan untuk menyelesaikan status akhir kedua negara dan isu-isu sensitif lainnya seperti Yerusalem, pengungsi, dan perbatasan (Indyk, Martin S., "Innocent Abroad", 2009, hal. 130-145).
Meskipun rencana ini mendapat dukungan internasional, implementasinya mengalami banyak hambatan, termasuk serangan teror, permukiman Israel, dan ketegangan politik internal kedua belah pihak.
Konferensi Annapolis (2007)
Konferensi Annapolis pada 2007 adalah upaya oleh pemerintahan Presiden AS George W. Bush untuk menghidupkan kembali proses perdamaian Timur Tengah. Diadakan di Akademi Angkatan Laut Amerika Serikat di Annapolis, Maryland, konferensi ini melibatkan lebih dari 40 negara dan organisasi internasional.
Dalam konferensi ini, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, dan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, sepakat untuk melanjutkan perundingan dengan tujuan mencapai kesepakatan perdamaian sebelum akhir tahun 2008. Mereka menekankan pentingnya solusi dua negara dan berkomitmen untuk menyelesaikan semua isu-isu inti (Quandt, William B., "Peace Process", 2005.
Meski konferensi ini menciptakan optimisme baru dan meningkatkan dialog antar kedua belah pihak, kesepakatan akhir tetap sulit dicapai. Kendala-kendala seperti isu permukiman Israel, status Yerusalem, dan ketegangan internal di antara faksi-faksi Palestina menjadi penghalang utama.
Referensi:
Tessler, Mark. "A History of the Israeli-Palestinian Conflict". Indiana University Press, 1994.
Caplan, Neil. "The Israel-Palestine Conflict: Contested Histories". Wiley-Blackwell, 2010.
Ross, Dennis. "The Missing Peace". Farrar, Straus and Giroux, 2004.
Gelvin, James L. "The Israel-Palestine Conflict: One Hundred Years of War". Cambridge University Press, 2005.
Indyk, Martin S. "Innocent Abroad". Simon & Schuster, 2009.
Quandt, William B. "Peace Process". University of California Press, 2005.