MARXISME, yang berangkat dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels, telah menjadi subyek perdebatan panjang sepanjang sejarah. Sebagai salah satu ideologi dan pendekatan ekonomi utama, Marxisme telah mendapat kritik dari berbagai perspektif dan disiplin ilmu.
Soal Efektivitas dan Moralitas Marxisme dalam Praktik
Marxisme, dalam teorinya, menjanjikan masyarakat tanpa kelas dengan distribusi kekayaan yang merata. Namun, kritik terbesar yang muncul adalah bagaimana teori ini diterapkan dalam praktik.
Dalam sejarah, banyak negara yang mencoba menerapkan Marxisme mengalami kesulitan ekonomi, represi politik, dan pelanggaran hak asasi manusia. Leszek KoĊakowski, dalam "Main Currents of Marxism" (1978), mengemukakan bahwa pelaksanaan Marxisme dalam praktik cenderung mengarah pada kekuasaan totaliter dan ketidakbebasan individu.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Selain itu, ada kritik tentang cara Marxisme mendefinisikan 'nilai'. Konsep nilai berdasarkan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk memproduksi barang, menurut beberapa kritikus, mengabaikan faktor-faktor lain seperti inovasi dan manajemen.
Pada praktiknya, ini dapat menghambat pertumbuhan dan inovasi ekonomi. Ekonom seperti Ludwig von Mises dalam "Human Action" (1949) berpendapat bahwa sistem harga di pasar bebas lebih efektif dalam mengalokasikan sumber daya daripada perencanaan ekonomi berbasis Marxisme.
Tantangan dari Pandangan Ekonomi Lain seperti Neoliberalisme dan Keynesianisme
Pandangan ekonomi neoliberal menekankan pada kebebasan individu dan efisiensi pasar bebas. Penganut neoliberalisme berpendapat bahwa pasar bebas, tanpa intervensi pemerintah, adalah cara terbaik untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Friedrich Hayek dalam "The Road to Serfdom" (1944) menyatakan bahwa intervensi pemerintah dalam ekonomi, seperti yang diajukan oleh Marxisme, dapat mengarah pada kehilangan kebebasan individu dan totalitarisme.
Keynesianisme, yang diakar oleh pemikiran John Maynard Keynes, berpendapat bahwa intervensi pemerintah diperlukan dalam ekonomi, terutama selama resesi. Namun, Keynesianisme berbeda dengan Marxisme karena fokusnya bukan pada penghapusan kapitalisme, melainkan pada modifikasi dan regulasi untuk memastikan stabilitas ekonomi.
Keynes dalam "The General Theory of Employment, Interest and Money" (1936) mengkritik pandangan Marx tentang ketidakstabilan kapitalisme tetapi tidak setuju dengan solusi Marx untuk menggantikannya dengan sosialisme.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Kritik atas Penekanan Marxisme pada Determinisme Ekonomi
Salah satu aspek sentral Marxisme adalah pandangan bahwa struktur ekonomi dari masyarakat adalah penentu utama bagi seluruh aspek kehidupan sosial. Ini disebut sebagai determinisme ekonomi.
Namun, banyak kritikus berpendapat bahwa pandangan ini terlalu sempit dan mengabaikan pengaruh faktor-faktor lain seperti budaya, agama, dan tradisi. Max Weber, dalam "The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism" (1905), misalnya, menekankan peran agama dan nilai-nilai budaya dalam perkembangan kapitalisme, menantang pandangan Marx tentang dominasi ekonomi.
Sejumlah kritik lain mengemukakan bahwa determinisme ekonomi mengurangi kemampuan individu untuk bertindak sebagai aktor yang bebas dan berdaulat dalam sejarah. Dalam pandangan ini, individu hanya dianggap sebagai produk dari kondisi ekonomi mereka, yang mengurangi kebebasan dan otonomi mereka.
Anthony Giddens, dalam "Central Problems in Social Theory" (1979), berpendapat bahwa sementara ekonomi memengaruhi masyarakat, individu juga memiliki kemampuan untuk membentuk dan mempengaruhi kondisi ekonomi mereka sendiri.