UTILITARIANISME adalah sebuah teori etika yang prinsip dasarnya menyatakan, tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan atau keuntungan terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak.
Konsep itu berpusat pada ide bahwa segala tindakan harus diukur berdasarkan sejauh mana tindakan tersebut dapat meningkatkan keseluruhan kebahagiaan atau kepuasan. Dalam konteks ini, kebahagiaan sering diartikan sebagai keberadaan kesenangan dan ketiadaan penderitaan.
Pendekatan ini terkenal dengan slogan "kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak". Utilitarianisme menekankan pada hasil atau konsekuensi dari tindakan kita, bukan pada motif atau niat di baliknya. Ini membedakan utilitarianisme dari teori etika deontologis, yang mengatakan bahwa ada aturan moral tertentu yang harus diikuti, terlepas dari hasilnya.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Salah satu aspek penting dari utilitarianisme adalah ia bersifat egaliter. Ini berarti setiap individu dihitung sama dalam kalkulasi kebahagiaan atau kebaikan. Tidak ada satu orang pun yang lebih diutamakan daripada yang lain. Oleh karena itu, utilitarianisme sering dikaitkan dengan promosi kesetaraan dan keadilan distributif.
Namun, utilitarianisme juga sering dikritik karena dapat mengabaikan hak-hak individu. Sebagai contoh, jika menyakiti seorang individu dapat meningkatkan kebahagiaan orang banyak, utilitarianisme mungkin akan mendukung tindakan tersebut, yang bertentangan dengan intuisi moral kita tentang pentingnya melindungi hak individu. Kritik seperti ini mendorong beberapa utilitarian untuk mengembangkan versi teori yang lebih rumit yang mencoba memperhitungkan hak-hak individu dalam kalkulasinya.
Sejarah dan Asal Usul Utilitarianisme
Sejarah utilitarianisme sering dikaitkan dengan filsuf Inggris Jeremy Bentham, yang mengembangkan teori ini pada akhir abad ke-18. Bentham, dalam karyanya yang berjudul "An Introduction to the Principles of Morals and Legislation" (1789), memperkenalkan "prinsip kegunaan" atau "prinsip utilitas", yang menyatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang cenderung mempromosikan kebahagiaan dan tindakan yang buruk adalah yang cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Bentham memandang kebahagiaan sebagai serangkaian kesenangan dan kebebasan dari rasa sakit, dan ia berpendapat bahwa kita harus membuat kalkulasi kebahagiaan ini secara sistematis untuk menentukan kebijakan atau tindakan yang benar. Bentham adalah seorang reformis sosial, dan ia berharap bahwa utilitarianisme dapat menjadi alat untuk merumuskan kebijakan publik yang lebih baik.
John Stuart Mill, seorang filsuf dan ekonom Inggris yang hidup di pertengahan abad ke-19, adalah tokoh penting lainnya dalam sejarah utilitarianisme. Dalam bukunya "Utilitarianism" (1861), Mill mengembangkan dan menyempurnakan ide Bentham. Mill menambahkan aspek kualitatif ke dalam konsep kesenangan Bentham yang murni kuantitatif, dengan mengatakan bahwa beberapa jenis kesenangan lebih diinginkan dan lebih berharga daripada yang lain.
Selain Mill dan Bentham, ada banyak tokoh lain yang telah berkontribusi pada pengembangan utilitarianisme. Henry Sidgwick, misalnya, dalam "The Methods of Ethics" (1874), mengeksplorasi tantangan-tantangan dalam mengimplementasikan utilitarianisme dan mencoba menyatukan utilitarianisme dengan teori etika lainnya.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Utilitarianisme telah berevolusi sejak masa Bentham dan Mill, dengan banyak varian dan interpretasi yang berkembang. Beberapa filsuf kontemporer, seperti Peter Singer, dikenal karena menerapkan prinsip utilitarian dalam konteks etika praktis, seperti hak hewan dan etika lingkungan. Utilitarianisme tetap menjadi salah satu teori etika yang paling berpengaruh dan banyak dibahas hingga hari ini.
Inti Pemikiran Utilitarianisme
Inti dari pemikiran utilitarianisme terletak pada ide dasar bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan secara keseluruhan. Ini adalah pandangan yang mengukur moralitas tidak dari niat atau kebajikan intrinsik suatu tindakan, tetapi dari konsekuensi yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Prinsip ini menjadikan utilitarianisme sebagai bentuk konsekuensialisme, dimana hasil atau akibat adalah faktor penentu dalam menilai kebenaran atau keburukan suatu tindakan.
Dalam praktiknya, inti pemikiran utilitarianisme menuntut kita untuk mempertimbangkan konsekuensi tindakan kita bagi semua yang terkena dampaknya. Ini tidak hanya tentang menghindari menyebabkan rasa sakit atau penderitaan, tetapi juga tentang aktif berusaha meningkatkan kebahagiaan atau kepuasan. Tidak ada yang secara inheren "baik" atau "buruk" dalam tindakan itu sendiri menurut utilitarianisme; nilai moral tindakan ditentukan oleh seberapa baik tindakan itu berkontribusi pada kesejahteraan bersama.
Pendekatan ini menuntut pengambilan keputusan yang sering kali berorientasi pada hasil, di mana kita harus mengestimasi konsekuensi masa depan dari tindakan kita yang potensial. Hal ini bisa menjadi rumit, karena memprediksi hasil di masa depan dapat sangat tidak pasti. Sebagai contoh, dalam membuat keputusan kebijakan publik, pemimpin mungkin menggunakan utilitarianisme untuk menilai opsi mana yang akan menghasilkan "kebaikan terbesar bagi orang terbanyak".
Satu elemen penting dari pemikiran ini adalah konsep "kesenangan" dan "kepuasan". Utilitarianisme mengakui berbagai bentuk kebahagiaan, mulai dari kepuasan fisik hingga kebahagiaan intelektual. John Stuart Mill, misalnya, berargumen bahwa kepuasan intelektual lebih berharga daripada kesenangan fisik, memperkenalkan ide bahwa kualitas kesenangan juga penting.
Utilitarianisme juga mempertimbangkan distribusi kebahagiaan, tidak hanya total jumlahnya. Oleh karena itu, teori ini sering dikaitkan dengan keadilan dan kesetaraan.
Dalam mengaplikasikan prinsip utilitas, kita tidak hanya melihat berapa banyak kebahagiaan yang diciptakan, tetapi juga bagaimana kebahagiaan itu didistribusikan di antara orang-orang yang terkena dampak tindakan kita. Ini mendorong pandangan bahwa, dalam situasi tertentu, mengalokasikan sumber daya untuk membantu mereka yang paling membutuhkan dapat menghasilkan peningkatan keseluruhan dalam kesejahteraan.
Perbedaan Utilitarianisme dengan Teori Etika Lainnya
Teori etika merupakan suatu bidang yang luas dan beragam, dengan utilitarianisme hanyalah salah satu dari banyak pendekatan yang telah dikembangkan untuk memahami apa yang membuat tindakan menjadi "benar" atau "salah". Perbedaan mendasar antara utilitarianisme dan teori etika lainnya dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana prinsip ini unik.
Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah antara utilitarianisme dan deontologi. Deontologi, yang dikembangkan oleh filsuf seperti Immanuel Kant, berfokus pada niat dan mematuhi aturan atau tugas moral yang dianggap universal dan absolut.
Deontologi tidak terlalu peduli dengan konsekuensi tindakan sebanyak dengan apakah tindakan itu memenuhi suatu kewajiban etis. Sebaliknya, utilitarianisme mengabaikan konsep kewajiban moral yang ketat ini dan melihat ke arah hasil tindakan untuk menentukan kebenarannya.
Eksistensialisme, terutama dalam karya-karya Jean-Paul Sartre, juga sangat berbeda dengan utilitarianisme. Eksistensialisme menekankan kebebasan individu, pilihan, dan tanggung jawab pribadi di atas aturan atau hasil etis yang telah ditentukan. Ini berlawanan dengan utilitarianisme, yang dalam beberapa hal dapat mengurangi kebebasan individu demi kebaikan yang lebih besar.
Virtue ethics atau etika kebajikan, yang berasal dari pemikiran Aristoteles, lebih menekankan pada karakter dan kebajikan seseorang daripada pada aturan atau konsekuensi. Menurut pandangan ini, hidup yang etis adalah hidup di mana seseorang mengembangkan kebajikan-kebajikan moral seperti keadilan, keberanian, dan kemurahan hati. Sedangkan utilitarianisme akan menilai tindakan berdasarkan seberapa banyak kebajikan tersebut berkontribusi pada kebahagiaan keseluruhan, tidak pada kepribadian pembuat keputusan.
Kontrak sosial, seperti yang diuraikan oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, berargumen bahwa moralitas dan hukum berasal dari semacam kesepakatan di antara orang-orang dalam masyarakat. Teori ini lebih menekankan pada keberadaan dan pemeliharaan tatanan sosial dan kurang fokus pada konsekuensi tindakan individual, yang merupakan fokus utama dari utilitarianisme.
Dalam etika perawatan atau care ethics, pendekatan yang berfokus pada pentingnya hubungan antarmanusia dan tanggung jawab untuk merawat yang lain, ada sedikit kesamaan dengan utilitarianisme dalam hal perhatian terhadap kesejahteraan orang lain. Namun, etika perawatan lebih memperhatikan konteks relasional dan kebutuhan spesifik individu, sementara utilitarianisme cenderung mengadopsi pandangan yang lebih umum dan impersonal.
Setiap teori ini membawa perspektif yang berbeda pada pertanyaan etis, dan utilitarianisme unik dalam penekanannya pada peningkatan kebahagiaan atau kesejahteraan sebagai kriteria utama untuk moralitas. Meskipun mungkin ada persimpangan dalam aplikasi praktis, filosofi dasar di balik setiap pendekatan tetap berbeda.
Kesimpulan
Utilitarianisme merupakan teori etika yang mengedepankan konsekuensi tindakan dalam penentuan moralitas, dengan prinsip utama yang berfokus pada pencapaian kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Dikembangkan oleh para pemikir seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, utilitarianisme telah mengalami evolusi berkelanjutan dan berkontribusi pada diskursus etika modern dalam berbagai aspek sosial dan kebijakan publik. Meskipun dikenal karena pendekatan egaliternya, teori ini sering dikritik karena potensi untuk mengabaikan hak-hak individu.
Dalam perbandingannya dengan teori etika lainnya, utilitarianisme berbeda secara signifikan dalam pendekatannya terhadap moralitas. Berbeda dari deontologi yang mengutamakan kewajiban dan aturan, dari etika kebajikan yang fokus pada karakter, dan dari eksistensialisme yang menonjolkan kebebasan individu, utilitarianisme melihat nilai tindakan terutama dari konsekuensi yang dihasilkan bagi kesejahteraan bersama.
Mengingat kerumitannya, utilitarianisme tetap relevan dan terus dibahas baik dalam konteks teori maupun praktik. Teori ini menantang kita untuk berpikir secara mendalam tentang bagaimana tindakan kita memengaruhi orang lain dan bagaimana kita dapat membentuk dunia yang lebih baik melalui pilihan-pilihan yang kita buat setiap hari.