Prinsip Dasar Utilitarianisme: Kesejahteraan sebagai Kompas Moral

03/11/2023, 19:39 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Prinsip Dasar Utilitarianisme: Kesejahteraan sebagai Kompas Moral
Utilitarianisme
Table of contents
Editor: EGP

DALAM menjelajahi dunia etika dan moral, kita sering dihadapkan pada dilema tentang apa yang membuat tindakan itu baik atau buruk. Salah satu pendekatan yang telah lama dipertimbangkan dalam filsafat moral adalah utilitarianisme, sebuah teori yang menawarkan panduan tentang bagaimana kita bisa menavigasi pilihan sulit tersebut.

Utilitarianisme, sebagaimana yang digagas Jeremy Bentham dan diperluas John Stuart Mill, adalah teori etika yang mengusung prinsip bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang dapat memaksimalkan kebahagiaan atau kesenangan dan meminimalkan penderitaan.

Teori ini mengadvokasi ide bahwa konsekuensi tindakan adalah kunci utama dalam menentukan kebenarannya, sebuah pendekatan yang dikenal sebagai konsekuensialisme. Kebahagiaan dalam utilitarianisme diartikan sebagai kesenangan dan absennya penderitaan; oleh karena itu, sebuah tindakan dinilai berdasarkan kontribusinya terhadap keseluruhan kebahagiaan atau kepuasan.

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Artikel ini akan mengeksplorasi fondasi utilitarianisme, termasuk prinsip kesukacitaan, konsekuensialisme, kalkulasi kebahagiaan, serta imparsialitas dan kemanusiaan universal yang akan membuka pemahaman kita tentang bagaimana teori ini berusaha menuntun tindakan kita untuk mencapai kebaikan terbesar bagi sebanyak mungkin orang.

Prinsip Kesukacitaan

Dalam utilitarianisme, prinsip kesukacitaan atau 'principle of utility' bertindak sebagai landasan dalam mengevaluasi tindakan manusia. Prinsip ini menegaskan bahwa tindakan yang benar adalah yang dapat memaksimalkan kesukacitaan bagi sebanyak mungin orang. Prinsip ini menuntut individu untuk memilih tindakan yang hasilnya akan menyebabkan kesenangan terbesar bagi mereka yang terpengaruh.

Bentham, dalam karyanya "An Introduction to the Principles of Morals and Legislation" (1789), menguraikan bahwa dalam menentukan tindakan mana yang memberikan kesukacitaan terbanyak, harus diperhitungkan intensitas, durasi, kepastian, kejauhan, kesuburan, kemurnian, dan lingkup kesenangan yang dihasilkan. Dengan demikian, prinsip kesukacitaan memerlukan pertimbangan cermat dan perhitungan yang hampir matematis dalam pengambilan keputusan moral.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Bukan hanya tentang individu, tetapi kesukacitaan kolektif atau 'the greatest happiness principle' juga penting. John Stuart Mill, yang memperluas dan memperhalus teori Bentham dalam "Utilitarianism" (1861), menyatakan bahwa kebahagiaan yang dimaksud adalah bukan hanya kepuasan pribadi, tapi juga kesejahteraan umum. Mill berpendapat bahwa kesenangan intelektual dan moral lebih bernilai daripada kesenangan fisik, memperkenalkan kualitas, bukan hanya kuantitas, ke dalam pertimbangan etis.

Aplikasi praktis dari prinsip kesukacitaan dapat dilihat dalam banyak aspek kehidupan sosial, termasuk pembuatan kebijakan publik. Contohnya, dalam kesehatan masyarakat, alokasi sumber daya sering didasarkan pada prinsip ini, dengan berusaha untuk mencapai 'kebaikan terbesar untuk jumlah orang terbanyak'. Ini adalah contoh bagaimana utilitarianisme dapat memberi bentuk pada kebijakan yang berorientasi pada sukacita kolektif.

Namun, prinsip kesukacitaan ini tidak tanpa kritik. Salah satu tantangan yang sering muncul adalah bagaimana mengukur kesenangan dan penderitaan secara obyektif. Tidak ada unit pengukuran yang pasti untuk kebahagiaan, dan persepsi tentang apa yang membawa kesenangan dapat bervariasi secara dramatis antar individu.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Selain itu, prinsip ini terkadang dapat mengabaikan hak minoritas jika kesukacitaan mayoritas menjadi prioritas yang mutlak. Meskipun begitu, prinsip kesukacitaan tetap menjadi fondasi penting dalam diskusi etika dan kebijakan publik, mendorong debat yang terus-menerus tentang bagaimana nilai-nilai ini dapat diaplikasikan dalam masyarakat.

Konsekuensialisme

Konsekuensialisme (consequentialism) atau "etika berpatokan pada hasil" merupakan fondasi dari utilitarianisme yang menekankan pentingnya akibat atau konsekuensi dari sebuah tindakan dalam menentukan nilai moralnya. Inti dari konsekuensialisme adalah pemikiran bahwa tindakan yang baik atau buruk ditentukan oleh hasil yang mereka timbulkan, bukan oleh motivasi atau aturan moral yang mendasarinya. Dalam kerangka ini, tindakan yang menghasilkan konsekuensi positif bagi sebanyak mungkin orang dianggap sebagai tindakan yang etis atau moral.

Tindakan konsekuensialisme sering kali melibatkan penimbangan yang cermat antara hasil yang diharapkan dari berbagai pilihan yang ada. Ini bisa sangat kompleks dalam praktiknya, karena memerlukan prediksi tentang efek jangka panjang dan jangka pendek, serta mempertimbangkan kepentingan dari semua pihak yang terpengaruh. Dengan demikian, konsekuensialisme meminta kita untuk berpikir ke depan, untuk mengantisipasi akibat dari tindakan kita dan membuat pilihan yang berdasarkan pada prediksi tersebut.

Konsekuensialisme tidak hanya diterapkan pada keputusan individu tetapi juga pada kebijakan sosial dan hukum. Misalnya, dalam pembuatan kebijakan lingkungan, konsekuensialisme mendorong pendekatan yang mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap planet dan populasi manusia. Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi perubahan iklim atau melindungi keanekaragaman hayati adalah contoh dari konsekuensialisme dalam tindakan.

Namun, konsekuensialisme juga menghadapi tantangan filosofis, seperti "paradoks kereta" yang terkenal, di mana memilih antara dua hasil buruk menimbulkan dilema moral. Dalam situasi seperti ini, konsekuensialisme bisa tampak tidak memuaskan karena menyarankan bahwa memilih hasil "kurang buruk" adalah yang paling etis, meskipun mungkin masih terasa salah secara intuitif.

Selain itu, konsekuensialisme kadang-kadang dikritik karena dapat mengabaikan prinsip-prinsip moral yang tidak berhubungan langsung dengan hasil, seperti keadilan, hak, dan kewajiban. Pendukung konsekuensialisme, bagaimanapun, berargumen bahwa prinsip-prinsip ini pada akhirnya dapat dan harus dipertimbangkan dalam kalkulasi tentang konsekuensi. Karena itu, meskipun sederhana dalam premisnya, konsekuensialisme memerlukan aplikasi yang teliti dan sering kali kompleks dalam dunia nyata.

Kalkulasi Kebahagiaan

Kalkulasi kebahagiaan adalah proses kunci dalam utilitarianisme, di mana kita mencoba mengukur dan menilai potensi kebahagiaan atau kesenangan yang akan dihasilkan oleh tindakan tertentu. Prinsip ini muncul dari pekerjaan Jeremy Bentham, yang memperkenalkan ide 'felicific calculus', sebuah sistem untuk mengukur derajat atau jumlah kebahagiaan yang bisa dihasilkan oleh berbagai tindakan. Proses ini, meskipun ideal dalam teori, menghadapi banyak tantangan dalam penerapannya karena kompleksitas yang terlibat dalam mengukur kebahagiaan.

Dalam upaya melakukan kalkulasi kebahagiaan, faktor-faktor seperti intensitas, durasi, kepastian atau ketidakpastian, dan kedekatan atau kejauhan konsekuensi tindakan perlu dipertimbangkan. Bentham percaya bahwa melalui pendekatan semacam ini, kita dapat mendekati keputusan yang rasional tentang tindakan mana yang paling mungkin memaksimalkan keseluruhan kebahagiaan.

Namun, proses ini tidak semata-mata matematis atau mekanis. Mempertimbangkan variasi kebahagiaan individu dan pengalaman subyektif kesenangan menambahkan tingkat kerumitan yang signifikan.

John Stuart Mill menambahkan lapisan tambahan dalam evaluasi ini dengan membedakan antara kesenangan yang 'lebih tinggi' dan 'lebih rendah', menyarankan bahwa beberapa bentuk kesenangan (seperti kesenangan intelektual) lebih bernilai dari yang lain (seperti kesenangan fisik).

Dalam penerapan praktis, kalkulasi kebahagiaan dapat menginformasikan kebijakan dan keputusan legislatif. Sebagai contoh, ketika pemerintah mengalokasikan dana untuk kesehatan atau pendidikan, mereka menggunakan semacam kalkulasi kebahagiaan untuk menentukan bagaimana sumber daya yang terbatas dapat memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Ini juga berlaku dalam lingkup yang lebih kecil seperti dalam pengambilan keputusan bisnis atau keluarga.

Tantangan terbesar dari kalkulasi ini adalah subyektivitas dan prediktabilitas. Sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti bagaimana tindakan tertentu akan memengaruhi kebahagiaan orang lain dan seberapa lama efeknya akan bertahan. Selain itu, muncul pertanyaan etis apakah kebahagiaan dapat dan harus diukur hanya berdasarkan kuantitas atau apakah kualitas pengalaman juga harus diperhitungkan.

Meskipun terdapat tantangan dalam mengukur dan mengaplikasikan kalkulasi kebahagiaan, prinsip ini tetap menjadi alat yang berharga dalam mengevaluasi tindakan dan kebijakan. Ini mendorong kita untuk berpikir secara sistematis tentang efek dari tindakan kita dan untuk berupaya mencapai hasil yang menguntungkan sebanyak mungkin orang.

Imparsialitas dan Kemanusiaan Universal

Imparsialitas adalah pilar kunci dalam utilitarianisme yang menggarisbawahi bahwa dalam menilai tindakan, kebahagiaan setiap individu harus dipertimbangkan dengan berat yang sama, tanpa memihak. Prinsip ini mengadvokasi pandangan bahwa tidak seorang pun, termasuk diri kita sendiri atau orang-orang yang dekat dengan kita, harus diberi prioritas yang tidak adil dalam kalkulasi kebahagiaan. Imparsialitas mendukung ide kemanusiaan universal, yang berarti bahwa dalam menilai konsekuensi dari tindakan, kepentingan semua orang harus dianggap sama pentingnya.

Dalam utilitarianisme, keputusan yang dibuat harus menguntungkan tidak hanya untuk individu yang terlibat tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan. Imparsialitas di sini bukan berarti tidak memiliki emosi atau tidak peduli dengan orang dekat, melainkan mengakui bahwa dari sudut pandang moral, tidak ada individu yang lebih penting daripada yang lain. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa keputusan moral harus mempertimbangkan kesejahteraan orang lain dengan cara yang sama seperti kita mempertimbangkan kesejahteraan diri sendiri atau orang yang kita sayangi.

Kemanusiaan universal, di sisi lain, adalah konsep yang menggambarkan bahwa setiap manusia, terlepas dari latar belakang atau status sosial, memiliki nilai intrinsik yang sama. Dalam konteks utilitarianisme, ini menunjukkan bahwa kebahagiaan seorang individu di satu bagian dunia dihargai sama dengan kebahagiaan individu di tempat lain. Oleh karena itu, dalam melakukan kalkulasi kebahagiaan, perbedaan seperti kebangsaan, etnisitas, jenis kelamin, atau kelas sosial tidak boleh memengaruhi penilaian tentang pentingnya kebahagiaan seseorang.

Imparsialitas dan kemanusiaan universal juga berarti bahwa dalam menghadapi situasi yang memengaruhi sejumlah orang, kita harus berusaha untuk mengambil perspektif yang tidak memihak dan melihat situasi tersebut dari sudut pandang 'orang yang tidak berpihak' atau 'the impartial spectator', istilah yang dipopulerkan oleh filsuf Adam Smith. Pendekatan ini mempromosikan keadilan dan kesetaraan dan membantu menghindari prasangka dan diskriminasi dalam pembuatan keputusan.

Namun, penerapan imparsialitas dan kemanusiaan universal tidak selalu mudah. Menerapkannya dapat menimbulkan konflik dengan intuisi moral kita yang sering kali menuntun kita untuk lebih mengutamakan keluarga atau teman dekat dibanding orang asing.

Selain itu, tantangan praktisnya termasuk menentukan bagaimana sebenarnya kita dapat mengambil tindakan yang secara realistis dan adil mendistribusikan kebaikan dan keburukan, mempertimbangkan batas-batas sumber daya dan kapasitas kita untuk membantu. Meskipun demikian, imparsialitas dan kemanusiaan universal tetap menjadi konsep yang menginspirasi dalam usaha menuju dunia yang lebih adil dan berempati.

OhPedia Lainnya