DALAM narasi panjang sejarah pemikiran manusia, ada ide-ide yang bertahan melewati ujian waktu, menyesuaikan diri dengan pergolakan zaman dan kemajuan pengetahuan. Salah satunya adalah utilitarianisme, sebuah doktrin etis yang berakar pada prinsip sederhana namun mendalam: tindakan yang baik adalah yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri perjalanan intelektual utilitarianisme melalui kehidupan dan pemikiran dua tokoh utamanya, Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, yang meletakkan dasar filosofis dan etis bagi pemikiran utilitarian.
Kita juga akan mengungkap bagaimana utilitarianisme telah berevolusi di tangan para pemikir berikutnya, seperti Henry Sidgwick dan G.E. Moore, yang mengembangkan teori ini lebih jauh. Dari upaya mereka, kita mendapat pemahaman yang lebih kaya dan lebih bernuansa tentang bagaimana kebahagiaan dan kebaikan dapat diinterpretasikan dan diukur.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Dalam konteks modern, utilitarianisme terus beradaptasi dan memengaruhi diskusi etis yang luas, mulai dari hak-hak hewan hingga dilema moral yang ditimbulkan oleh teknologi baru.
Jeremy Bentham
Biografi
Jeremy Bentham adalah seorang filsuf dan reformis hukum Inggris yang namanya selalu terkait erat dengan pengembangan paham utilitarianisme. Lahir pada 15 Februari 1748 di London, Bentham tumbuh dalam keluarga berkecukupan dan menerima pendidikan awal dari ayahnya seorang pengacara dan kemudian di Westminster School.
Ia menunjukkan bakat yang luar biasa di usia muda, memulai studi di Queen's College, Oxford pada usia 12 tahun dan lulus pada usia 15 tahun. Bakatnya yang mencolok itu tidak hanya dalam ilmu hukum tetapi juga dalam studi klasik dan filsafat.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Setelah lulus dari Oxford, Bentham dilatih untuk menjadi seorang pengacara. Namun, dia kecewa dengan apa yang dia lihat sebagai kerumitan dan ketidakadilan dalam sistem hukum Inggris. Kekecewaan ini memicunya untuk menulis kritik dan teori tentang hukum dan politik.
Ia tinggal di Lincoln's Inn, London, dimana ia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menulis tentang teori hukum dan praktik politik, walaupun hanya sedikit dari tulisannya yang diterbitkan selama hidupnya.
Jeremy Bentham tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga menganjurkan reformasi praktis. Ia adalah pendukung awal dari hak-hak sipil, termasuk hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan hak-hak homoseksual.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Selain itu, ia terkenal dengan ide-ide progresifnya mengenai hukuman penjara, mengusulkan desain panoptikon — sebuah struktur penjara yang memungkinkan pengawasan semua tahanan oleh satu penjaga tanpa diketahui oleh mereka yang diawasi. Inovasi ini menunjukkan pemikirannya yang radikal dan berpusat pada efisiensi serta pengawasan.
Pada masa hidupnya, Bentham terlibat dalam berbagai upaya reformasi, termasuk pembaharuan hukum pidana dan perdata, serta peningkatan kesejahteraan publik. Dia tidak hanya berpengaruh di Inggris tetapi juga memiliki dampak internasional, dengan karya-karyanya dipelajari oleh para reformis di berbagai negara.
Bentham meninggal pada 6 Juni 1832, namun warisannya hidup terus. Sebagai simbol komitmennya terhadap utilitarianisme, tubuhnya diawetkan dan duduk di kaca di University College London.
Kontribusi Bentham
Jeremy Bentham dianggap sebagai pendiri utilitarianisme. Dia pertama kali memperkenalkan prinsip 'kegunaan' atau kebahagiaan sebagai kriteria utama dalam menilai tindakan atau kebijakan.
Ia merumuskan prinsip tersebut dalam karyanya yang paling berpengaruh, "An Introduction to the Principles of Morals and Legislation" (1789), di mana ia menulis, "it is the greatest happiness of the greatest number that is the measure of right and wrong." Pernyataan ini menjadi fondasi bagi apa yang kemudian dikenal sebagai utilitarianisme klasik.
Bentham memandang bahwa hukum dan kebijakan harus dirancang untuk mempromosikan kebahagiaan atau kesenangan dan mengurangi penderitaan atau kesakitan. Ia mengembangkan suatu sistem yang disebut "kalkulus kebahagiaan," yang bertujuan untuk mengukur suka dan duka yang dihasilkan oleh tindakan apa pun, sehingga bisa menentukan nilai moralnya.
Meskipun idenya ini terdengar sederhana, Bentham sangat serius dalam upaya untuk mengkuantifikasi aspek-aspek kebahagiaan, sesuatu yang dianggap revolusioner pada masanya.
Utilitarianisme Bentham adalah pandangan yang radikal karena ia berpendapat bahwa tindakan moral tidak bergantung pada niat atau akhlak internal, tetapi pada konsekuensi eksternalnya. Ini merupakan perubahan paradigma dari pemikiran etika yang dominan pada waktu itu yang cenderung lebih deontologis atau berdasarkan aturan. Dengan menggunakan utilitarianisme sebagai lensa, Bentham menilai segala sesuatu dari hukum perpajakan hingga hak suara berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan umum.
Jeremy Bentham juga memperkenalkan gagasan bahwa binatang juga patut mendapatkan pertimbangan moral karena mereka juga mampu merasakan kesakitan dan kesenangan. Ini adalah konsep yang kemudian dikembangkan dan diperluas oleh muridnya, John Stuart Mill, yang memodifikasi utilitarianisme untuk memasukkan aspek kualitatif dari kesenangan.
Bentham telah meninggalkan warisan yang tidak hanya membentuk dasar dari sistem etika yang masih banyak dibahas dan digunakan hari ini tetapi juga memengaruhi bidang lain seperti ekonomi, hukum, dan politik publik.
Pengaruh Bentham terhadap pemikiran modern tidak terbatas pada filsafat etika saja; ia juga meninggalkan jejak dalam pendekatan sistematis dan analitis dalam melihat masyarakat dan lembaga-lembaganya. Sepanjang hidupnya, ia terus menulis dan mengembangkan ide-ide yang sekarang menjadi inti dari pemikiran utilitarian dan terus memengaruhi pembuat kebijakan dan pemikir hingga saat ini.
John Stuart Mill
Biografi
John Stuart Mill adalah filsuf, ekonom, dan pendukung sosial Inggris yang lahir pada 20 Mei 1806. Sebagai anak dari seorang filsuf Skotlandia terkenal, James Mill, John Stuart dididik secara ketat di rumah, belajar bahasa Yunani pada usia tiga tahun dan Latin serta logika beberapa tahun kemudian. Dididik dengan prinsip-prinsip utilitarianisme sejak dini, Mill menjadi seorang prodigy yang kemudian memengaruhi pemikiran sosial dan politik di Inggris selama abad ke-19.
John Stuart Mill menjalani karir sebagai pejabat di British East India Company, yang memberinya waktu untuk menulis dan berkontribusi pada diskusi politik dan filosofis. Dia menulis tentang berbagai topik, dari hak suara wanita hingga kebebasan individu, dan menjadi anggota parlemen yang berperan dalam pengesahan legislatif reformasi sosial.
Meskipun ia mengalami krisis mental pada usia dua puluh, yang ia deskripsikan dalam "Autobiography" (1873), ia pulih dan terus menghasilkan karya-karya penting.
Kontribusi Mill
Kontribusi John Stuart Mill terhadap utilitarianisme adalah pengembangannya atas fondasi yang diletakkan Jeremy Bentham. Mill menulis "Utilitarianism" pada tahun 1861, yang tidak hanya menjelaskan tetapi juga memperluas ajaran Bentham. Dalam buku ini, Mill berusaha untuk memperbaiki dan menyanggah kritik terhadap utilitarianisme dengan menekankan pentingnya kualitas kesenangan serta kuantitasnya.
Mill menegaskan bahwa kebahagiaan bukan hanya tentang kesenangan duniawi; kebahagiaan yang lebih tinggi juga melibatkan kepuasan intelektual dan emosional. Ia memperkenalkan perbedaan antara kesenangan 'rendah' yang bersifat fisik dan kesenangan 'tinggi' yang bersifat intelektual.
Mill percaya bahwa individu yang berpendidikan akan memilih kesenangan intelektual, yang dia anggap lebih berharga.
Perbedaan Pendekatan dengan Bentham
Perbedaan antara pendekatan utilitarianisme John Stuart Mill dan Jeremy Bentham terletak pada bagaimana mereka menilai 'kebahagiaan'. Bentham tidak membedakan jenis kesenangan; semua kesenangan dihitung sama dalam kalkulus kebahagiaannya. Dia memiliki pandangan kuantitatif, di mana jumlah total kesenangan adalah yang terpenting.
Di sisi lain, Mill menekankan pentingnya kualitas kesenangan dalam penilaiannya. Dia berargumen bahwa beberapa jenis kesenangan lebih berharga dari yang lain. Misalnya, kesenangan yang diperoleh dari membaca puisi dianggap lebih tinggi daripada kesenangan fisik. Pendekatan Mill ini sering diinterpretasikan sebagai respons terhadap kritik yang menggambarkan utilitarianisme Bentham sebagai doktrin yang tidak membedakan berbagai jenis kesenangan.
Pendekatan Mill menunjukkan pemahaman yang lebih matang tentang psikologi manusia dan keanekaragaman pengalaman manusia. Meskipun kedua filsuf ini tetap pada prinsip dasar utilitarianisme bahwa tindakan yang benar adalah yang memaksimalkan kebahagiaan, Mill memberikan pandangan yang lebih halus dan lebih menarik secara manusiawi. Dia juga lebih berfokus pada perlindungan hak-hak individu, berpendapat bahwa kebebasan pribadi adalah esensial untuk mencapai kebahagiaan.
John Stuart Mill meninggalkan pengaruh yang besar pada pemikiran liberal dan demokratik, mengembangkan lebih lanjut ide-ide tentang kebebasan dan keadilan yang telah dimulai Bentham. Kedua tokoh ini secara kolektif membentuk utilitarianisme menjadi sistem etika yang kompleks dan berpengaruh yang terus relevan dalam debat moral dan politik kontemporer.
Sejumlah Tokoh Lain
Utilitarianisme tidak berhenti berkembang pada Bentham dan Mill. Sejak zaman mereka, beberapa filsuf telah memodifikasi dan menambahkan nuansa pada kerangka utilitarian, menyesuaikannya dengan tantangan etika baru yang muncul dari perkembangan sosial dan teknologi. Di antara tokoh-tokoh ini, ada beberapa yang paling berpengaruh yang telah meninggalkan jejak mereka pada evolusi utilitarianisme.
Henry Sidgwick adalah salah satu tokoh yang penting dalam sejarah utilitarianisme. Filsuf Inggris ini, dalam karyanya "The Methods of Ethics" (1874), mencoba menyatukan utilitarianisme dengan intuisi etika Kantian. Sidgwick menegaskan pentingnya alasan dalam menentukan tindakan yang benar dan menekankan konsep "kebaikan" yang tidak hanya berdasarkan konsekuensi. Dia juga mengemukakan gagasan utilitarianisme multi-pusat, di mana kepentingan setiap orang sama pentingnya.
G.E. Moore mengambil langkah lebih lanjut dengan memperkenalkan 'ideal utilitarianism' dalam bukunya "Principia Ethica" (1903). Moore berargumen bahwa estetika dan persahabatan juga merupakan bagian dari 'kebaikan', tidak hanya kesenangan dan kebahagiaan. Ini membuka jalan bagi pertimbangan nilai-nilai non-hedonistik dalam utilitarianisme.
Di abad ke-20, R.M. Hare membawa utilitarianisme ke dalam bidang bahasa analitik dengan karyanya "Preference Utilitarianism", yang berfokus pada kepuasan preferensi atau keinginan sebagai komponen kunci kebahagiaan. Filsuf Australia Peter Singer adalah figur terkemuka lainnya yang telah memperluas utilitarianisme ke wilayah baru, seperti etika hewan dan bioetika.
Dalam "Animal Liberation" (1975) dan karya-karya lainnya, Singer menantang pandangan tradisional tentang status moral hewan dan mendorong untuk memperluas cakupan pertimbangan moral ke semua makhluk yang mampu menderita.
Utilitarianisme modern juga telah berkembang untuk menanggapi kritik yang menyangkut masalah distribusi kebahagiaan. John Harsanyi, misalnya, mengusulkan utilitarianisme aturan, yang mempertimbangkan keadilan distribusi bersamaan dengan maksimisasi kesejahteraan total. Dia menggabungkan prinsip-prinsip utilitarian dengan teori pilihan rasional dalam ekonomi dan teori permainan.
Selain itu, dengan kemajuan teknologi dan pertumbuhan global, utilitarianisme telah diadopsi dan disesuaikan oleh pemikir dalam bidang lain seperti kebijakan publik dan desain sistem cerdas. Misalnya, dilema etika yang dihadapi oleh kendaraan otonom — bagaimana sebuah mobil tanpa pengemudi harus memilih dalam situasi kecelakaan yang tidak terhindarkan — sering dianalisis melalui lensa utilitarian.
Dalam pemikiran kontemporer, utilitarianisme tetap menjadi salah satu kerangka kerja etika yang paling luas digunakan dan didiskusikan, baik di lingkungan akademis maupun publik.
Keberlanjutannya menunjukkan bahwa meski mungkin perlu disesuaikan untuk menjawab tantangan baru, kemampuannya untuk menggabungkan prinsip kebahagiaan dan rasionalitas menjadikannya alat yang fleksibel dan abadi untuk menavigasi kompleksitas moralitas manusia.