DALAM labirin kompleksitas kehidupan manusia, pertanyaan tentang apa yang membuat sebuah tindakan menjadi 'benar' sering kali mengemuka, memicu diskusi yang mendalam dalam bidang etika. Di antara berbagai teori yang mencoba menjawab pertanyaan ini, utilitarianisme menduduki tempat penting, dikenal karena pendekatannya yang pragmatis dan terfokus pada hasil.
Sebagai salah satu teori etis yang paling berpengaruh dan banyak dibahas, utilitarianisme telah berevolusi melalui berbagai bentuk dan interpretasi sejak pertama kali diartikulasikan pada abad ke-18 dan ke-19 oleh pemikir seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Artikel ini akan menjelajahi bentuk-bentuk utilitarianisme, mulai dari konsep klasik yang mengutamakan maksimisasi kesenangan hingga adaptasi modern yang menimbang preferensi individu dan mengusulkan pengurangan penderitaan.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Dengan mengkaji utilitarianisme klasik, utilitarianisme tindakan versus utilitarianisme aturan, utilitarianisme preferensi, dan utilitarianisme negatif, kita akan memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana teori ini dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan etis di kehidupan sehari-hari serta dalam pembuatan kebijakan publik.
Utilitarianisme Klasik
Utilitarianisme klasik adalah sebuah teori etika yang mencetuskan bahwa tindakan terbaik adalah yang memaksimalkan kebahagiaan atau kesenangan. Dengan kata lain, prinsip utama yang dipromosikan oleh pendukung utilitarianisme klasik adalah "prinsip kegunaan" atau "the greatest happiness principle".
Jeremy Bentham, yang sering dianggap sebagai bapak utilitarianisme, memperkenalkan konsep ini dengan jelas dalam karyanya yang berjudul "An Introduction to the Principles of Morals and Legislation" (1789). Bentham percaya bahwa kita harus menghitung kesenangan dan penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan kita dan memilih tindakan yang hasilnya positif terbesar. Bentham menggunakan perhitungan ini dalam apa yang disebut "kalkulus felicific" atau "utilitarian calculus".
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh John Stuart Mill, yang menekankan perbedaan antara kesenangan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah dalam karyanya "Utilitarianism" (1861). Mill mengusulkan bahwa kegiatan intelektual dan emosional memberikan kesenangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kesenangan fisik yang lebih rendah.
Mill juga menekankan bahwa utilitarianisme tidak hanya tentang memaksimalkan kesenangan individu tetapi juga kesenangan kolektif. Ini merupakan pergeseran penting dari pandangan Bentham yang lebih terfokus pada kuantitas kesenangan tanpa membedakan kualitasnya.
Utilitarianisme klasik juga menghadapi kritik, terutama berkaitan dengan implikasinya yang radikal. Misalnya, kritikus berargumen bahwa pendekatan ini bisa mengesampingkan hak-hak individu untuk kesejahteraan mayoritas, yang kadang-kadang disebut sebagai "tirani mayoritas". Kritik lain adalah sulitnya mengukur kesenangan dan penderitaan secara obyektif, yang membuat teori ini sulit untuk diterapkan dalam praktik nyata.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Meskipun begitu, konsep utilitarianisme klasik tetap berpengaruh dalam bidang filsafat moral dan dalam pembuatan kebijakan publik. Contoh-contoh aplikasi utilitarianisme klasik dalam kebijakan publik termasuk analisis biaya-manfaat dalam ekonomi dan pendekatan berbasis risiko dalam kesehatan masyarakat.
Utilitarianisme Tindakan vs Utilitarianisme Aturan
Utilitarianisme tindakan, yang juga dikenal sebagai utilitarianisme akta, berfokus pada evaluasi konsekuensi dari tindakan individu yang spesifik. Dengan kata lain, dalam utilitarianisme tindakan, keputusan etis dibuat berdasarkan hasil yang dihasilkan oleh tindakan tertentu tanpa mempertimbangkan aturan atau prinsip umum.
Pengikut pendekatan ini, seperti Bentham, menganggap setiap situasi secara unik dan menilai tindakan berdasarkan seberapa baik mereka melayani tujuan utama meningkatkan kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Salah satu kelebihan utilitarianisme tindakan adalah fleksibilitasnya; memungkinkan individu untuk menyesuaikan keputusan mereka berdasarkan konteks spesifik. Namun, kelemahannya termasuk kesulitan dalam memprediksi konsekuensi jangka panjang dari tindakan tertentu dan potensi untuk membenarkan tindakan yang tidak etis jika mereka menghasilkan hasil yang diinginkan dalam jangka pendek.
Kritik lain adalah bahwa ini dapat menyebabkan perhitungan yang tidak praktis dan keputusan yang tidak konsisten.
Sebaliknya, utilitarianisme aturan berpendapat bahwa keputusan etis harus dibuat berdasarkan aturan yang, jika diikuti secara konsisten, akan menghasilkan konsekuensi terbaik bagi sebanyak mungkin orang. Ini diperkenalkan sebagai modifikasi terhadap utilitarianisme tindakan untuk mengatasi beberapa kritik terhadapnya.
Teori ini, yang dipromosikan oleh filsuf seperti R. M. Hare dalam karyanya "Moral Thinking" (1981), menekankan bahwa aturan-aturan tertentu biasanya akan mengarah pada hasil yang baik dan oleh karena itu harus diikuti bahkan jika dalam kasus tertentu tampaknya tidak menghasilkan hasil terbaik.
Utilitarianisme aturan menawarkan konsistensi dan kepastian yang lebih besar dalam pengambilan keputusan, dan dapat mencegah justifikasi tindakan yang tidak etis berdasarkan hasil yang baik dalam kasus individual. Akan tetapi, kritik terhadap pendekatan ini termasuk kekakuan yang bisa membatasi kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi unik dan potensi konflik antara aturan yang berbeda yang masing-masing dirancang untuk memaksimalkan kebaikan.
Dengan mempertimbangkan aturan-aturan yang telah teruji menghasilkan kebahagiaan secara umum, utilitarianisme aturan berusaha untuk memberikan kerangka kerja yang lebih praktis dan kurang membebani bagi individu dan pembuat kebijakan untuk mengikuti dalam mengejar kesejahteraan kolektif.
Meskipun demikian, tantangan dalam menentukan aturan mana yang paling efektif masih tetap ada dan sering menjadi subyek dari diskusi etis yang berkelanjutan.
Utilitarianisme Preferensi
Utilitarianisme preferensi merupakan pengembangan dari teori utilitarianisme klasik yang mempertimbangkan preferensi atau keinginan subyek sebagai dasar untuk menilai tindakan. Menurut teori ini, tindakan dianggap benar jika mereka mendukung pemenuhan preferensi sebanyak mungkin orang.
Pendekatan ini, yang sering dikaitkan dengan filsuf seperti R. M. Hare dan John Harsanyi, mencoba menanggapi kritik bahwa kebahagiaan atau kesenangan tidak mudah untuk diukur. Dalam "Preferences, Utility, and Demand" (1977), Harsanyi menyatakan bahwa preferensi individu harus dihormati dan diperhitungkan dalam mengambil keputusan etis.
Kelebihan dari utilitarianisme preferensi adalah ia menghargai otonomi individu dan keunikan dari setiap orang, mengakui bahwa apa yang membuat satu orang senang bisa berbeda dengan orang lain. Ini menciptakan kerangka kerja etika yang lebih inklusif yang dapat menyesuaikan keberagaman keinginan dan gaya hidup.
Selain itu, dengan fokus pada preferensi, teori ini mempermudah untuk mengaplikasikan utilitarianisme dalam situasi yang kompleks di mana kesenangan tidak bisa diukur secara langsung.
Namun, utilitarianisme preferensi juga memiliki tantangan. Preferensi bisa sangat bervariasi dan terkadang kontradiktif, membuat sulit untuk menentukan tindakan mana yang memaksimalkan pemenuhan preferensi secara keseluruhan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa tidak semua preferensi seharusnya diberi bobot yang sama, terutama jika beberapa preferensi didasarkan pada informasi yang salah atau prasangka.
Dengan memprioritaskan pemenuhan preferensi daripada kesenangan, utilitarianisme preferensi mencoba menjembatani perbedaan individu dan menyediakan metode yang lebih subyektif dalam menilai kebaikan.
Utilitarianisme Negatif
Utilitarianisme negatif adalah variasi dari teori utilitarian yang memfokuskan pada minimalisasi penderitaan daripada maksimalisasi kesenangan. Teori ini didasarkan pada gagasan bahwa penderitaan memiliki dampak yang lebih mendalam pada kehidupan individu daripada jumlah kesenangan yang setara, dan oleh karena itu, pengurangan penderitaan harus memiliki prioritas utama.
Pendekatan ini didukung oleh beberapa pemikir seperti Karl Popper yang dalam "The Open Society and Its Enemies" (1945) menyatakan bahwa kita mungkin tidak bisa membuat orang bahagia, tetapi kita bisa berusaha mengurangi penderitaan mereka.
Utilitarianisme negatif menekankan bahwa tindakan etis harus ditujukan untuk mengatasi penderitaan yang paling parah seperti kelaparan, sakit, atau kekejaman. Ini merupakan respons terhadap kritikan terhadap utilitarianisme klasik yang dinilai terlalu fokus pada pencapaian kesenangan tanpa memperhitungkan distribusi penderitaan yang tidak merata.
Salah satu kelebihan pendekatan ini adalah kemampuannya untuk membimbing tindakan dalam situasi kemanusiaan darurat, di mana tujuan utamanya adalah menghilangkan penderitaan. Namun, ini juga menghadapi kritik karena bisa mengarah pada pandangan yang terlalu pesimistis atau negatif terhadap kehidupan, di mana pengurangan penderitaan dianggap lebih penting daripada penciptaan kebahagiaan.
Utilitarianisme negatif mendorong kita untuk mengambil tindakan langsung dalam menghadapi kesengsaraan dan memberikan perspektif yang lebih berorientasi pada penderitaan daripada kebahagiaan. Ini membawa dimensi moral yang berbeda ke dalam diskusi tentang apa yang membuat tindakan menjadi benar atau salah, dengan menekankan kebutuhan mendesak untuk mengurangi penderitaan di dunia kita.