Sejumlah Kritik Penting terhadap Utilitarianisme

08/11/2023, 17:29 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Sejumlah Kritik Penting terhadap Utilitarianisme
Ilustrasi tokoh-tokoh utilitarianisme
Table of contents
Editor: EGP

DALAM diskusi mengenai etika dan moralitas, utilitarianisme sering kali menempati pusat perdebatan. Teori ini, yang mengadvokasi tindakan yang menghasilkan kebahagiaan atau keuntungan terbesar bagi jumlah orang terbanyak, memiliki daya tarik intuitif yang kuat. 

Namun, ketika prinsip-prinsip utilitarianisme diterapkan dalam kehidupan nyata, tidak jarang muncul tantangan dan kritik yang kompleks. Artikel ini bertujuan untuk menjelajahi beberapa kritik paling berpengaruh terhadap utilitarianisme, dengan fokus pada tiga subtopik utama: Kritik terhadap pengukuran kesenangan, dilema hak individu versus kebaikan terbesar, dan kritik terhadap kalkulasi konsekuensialisme (consequentialism), nilai suatu tindakan secara moral hanya berdasarkan pada konsekuensinya semata.

Kritik terkait Pengukuran Kesenangan

Utilitarianisme merupakan teori etika yang mengusung prinsip bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat memaksimalkan kesenangan atau kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Namun, konsep ini tidak luput dari kritik, terutama terkait dengan bagaimana 'kesenangan' dapat diukur secara obyektif.

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Salah satu kritik yang sering muncul adalah sulitnya mengukur kesenangan karena bersifat subyektif. Kesenangan setiap individu tidak bisa diukur dengan satuan yang sama karena apa yang menyenangkan bagi satu orang bisa jadi tidak menyenangkan bagi orang lain.

Jeremy Bentham, seorang filsuf dan pendiri teori utilitarianisme, percaya bahwa kesenangan bisa diukur melalui pendekatan yang disebut sebagai 'kalkulus felicific' atau 'kalkulus kebahagiaan'. Namun, dalam praktiknya, ini terbukti rumit dan tidak praktis.

John Stuart Mill yang juga seorang utilitarian, mengakui adanya 'kualitas' kesenangan yang berbeda-beda. Mill membedakan antara kesenangan yang lebih rendah yang bersifat fisik dan kesenangan yang lebih tinggi yang bersifat intelektual. Meski demikian, tantangan untuk mengklasifikasikan dan mengukur kualitas kesenangan ini masih menjadi topik debat yang hangat hingga hari ini.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Selain itu, kritikus seperti Robert Nozick menunjukkan melalui eksperimen pikirannya yang terkenal, 'mesin pengalaman', bahwa ada lebih dari sekedar kesenangan yang dicari manusia dalam hidupnya. Nozick menunjukkan bahwa manusia cenderung memilih realitas yang keras daripada kesenangan semu yang diberikan oleh mesin tersebut, menantang asumsi bahwa kesenangan adalah satu-satunya hal yang dihargai.

Pada akhirnya, tantangan untuk mengukur kesenangan dalam utilitarianisme mengungkapkan bahwa aspek kemanusiaan kita tidak selalu sesuai dengan pengukuran yang matematis dan objektif. Seperti yang diungkapkan oleh filsuf Alasdair MacIntyre dalam bukunya "After Virtue" (1981), ada dimensi etika yang tidak dapat diukur hanya dengan angka atau kalkulasi sederhana.

Dengan mempertimbangkan semua ini, tampaknya utilitarianisme harus mengakui batas-batas dari teorinya sendiri dalam mengukur kesenangan. Meskipun teori ini memberikan landasan yang kuat untuk banyak keputusan etis, aplikasinya dalam praktik nyata tetap membutuhkan pertimbangan yang mendalam dan empati terhadap pengalaman manusia yang beragam.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Dilema Hak Individu versus Kebaikan Terbesar

Konsep utilitarianisme sering kali berbenturan dengan hak-hak individu. Teori ini menekankan pada pencapaian kebaikan terbesar bagi jumlah orang terbanyak, namun dalam prosesnya, kadang-kadang hak asasi individu dapat terabaikan. Ini merupakan salah satu kritik paling berat terhadap utilitarianisme, karena dalam beberapa kasus, kebahagiaan mayoritas dapat mengorbankan kebahagiaan atau hak minoritas.

Sebagai contoh, dalam sebuah skenario dimana kepentingan umum menuntut pengorbanan dari sekelompok kecil orang, utilitarianisme akan mendukung pengorbanan tersebut jika hasilnya meningkatkan kebahagiaan secara keseluruhan. Ini menimbulkan pertanyaan etis yang sulit: apakah benar untuk mengorbankan sedikit demi kebaikan yang lebih besar?

Filsuf seperti John Rawls telah mengemukakan pandangan yang berlawanan dengan utilitarianisme melalui teorinya yang dikenal sebagai 'teori keadilan'. Rawls berargumen bahwa masyarakat harus diatur sedemikian rupa sehingga hak-hak dasar setiap orang dilindungi, meskipun hal itu berarti membatasi kebahagiaan mayoritas. Menurut Rawls dalam bukunya "A Theory of Justice" (1971), keadilan tidak boleh dikompromikan demi kebahagiaan.

Sementara itu, Amartya Sen, dalam karyanya "The Idea of Justice" (2009), mengkritik utilitarianisme karena gagal mengakui pentingnya proses dalam penentuan keadilan. Sen menekankan bahwa keadilan tidak hanya tentang hasil yang dihasilkan, tetapi juga tentang cara mencapai hasil tersebut, termasuk perlindungan hak individu.

Dilema antara hak individu dan kebaikan terbesar ini terus menjadi topik diskusi yang panas dalam filsafat etika. Utilitarianisme, meski memiliki niat baik dalam menciptakan kebahagiaan maksimal, harus diimbangi dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak individu agar tidak menjadi justifikasi untuk tindakan yang tidak etis. Ini menunjukkan kompleksitas dalam menerapkan utilitarianisme dalam kehidupan nyata dan pentingnya menemukan keseimbangan antara kebaikan kolektif dengan penghormatan terhadap individu.

Kritik terhadap Kalkulasi Konsekuensialisme

Konsekuensialisme, yang merupakan dasar dari utilitarianisme, menilai tindakan berdasarkan hasil atau konsekuensi yang dihasilkannya. Namun, kalkulasi untuk menentukan tindakan terbaik berdasarkan konsekuensinya saja sering kali menuai kritik. Kritik ini berakar pada kesulitan praktis dan teoritis dalam menghitung dan memprediksi konsekuensi tindakan kita.

Pertama, ada masalah prediktif. Sangat sulit untuk memprediksi dengan akurat semua konsekuensi dari tindakan kita, terutama karena kompleksitas dunia dan keterbatasan pengetahuan kita tentang masa depan.

Gagasan ini didukung oleh filsuf seperti G.E.M. Anscombe dalam tulisannya "Modern Moral Philosophy" (1958), yang mengkritik utilitarianisme karena mengasumsikan bahwa kita dapat mengetahui semua konsekuensi tindakan kita, yang seringkali tidak mungkin.

Kedua, terdapat masalah kuantifikasi. Bahkan jika kita bisa memprediksi konsekuensi, masih terdapat kesulitan dalam mengukurnya. Konsekuensi tidak selalu dapat diukur dengan nilai yang obyektif atau komparatif, terutama ketika mereka melibatkan perasaan subyektif atau nilai-nilai kualitatif yang tidak dapat dengan mudah diperbandingkan.

Ketiga, ada isu keadilan distributif. Kalkulasi konsekuensialisme cenderung mengabaikan bagaimana konsekuensi itu didistribusikan di antara orang-orang yang terkena dampaknya. Ini berarti bahwa utilitarianisme bisa mendukung tindakan yang memberi manfaat besar bagi banyak orang namun menyebabkan penderitaan besar bagi sedikit orang, suatu situasi yang menimbulkan pertanyaan etis serius.

Keempat, ada kritik terhadap impersonalitasnya. Kalkulasi konsekuensial utilitarian tidak mempertimbangkan hubungan pribadi dan kewajiban khusus yang mungkin kita miliki terhadap orang tertentu, seperti keluarga atau teman.

Bernard Williams mengemukakan argumen dalam "Critique of Utilitarianism" (1973) bahwa utilitarianisme mengabaikan integritas moral individu dengan memaksa mereka untuk mengikuti aturan yang mungkin bertentangan dengan komitmen pribadi mereka.

Terakhir, kalkulasi konsekuensial utilitarian juga dianggap terlalu menuntut. Ia meminta individu untuk selalu melakukan tindakan yang akan menghasilkan kebaikan terbesar, tanpa menghiraukan kebutuhan pribadi atau keinginan mereka sendiri. Hal ini, menurut beberapa kritikus, tidak realistis dan tidak adil bagi individu yang diharapkan untuk secara konstan mengorbankan kepentingan mereka sendiri demi orang lain.

Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa, sementara konsekuensialisme mungkin berguna sebagai panduan umum, penggunaannya sebagai metode kalkulasi yang ketat dalam etika menghadapi tantangan signifikan. Oleh karena itu, banyak yang berpendapat bahwa harus ada pertimbangan etis lainnya yang berperan dalam pengambilan keputusan moral kita.

OhPedia Lainnya