KONFLIK antara Palestina dan Israel telah berlangsung selama puluhan tahun, dan salah satu faktor yang menghambat proses perdamaian adalah perbedaan pandangan di kalangan internal di kedua belah pihak. Berbabagai perbedaan itu yang akan dibahas dalam artikel ini, mulai dari perbedaan pandangan politik, pandangan soal permukiman Yahudi, dan perbedaan terkait agama dan sekulerisme di kalangan warga Israel hingga perselisihan antara faksi, pendekatan menghadapi Israel, dan sikap diaspora Palestia di kalangan Palestina.
Di Kalangan Israel
Perbedaan Pandangan Politik
Di kalangan Israel, terdapat beragam pandangan politik yang menciptakan perpecahan dalam upaya mencapai perdamaian dengan Palestina. Sebagian besar pendukung kanan, yang terwakili oleh partai politik seperti Likud, cenderung mendukung pendekatan keras terhadap konflik ini.
Mereka percaya bahwa Israel harus mempertahankan kendali atas sebagian besar wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai bagian tak terpisahkan dari negara mereka (Lustick, 2007).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Pandangan itu menciptakan ketegangan dengan masyarakat internasional yang menilai bahwa pemukiman Israel di wilayah-wilayah ini adalah ilegal berdasarkan hukum internasional (Reinhart, 2006).
Di sisi lain, ada kelompok-kelompok dalam masyarakat Israel yang mendukung pendekatan yang lebih moderat dan berupaya mencari solusi dua negara yang adil. Mereka memandang permukiman-permukiman di Tepi Barat sebagai penghalang terhadap perdamaian dan menekankan pentingnya negosiasi dengan Palestina untuk mencapai solusi berdasarkan batas-batas 1967 (Sayigh, 1999).
Meskipun pandangan ini lebih sejalan dengan pandangan masyarakat internasional, konflik internal di Israel membuat sulit untuk mencapai konsensus dalam upaya perdamaian.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Terkait Permukiman Yahudi
Salah satu isu paling kontroversial dalam konflik Israel-Palestina adalah permukiman-permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Di kalangan Israel, ada perbedaan pendapat tentang pemukiman ini. Sebagian pendukung pemukiman percaya bahwa mereka merupakan bagian integral dari Israel dan bahwa permukiman tersebut mengamankan wilayah-wilayah tersebut dari ancaman Palestina (Lustick, 2007).
Namun, pandangan ini bertentangan dengan pandangan mayoritas masyarakat internasional yang menganggap pemukiman-pemukiman ini sebagai pelanggaran hukum internasional dan hambatan serius dalam upaya mencapai perdamaian (Reinhart, 2006).
Di sisi Palestina, permukiman-permukiman Yahudi dianggap sebagai perampasan tanah dan sumber daya Palestina. Mayoritas penduduk Palestina melihat permukiman ini sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka dan penghalang bagi solusi dua negara yang adil (Sayigh, 1999). Pandangan ini menciptakan ketegangan dan konflik yang berkelanjutan antara Palestina dan Israel, menghambat proses perdamaian.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Terkait Agama dan Sekulerisme
Agama juga memainkan peran penting dalam konflik Israel-Palestina. Di kalangan Israel, terdapat perbedaan antara kelompok agama ortodoks dan sekuler. Kelompok agama ortodoks cenderung lebih konservatif dan ingin mempertahankan pengaruh agama dalam politik dan masyarakat (Gunning, 2007). Mereka melihat pemukiman di Tepi Barat sebagai pemenuhan tugas religius untuk menguasai tanah yang dianggap suci.
Sementara itu, kelompok sekuler di Israel cenderung lebih berpihak pada pemisahan agama dan negara (Reinhart, 2006). Mereka menginginkan negara yang lebih sekuler dan demokratis, di mana agama tidak memiliki pengaruh yang kuat dalam kebijakan publik. Perbedaan ini menciptakan ketegangan dalam masyarakat Israel dan berdampak pada pendekatan terhadap konflik dengan Palestina.
Di Kalangan Palestina
Faksi yang Berselisih
Di dalam komunitas Palestina, terdapat berbagai faksi yang berselisih dalam upaya mencapai tujuan kemerdekaan dan perdamaian dengan Israel. Dua faksi terbesar yang seringkali berselisih adalah Fatah dan Hamas (Gunning, 2007).
Fatah, yang mendominasi Otoritas Palestina, memiliki pandangan yang lebih moderat dan mendukung solusi dua negara. Mereka berupaya mencapai perdamaian melalui perundingan dengan Israel. Sementara itu, Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, memiliki pandangan yang lebih keras dan menolak untuk mengakui Israel. Mereka menggunakan taktik kekerasan dan sering kali terlibat dalam konflik bersenjata dengan Israel.
Perselisihan antara faksi-faksi ini menciptakan ketidakstabilan internal di Palestina dan menghambat kemampuan Palestina untuk menyatukan posisinya dalam perundingan dengan Israel (Sayigh, 1999).
Perbedaan Pendekatan Menghadapi Israel
Di dalam komunitas Palestina, terdapat perbedaan pendapat tentang pendekatan yang harus diambil dalam menghadapi Israel (Baroud, 2010). Beberapa orang mendukung pendekatan diplomatis dan non-kekerasan, sementara yang lain lebih condong kepada taktik perlawanan bersenjata. Perbedaan ini tercermin dalam dua faksi utama, yaitu Fatah dan Hamas (Gunning, 2007).
Kelompok yang mendukung pendekatan non-kekerasan percaya bahwa negosiasi adalah satu-satunya jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan. Mereka berpendapat bahwa taktik kekerasan hanya akan memperburuk situasi dan mempersulit pencapaian solusi yang adil.
Di sisi lain, kelompok yang mendukung taktik perlawanan bersenjata melihatnya sebagai satu-satunya cara untuk melawan pendudukan Israel dan mengamankan hak-hak Palestina. Perbedaan pendapat ini menciptakan ketegangan dalam masyarakat Palestina dan menghambat upaya menyatukan strategi yang efektif dalam perundingan dengan Israel (Lustick, 2007).
Diaspora Palestina
Diaspora Palestina, yang terdiri dari jutaan orang Palestina yang tinggal di luar wilayah Palestina, juga memiliki peran dalam konflik ini (Baroud, 2010). Beberapa anggota diaspora memiliki sikap yang keras terhadap Israel dan mengadvokasi pendekatan yang lebih radikal dalam perjuangan mereka. Mereka seringkali merasa terpinggirkan dan ingin memainkan peran yang lebih besar dalam menentukan nasib Palestina.
Sikap diaspora Palestina yang beragam menciptakan tantangan dalam upaya menyatukan visi dan strategi di kalangan komunitas Palestina. Beberapa kelompok diaspora memiliki pengaruh yang signifikan dalam mendukung kelompok-kelompok militan di wilayah Palestina, yang dapat memperkeruh situasi dan menghambat perdamaian (Sayigh, 1999).