SEJARAH nama Palestina adalah cerita panjang yang melibatkan banyak peradaban, agama, dan kekuatan politik yang berbeda-beda selama ribuan tahun. Nama Palestina sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu "Philistia," yang merujuk kepada bangsa Filistin, salah satu kelompok penduduk pesisir kuno di wilayah tersebut. Namun, sejarah nama Palestina jauh lebih kompleks daripada hanya sekedar nama bangsa Filistin.
Zaman Kuno
Nama Palestina memiliki akar yang sangat tua dan sering kali membingungkan karena penggunaannya telah berubah sepanjang sejarah. Di zaman kuno, kawasan yang kini kita kenal sebagai Palestina adalah sebuah lintasan tanah subur yang menjadi rebutan banyak kekuatan.
Menurut Flavius Josephus, seorang sejarawan Yahudi-Romawi, dalam karyanya "Antiquities of the Jews" (93 M), nama "Palestina" berasal dari kata "Philistia", yang merujuk pada tanah yang dihuni oleh bangsa Filistin di sepanjang pantai selatan.
Baca juga: Mendalami Berbagai Aspek Kesenjangan Ekonomi dan Sosial
Dalam catatan-catatan sejarah kuno, seperti dalam kitab Taurat, Alkitab, wilayah ini juga sering disebut sebagai "Tanah Kanaan", yang dihuni oleh berbagai suku sebelum era bangsa Israel.
Bangsa Filistin
Bangsa Filistin sendiri adalah kelompok orang yang misterius dalam sejarah kuno. Mereka diketahui memiliki kebudayaan yang maju dan sering kali dikaitkan dengan bangsa "Peleset", salah satu dari "Bangsa Laut" yang disebut dalam prasasti-prasasti Mesir.
Neil Asher Silberman, dalam bukunya "The Archaeology of the Israelite Settlement" (1989), menggambarkan bangsa Filistin sebagai bangsa yang memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan sejarah wilayah tersebut, terutama dalam mempengaruhi nama Palestina.
Baca juga: Apa Itu Kesenjangan Ekonomi dan Sosial?
Bangsa Filistin pada zaman itu dikenal karena keterampilan militer dan kebudayaan mereka yang berbeda dari suku-suku Semitik di sekitarnya. Bangsa Filistin juga tercatat sebagai salah satu musuh bangsa Israel ketika itu.
Kekaisaran Romawi
Perubahan signifikan dalam penggunaan nama Palestina terjadi pada masa Kekaisaran Romawi. Setelah pemberontakan Yahudi yang gagal melawan Romawi pada abad pertama Masehi, Kaisar Hadrian memutuskan untuk menghapus nama Yudea dan menggantinya dengan Syria Palaestina pada tahun 135 M, sebagai bagian dari upaya untuk meminimalisir identitas Yahudi dari wilayah tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh E. Mary Smallwood dalam "The Jews Under Roman Rule" (1976).
Penggunaan nama Palestina itu sebagai bentuk pelecehan terhadap bangsa Yahudi. Nama Yudea tidak lagi dipakai. Nama yang justru digunakan untuk wilayah itu adalah nama dari suku bangsa yang merupakan musuh mereka.
Baca juga: Keunggulan dari Konsep Keunggulan Komparatif
Nama Palestina kemudian terus digunakan selama berabad-abad, bahkan setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, dan menjadi asal-usul nama modern "Palestina".
Setelah Kekalahan Romawi
Meskipun Kekaisaran Romawi berhasil menancapkan pengaruhnya atas wilayah Palestina, kekalahan dan kemunduran mereka juga meninggalkan bekas yang mendalam.
Setelah Romawi terbagi menjadi dua, wilayah ini menjadi bagian dari Kekaisaran Bizantium atau Romawi Timur yang kemudian sering kali diserang oleh berbagai kekuatan, termasuk Persia dan akhirnya kaum Muslim.
Sejarawan Haim Hillel Ben-Sasson dalam "A History of the Jewish People" (1976), menuliskan bahwa periode ini ditandai dengan banyak pergolakan dan perubahan penguasa yang berujung pada penurunan nama Palestina dalam penggunaan sehari-hari, digantikan oleh istilah-istilah lokal yang lebih spesifik.
Kekaisaran Ottoman
Kemudian, pada awal abad ke-16, Kekaisaran Ottoman mengambil alih kendali wilayah tersebut, yang menandai babak baru dalam sejarah Palestina. Selama pemerintahan Ottoman, yang tercatat dalam "Ottoman Palestine, 1800-1914" oleh Gad G. Gilbar (1990), nama Palestina kurang digunakan. Wilayah tersebut terbagi menjadi beberapa distrik yang dikelola secara terpisah.
Namun, kepentingan strategis dan religius wilayah ini tetap membuatnya menjadi pusat perhatian, baik bagi penguasa Ottoman maupun bagi kekuatan-kekuatan Eropa yang mulai menunjukkan ketertarikan mereka. Meskipun demikian, konsep Palestina sebagai sebuah entitas teritorial bersejarah tetap hidup dalam kesadaran kolektif berbagai kelompok etnis dan agama yang tinggal di wilayah tersebut.
Mandat Britania
Setelah kekalahan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I, wilayah Palestina jatuh ke tangan kekuatan Eropa. Berdasarkan kesepakatan internasional, Britania Raya diberikan mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk mengelola wilayah tersebut.
Dalam periode Mandat Britania, yang dibahas secara mendalam oleh Rashid Khalidi dalam "The Iron Cage: The Story of the Palestinian Struggle for Statehood" (2006), nama Palestina resmi digunakan dalam konteks administrasi dan politik.
Pada masa ini, upaya-upaya untuk mendirikan sebuah "tanah air" bagi bangsa Yahudi sesuai dengan Deklarasi Balfour 1917, berjalan beriringan dengan keinginan penduduk Arab untuk merdeka.
Kebijakan-kebijakan Britania sering kali menimbulkan ketegangan antarkomunitas, yang memuncak dalam kekerasan pada tahun-tahun menjelang berakhirnya mandat.
Pembentukan Negara Israel
Tahun 1948 menjadi titik balik yang krusial dalam sejarah Palestina dengan deklarasi kemerdekaan Negara Israel, yang diakui oleh komunitas internasional tetapi menimbulkan perang dengan negara-negara Arab tetangga.
Benny Morris, dalam "1948: A History of the First Arab-Israeli War" (2008), menggambarkan bagaimana pembentukan Israel mengubah peta geopolitik dan demografi wilayah tersebut secara dramatis.
Untuk komunitas Yahudi, ini adalah pemenuhan hasrat berabad-abad untuk kembali ke tanah leluhur, sedangkan bagi penduduk Arab Palestina, ini adalah awal dari periode panjang perjuangan dan diaspora, yang berujung pada konflik yang berkepanjangan dan belum terselesaikan hingga saat ini.
Nama Palestina, sejak itu, menjadi terkait erat dengan konflik dan aspirasi untuk pembentukan sebuah negara Palestina merdeka yang diakui secara internasional.