Penyebab dan Faktor Pendukung Nepotisme

13/11/2023, 15:28 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Penyebab dan Faktor Pendukung Nepotisme
Nepotisme
Table of contents
Editor: EGP

NEPOTISME, atau praktik memberikan keistimewaan pada kerabat dalam lingkungan kerja atau organisasi, adalah fenomena global yang memiliki akar sejarah dan budaya yang dalam. Artikel ini akan menjelaskan penyebab dan faktor pendukung nepotisme, khususnya dari perspektif budaya dan tradisi,  kekuatan politik dan ekonomi, serta kekurangan regulasi dan pengawasan.

Budaya dan Tradisi

Nepotisme sering kali terkait erat dengan budaya dan tradisi suatu masyarakat. Dalam beberapa kebudayaan, memiliki hubungan keluarga yang kuat dan saling membantu antaranggota keluarga dianggap sebagai nilai yang sangat penting. Hal ini menciptakan lingkungan di mana praktik nepotisme menjadi lebih mudah diterima dan bahkan diharapkan (Hudson & Claasen, 2017).

Pertama, dalam masyarakat yang mementingkan hubungan kekeluargaan, nepotisme sering kali dianggap sebagai bentuk kewajiban moral. Orang tua, misalnya, merasa bertanggung jawab untuk membantu anak atau kerabat mereka mendapatkan pekerjaan atau posisi yang baik. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa membantu keluarga adalah prioritas utama, bahkan di atas keadilan atau meritokrasi (Hudson & Claasen, 2017).

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Kedua, dalam beberapa budaya, nepotisme dipandang sebagai cara untuk menjaga kekayaan dan kekuasaan dalam lingkaran keluarga atau komunitas tertentu. Hal ini terutama terlihat dalam bisnis keluarga, di mana kepemimpinan dan pengelolaan sering kali diwariskan dari generasi ke generasi. Ini menciptakan lingkungan di mana nepotisme bukan hanya diterima, tetapi juga dianggap sebagai strategi untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan bisnis (Hudson & Claasen, 2017).

Ketiga, ada keyakinan dalam beberapa budaya bahwa kerabat dapat dipercaya lebih daripada orang luar. Ini berakar dari kepercayaan bahwa orang yang memiliki ikatan darah atau pernikahan lebih mungkin untuk memiliki kesetiaan dan kepentingan yang serupa. Akibatnya, praktik nepotisme sering kali dijustifikasi sebagai cara untuk meminimalkan risiko dan meningkatkan keandalan dalam organisasi atau bisnis (Hudson & Claasen, 2017).

Keempat, di beberapa negara, sistem pendidikan dan profesional kurang berkembang, membuat jalur karier yang berbasis pada kualifikasi dan prestasi menjadi kurang jelas. Dalam situasi seperti ini, nepotisme sering kali menjadi jalur alternatif untuk kemajuan karier. Ini karena koneksi keluarga seringkali lebih mudah diakses dan dianggap lebih dapat diandalkan daripada sistem yang tidak stabil atau tidak adil (Hudson & Claasen, 2017).

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Di sini tampak bahwa budaya dan tradisi memiliki peran penting dalam membentuk praktik nepotisme. Sementara nilai-nilai seperti kesetiaan keluarga dapat membenarkan nepotisme, penting untuk mengakui dampak negatif yang dapat ditimbulkannya pada masyarakat secara keseluruhan.

Kekuatan Politik dan Ekonomi

Nepotisme dalam konteks politik dan ekonomi sering kali berkaitan erat dengan pengaruh dan kekuasaan. Dalam bidang politik, nepotisme dapat mengakibatkan penempatan individu dalam posisi kekuasaan berdasarkan hubungan keluarga atau pribadi daripada kualifikasi atau keahlian mereka. Hal ini dapat mengurangi efektivitas dan integritas institusi politik (Thapa, 2023).

Dalam ekonomi, nepotisme dapat menghambat pengembangan modal manusia, seperti yang dijelaskan dalam penelitian oleh Perez-Alvarez dan Strulik (2021). Ketika pasar tenaga kerja dirasakan sebagai nepotistik, individu memiliki motivasi ekonomi yang lebih lemah untuk berinvestasi dalam pendidikan dan pengembangan keahlian. Hal ini berujung pada konsekuensi negatif bagi perkembangan ekonomi karena kurangnya investasi dalam modal manusia yang berkualitas.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Selanjutnya, nepotisme dapat membentuk norma budaya yang berkembang dan berbeda-beda, yang relevan dengan perkembangan ekonomi. Penelitian ini juga menghubungkan persepsi nepotisme di tingkat negara dengan skor dari Programme for International Student Assessment (PISA), menunjukkan hubungan negatif antara nepotisme dan pengembangan modal manusia.

Kekuatan politik dan ekonomi memainkan peran signifikan dalam memfasilitasi praktik nepotisme. Di satu sisi, nepotisme dalam politik mengancam efektivitas dan integritas institusi, sementara di sisi lain, dalam ekonomi, ia menghambat pengembangan modal manusia, yang vital untuk pertumbuhan ekonomi.

Kekurangan Regulasi dan Pengawasan

Kekurangan dalam regulasi dan pengawasan sering kali menjadi faktor utama yang memungkinkan terjadinya nepotisme. Absennya atau kelemahan dalam peraturan yang mengatur praktik penunjukan kerabat dalam organisasi atau lembaga pemerintahan dapat menciptakan celah untuk praktik nepotisme.

Salah satu aspek penting dalam mengatasi nepotisme adalah penerapan regulasi yang ketat dan efektif. Misalnya, dalam sistem layanan sipil AS, sejak disahkannya Pendleton Act tahun 1883 dan Civil Service Reform Act tahun 1978, praktik favoritisme berdasarkan hubungan keluarga telah secara khusus dilarang. Hal ini didasarkan pada ide bahwa karyawan harus dipilih melalui kompetisi yang adil dan terbuka dan dipromosikan berdasarkan meritokrasi individu mereka (U.S. Merit Systems Protection Board, 2023).

Namun, regulasi saja tidak cukup. Pengawasan yang efektif juga sangat penting untuk memastikan penerapan regulasi tersebut. Tanpa pengawasan yang memadai, regulasi dapat dengan mudah diabaikan atau dihindari. Dengan demikian, peran lembaga pengawas dan auditor dalam memonitor praktik perekrutan dan promosi menjadi sangat krusial.

Kekurangan regulasi dan pengawasan berkontribusi signifikan terhadap prevalensi nepotisme. Penerapan regulasi yang efektif dan pengawasan yang ketat merupakan langkah penting dalam mencegah praktik nepotisme dan memastikan sistem meritokrasi yang adil dan transparan.

Referensi:

Hudson, S., & Claasen, Nepotism and Cronyism as a Cultural Phenomenon? In M.S. Aßländer & S. Hudson (Eds.), The Handbook of Business and Corruption (pp. 95-118). Emerald Publishing Limited. (2017)
Perez-Alvarez, Marcello & Strulik, Holger. Nepotism, human capital and economic development. Journal of Economic Behavior & Organization. (2021).

Thapa, Santa Bahadur. The Nepotism and Favouritism in Politics of South Asia. Studies in Social Science & Humanities, 2(10), 1–9. (2023).
U.S. Merit Systems Protection Board. Retrieved from https://www.mspb.gov/PPPs/nepotism.htm. (2023)

OhPedia Lainnya