KELOMPOK Hamas, yang muncul di akhir tahun 1980-an sebagai gerakan perlawanan Islamis di Palestina, telah menjadi subyek perdebatan dan analisis intensif dalam konteks konflik Israel-Palestina. Dengan sejarah yang kompleks, Hamas tidak hanya berperan sebagai entitas politik dan militer, tetapi juga sebagai penyedia layanan sosial, berperan penting dalam masyarakat Palestina.
Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang sejarah, tujuan, ideologi, serta keterlibatan politik dan pemerintahan Hamas, memaparkan bagaimana gerakan ini telah berevolusi dari awal pendiriannya hingga menjadi pemain kunci dalam dinamika politik regional.
Sejarah Berdirinya Hamas
Kelompok Hamas, yang merupakan singkatan dari "Harakat al-Muqawama al-Islamiya" (Gerakan Perlawanan Islam), didirikan pada akhir tahun 1987 sebagai cabang dari Gerakan Ikhwanul Muslimin di Palestina. Tujuan awal Hamas adalah untuk menentang pendudukan Israel di wilayah Palestina dan menegakkan identitas Islam di wilayah tersebut.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Menurut Azzam Tamimi dalam bukunya "Hamas: A History from Within" (2007), pendirian Hamas terjadi di tengah-tengah Intifada Pertama, sebuah periode pemberontakan Palestina terhadap kekuasaan Israel.
Hamas didirikan oleh Sheikh Ahmed Yassin, Abdel Aziz al-Rantissi, dan Mohammad Taha, yang semuanya merupakan tokoh Islam yang sangat berpengaruh di Gaza. Sheikh Yassin, sebagai figur sentral, dikenal karena pandangan dan pendekatannya yang keras terhadap Israel.
Dalam "The Making of Hamas's Foreign Policy" oleh Daud Abdullah (2005), ditegaskan bahwa sejak awal, Hamas memiliki pandangan yang jelas tentang pembentukan negara Palestina yang merdeka dan bebas dari intervensi asing.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Awalnya, Hamas terlibat dalam kegiatan sosial dan pendidikan, mendirikan sekolah, klinik, dan lembaga sosial lainnya di Gaza dan Tepi Barat. Ini dijelaskan dalam "Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad" oleh Matthew Levitt (2006), yang menunjukkan bagaimana aktivitas-aktivitas ini membantu Hamas mendapatkan dukungan populer. Fokus pada layanan sosial ini juga membedakan Hamas dari Fatah, yang lebih berfokus pada politik dan perjuangan bersenjata.
Seiring waktu, Hamas mulai mengadopsi taktik lebih militan, termasuk serangan bunuh diri terhadap target Israel. Menurut Khaled Hroub dalam "Hamas: Political Thought and Practice" (2000), langkah ini adalah respons terhadap kekerasan yang terus meningkat di wilayah tersebut. Strategi ini menandai pergeseran dari aktivitas sosial dan pendidikan ke perjuangan bersenjata, yang menjadi ciri khas Hamas dalam dekade berikutnya.
Dalam konteks lebih luas, pendirian Hamas tidak hanya menandai perubahan penting dalam politik Palestina tetapi juga mengubah dinamika konflik Israel-Palestina. Seperti yang dijelaskan Beverley Milton-Edwards dan Stephen Farrell dalam "Hamas: The Islamic Resistance Movement" (2010), kehadiran Hamas mengubah peta perjuangan Palestina, dari yang semula didominasi oleh PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) menjadi lebih kompleks dengan masuknya unsur-unsur Islamis.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Tujuan dan Ideologi Hamas
Hamas, sebagai gerakan perlawanan dan politik, memiliki ideologi yang berakar pada prinsip-prinsip Islamisme. Dalam "Hamas: Ideology, Jihad and The Islamic Movement" (1999), Ziad Abu-Amr menguraikan bahwa ideologi Hamas menggabungkan unsur-unsur nasionalisme Palestina dengan Islamisme. Tujuan utama mereka adalah pendirian sebuah negara Palestina yang merdeka dan sepenuhnya berdaulat di wilayah yang saat ini merupakan Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza, dengan Jerusalem sebagai ibu kotanya. Hamas menolak pengakuan terhadap Israel dan berupaya mengakhiri pendudukan Israel di wilayah Palestina.
Komitmen Hamas terhadap Islam sebagai kerangka untuk kehidupan politik dan sosial sangat mendalam. Mereka percaya bahwa Al Quran dan Sunnah merupakan panduan utama dalam kehidupan dan politik, seperti dijelaskan dalam "Islamic Political Culture, Democracy, and Human Rights" oleh Daniel E. Price (1999). Hal ini mencerminkan pandangan bahwa perjuangan mereka bukan hanya politik, tetapi juga spiritual dan moral.
Hamas juga terkenal dengan pendekatan militan dan perjuangannya melawan Israel. Menurut Jonathan Schanzer dalam "Hamas vs. Fatah: The Struggle for Palestine" (2008), Hamas menggunakan taktik perang gerilya dan serangan bunuh diri sebagai bagian dari strategi perlawanannya. Meskipun taktik ini telah mengundang kecaman internasional, Hamas menganggapnya sebagai bagian penting dari perjuangannya melawan apa yang mereka lihat sebagai pendudukan ilegal.
Di samping perjuangan bersenjata, Hamas juga sangat aktif dalam bidang sosial dan pendidikan. Dalam "Hamas in Politics: Democracy, Religion, Violence" oleh Jeroen Gunning (2008), dijelaskan bahwa gerakan ini memiliki jaringan lembaga-lembaga sosial yang luas, yang memberikan layanan pendidikan, kesehatan, dan sosial bagi masyarakat Palestina. Layanan-layanan ini telah memainkan peran penting dalam membangun dukungan populer untuk Hamas, terutama di kalangan masyarakat yang kurang mampu.
Keterlibatan Hamas dalam Politik dan Pemerintahan
Keterlibatan Hamas dalam politik Palestina, khususnya setelah kemenangan mereka dalam pemilihan legislatif Palestina pada tahun 2006, merupakan aspek penting dalam sejarah organisasi ini. Kemenangan ini, sebagaimana dijelaskan oleh Nathan J. Brown dalam "When Victory is Not an Option: Islamist Movements in Arab Politics" (2012), mengejutkan banyak pengamat internasional dan mengubah landskap politik di wilayah tersebut.
Hasil pemilihan ini membawa Hamas, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai gerakan perlawanan, ke dalam panggung pemerintahan, memberi mereka tanggung jawab yang tidak hanya terbatas pada perlawanan, tetapi juga pengelolaan urusan sipil dan pemerintahan di Jalur Gaza.
Namun, transisi ke pemerintahan tidaklah mudah. Seperti yang dijelaskan oleh Sara Roy dalam "Hamas and Civil Society in Gaza: Engaging the Islamist Social Sector" (2011), Hamas menghadapi tantangan besar dalam mengelola pemerintahan di tengah blokade ekonomi dan politik, serta tekanan internal dan eksternal.
Selain itu, hubungan mereka dengan Fatah, partai politik dominan lainnya di Palestina, menjadi tegang, yang berujung pada konflik internal dan pemisahan pemerintahan antara Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Keterlibatan Hamas dalam pemerintahan juga membawa perubahan dalam strategi dan retorika mereka. Menurut Khaled Hroub dalam "Hamas: A Beginner's Guide" (2010), Hamas mulai menunjukkan fleksibilitas politik dan keterbukaan terhadap diplomasi internasional, meskipun tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar mereka. Ini menunjukkan evolusi Hamas dari sebuah gerakan perlawanan yang eksklusif menjadi pemain politik yang lebih pragmatis.
Kemampuan Hamas untuk mengelola dan mempertahankan kontrol atas Jalur Gaza di tengah kondisi yang sulit juga menunjukkan ketahanan dan kecakapan organisasi mereka. Shaul Mishal dan Avraham Sela dalam "The Palestinian Hamas: Vision, Violence, and Coexistence" (2000) menunjukkan bahwa meskipun dihadapkan pada tantangan besar, Hamas berhasil mempertahankan dukungan populer dan pengaruh politik mereka di Gaza.
Keterlibatan politik dan pemerintahan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan Hamas dan peranannya dalam konflik Israel-Palestina. Beberapa analis, seperti dalam tulisan Tariq Ramadan di "Hamas: Background and Issues for Congress" (2009), berpendapat bahwa masa depan Hamas akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menyeimbangkan identitas perlawanan mereka dengan tanggung jawab sebagai penguasa pemerintahan.
Penutup
Hamas, sebagai organisasi yang telah mengalami banyak transformasi sejak pendiriannya, berdiri di persimpangan antara perlawanan, politik, dan kegiatan sosial. Dari akar mereka sebagai gerakan perlawanan Islamis yang menentang pendudukan Israel, hingga keterlibatan mereka dalam pemerintahan dan politik, Hamas telah menunjukkan kemampuan adaptasi dan ketahanan yang luar biasa.
Meskipun sering kali dikritik dan dihadapkan pada tantangan internal serta eksternal yang signifikan, peran Hamas dalam masyarakat Palestina tetap penting. Masa depan mereka, penuh dengan ketidakpastian dan kemungkinan perubahan, akan terus memengaruhi peristiwa di Timur Tengah, khususnya dalam konflik yang berkelanjutan antara Palestina dan Israel.