Potret Hubungan Hamas dengan Negara-Negara Timur Tengah

21/11/2023, 12:42 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Potret Hubungan Hamas dengan Negara-Negara Timur Tengah
Kelompok Hamas
Table of contents
Editor: EGP

DALAM lanskap geopolitik Timur Tengah yang rumit dan sering kali volatil, hubungan Hamas dengan berbagai negara di kawasan tersebut memainkan peran kunci dalam membentuk dinamika politik dan konflik. Hamas, organisasi yang muncul dari Palestina, tidak hanya berinteraksi dengan aktor non-negara seperti Hizbullah dan kelompok-kelompok  perlawanan lainnya, tetapi juga secara signifikan memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri negara-negara seperti Iran, Mesir, Qatar, Arab Saudi, Lebanon, Turki, Yordania, Suriah, dan tentu saja, Israel. 

Masing-masing hubungan ini, yang berkisar dari konfrontasi terbuka hingga dukungan taktis dan politik, menunjukkan kompleksitas dan ketidakpastian yang mendalam dalam politik regional. 

Tulisan ini menyelidiki hubungan ini secara mendalam, menyoroti bagaimana sejarah, politik, dan konflik membentuk hubungan Hamas dengan masing-masing negara ini, serta implikasinya bagi masa depan kawasan tersebut.

Baca juga: Produk Domestik Bruto (PDB) per Kapita: Arti, Kegunaan, dan Keterbatasannya

Hubungan dengan Iran

Hamas,  organisasi politik dan militer Palestina, memiliki hubungan yang kompleks dan multifaset dengan Iran. Iran, negara yang secara konsisten mendukung kelompok-kelompok anti-Israel, telah lama menjadi pendukung Hamas. Hubungan ini didasarkan pada kepentingan strategis dan ideologis bersama, meskipun ada perbedaan dalam hal agama dan politik. Dari sudut pandang Iran, mendukung Hamas adalah bagian dari strategi yang lebih luas untuk meningkatkan pengaruhnya di Timur Tengah dan melawan kehadiran Israel.

Pada 1980-an dan 1990-an, Iran memberikan dukungan keuangan dan militer yang signifikan kepada Hamas, termasuk pelatihan, senjata, dan dana. Menurut laporan Matthew Levitt dalam bukunya "Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad" (2006), dukungan ini sangat penting dalam memperkuat posisi Hamas di Palestina. Pada periode ini, Hamas dan Iran berbagi tujuan umum melawan Israel, meskipun ada perbedaan dalam hal prioritas dan metode.

Namun, hubungan ini mengalami ketegangan pada awal 2010-an, terutama karena Perang Saudara Suriah. Hamas menentang rezim Bashar al-Assad, sekutu dekat Iran, yang menimbulkan gesekan dalam hubungannya dengan Teheran. Meskipun demikian, kedua pihak terus menjaga hubungan, dengan Iran melanjutkan dukungannya terutama dalam bentuk bantuan militer, seperti ditunjukkan dalam laporan Ali Alfoneh pada tahun 2014 berjudul "Iranian Studies".

Baca juga: Penyebab dan Dampak Runtuhnya Kekaisaran Ottoman

Di masa kini, hubungan Hamas dengan Iran tetap kuat dalam hal dukungan militer dan finansial, meskipun ada perbedaan ideologis dan politik. Menurut Mahmoud Al-Zahar, seorang pemimpin senior Hamas, seperti yang dilaporkan pada 2020, dukungan Iran dianggap penting dalam mempertahankan kemampuan militer Hamas. Kesimpulannya, hubungan Hamas dengan Iran adalah hubungan yang dinamis, dipengaruhi oleh kepentingan politik dan strategis yang saling bertautan.

Hubungan dengan Mesir

Hubungan antara Hamas dan Mesir memiliki sejarah yang panjang dan sering kali ambivalen. Mesir, sebagai negara tetangga Gaza dan aktor kunci di Timur Tengah, memainkan peran penting dalam politik Palestina. Hubungan ini dipengaruhi banyak faktor, termasuk politik internal Mesir, keamanan di perbatasan Gaza, dan konflik Israel-Palestina.

Di bawah kepemimpinan Hosni Mubarak, Mesir sering kali mengambil pendekatan yang keras terhadap Hamas, yang dilihat sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi yang dilarang di Mesir.

Baca juga: Poret Budaya dan Masyarakat Kekaisaran Ottoman

Pada periode ini, Mesir sering kali membatasi pergerakan di perbatasan Rafah dan berpartisipasi dalam blokade terhadap Gaza. Menurut penelitian Khalil al-Anani dalam "Unpacking the Brotherhood" (2015), hubungan ini seringkali tegang dan penuh dengan kecurigaan.

Namun, hubungan ini berubah secara signifikan setelah Revolusi Mesir 2011 dan kekuasaan singkat Ikhwanul Muslimin di bawah Mohamed Morsi. Pada masa ini, seperti dianalisis oleh Omar Ashour dalam "The De-Radicalization of Jihadists" (2009), Mesir mengadopsi pendekatan yang lebih simpatik terhadap Hamas, dengan meningkatkan interaksi dan kerja sama.

Setelah penggulingan Morsi dan naiknya Abdel Fattah el-Sisi ke kekuasaan, Mesir kembali mengambil sikap yang lebih keras terhadap Hamas. Mesir menutup sebagian besar terowongan penyelundupan di perbatasan dan mengambil langkah-langkah untuk mengamankan perbatasannya dengan Gaza. Hubungan ini, seperti dijelaskan dalam artikel Tarek Radwan dan Lara Talverdian dalam "The Carnegie Papers" (2017), kembali menjadi tegang dan penuh dengan kehati-hatian.

Hubungan dengan Qatar

Qatar telah memainkan peran penting sebagai pendukung dan mediator untuk Hamas di kawasan Timur Tengah. Dikenal karena kebijakan luar negerinya yang berani dan seringkali kontroversial, Qatar telah memberikan dukungan finansial dan politik yang signifikan kepada Hamas. Sejak awal 2000-an, Qatar telah menyediakan dana untuk proyek-proyek pembangunan di Gaza, yang dikuasai oleh Hamas.

Dukungan ini bukan tanpa kontroversi. Banyak negara, termasuk beberapa di Timur Tengah, mengkritik Qatar karena mendukung kelompok yang mereka anggap sebagai organisasi teroris. Namun, Qatar melihat dukungannya sebagai bagian dari komitmen yang lebih luas untuk membantu rakyat Palestina.

Menurut sebuah laporan oleh Jonathan Schanzer dalam "State of Failure" (2013), Qatar menggunakan hubungannya dengan Hamas sebagai cara untuk meningkatkan pengaruhnya di Timur Tengah dan sebagai alat diplomasi.

Selain dukungan finansial, Qatar juga telah menjadi tuan rumah untuk negosiasi dan mediasi antara Hamas dan pihak lain, termasuk Israel dan Otoritas Palestina. Seperti yang diuraikan dalam analisis Zack Gold dalam "The Brookings Institution" (2015), hal ini menunjukkan peran Qatar sebagai mediator penting di kawasan tersebut.

Hubungan dengan Arab Saudi

Hubungan antara Hamas dan Arab Saudi secara historis telah melalui pasang surut. Arab Saudi, salah satu kekuatan Sunni terkemuka di Timur Tengah, awalnya mendukung Hamas secara finansial dan politik. Namun, hubungan ini mengalami penurunan, terutama setelah peristiwa 11 September 2001, ketika Arab Saudi mulai membatasi dukungan finansialnya untuk kelompok-kelompok seperti Hamas sebagai bagian dari upayanya untuk melawan ekstremisme.

Hubungan ini juga dipengaruhi oleh konflik regional yang lebih luas, terutama persaingan antara Arab Saudi dan Iran. Karena dukungan Iran terhadap Hamas, Arab Saudi sering kali melihat Hamas dengan kecurigaan. Sebagai hasilnya, dukungan Riyadh menjadi lebih terbatas dan bersyarat, sering kali tergantung pada sikap Hamas terhadap Iran dan isu-isu regional lainnya.

Menurut penelitian  Madawi Al-Rasheed dalam "A Most Masculine State" (2013), Arab Saudi cenderung mendukung kelompok-kelompok Palestina yang lebih moderat, seperti Fatah, sebagai lawan dari Hamas, yang dilihat sebagai lebih radikal dan terikat dengan Iran.

Hubungan dengan Lebanon

Hubungan Hamas dengan Lebanon sangat dipengaruhi oleh kehadiran dan kegiatan Hizbullah, sebuah kelompok militan dan politik Syiah di Lebanon. Hizbullah dan Hamas sama-sama memusuhi Israel, dan keduanya telah menerima dukungan dari Iran.

Meskipun ada perbedaan ideologis dan sektarian, Hizbullah dan Hamas telah menunjukkan tingkat kerjasama. Kedua kelompok telah berbagi taktik, pelatihan, dan dukungan logistik. Sebagai contoh, dalam konflik Israel-Hamas pada 2014, terdapat laporan bahwa Hizbullah memberikan dukungan militer dan pelatihan kepada pejuang Hamas.

Namun, hubungan ini juga kompleks. Lebanon, dengan masyarakatnya yang sangat terpecah dan sejarah konflik internal, sering kali berhati-hati dalam pendekatannya terhadap kelompok-kelompok seperti Hamas. Menurut penelitian Augustus Richard Norton dalam "Hezbollah" (2009), Hizbullah harus menyeimbangkan dukungannya kepada Hamas dengan kebutuhan untuk mempertahankan stabilitas di dalam Lebanon.

Hubungan antara Hamas dan Lebanon, oleh karena itu, mencerminkan dinamika yang lebih luas dari politik dan konflik di Timur Tengah, dengan Hizbullah berperan sebagai penghubung utama antara Hamas dan Lebanon.

Hubungan Hamas dengan Turki

Turki, di bawah kepemimpinan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), telah mengembangkan hubungan yang erat dengan Hamas. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, secara terbuka menunjukkan dukungannya terhadap Hamas, yang menandai perubahan signifikan dalam kebijakan luar negeri Turki. Secara tradisional, Turki memiliki hubungan diplomatik yang kuat dengan Israel, tetapi hubungan ini mengalami ketegangan seiring dengan dukungan Turki terhadap Palestina.

Dukungan Turki terhadap Hamas meliputi bantuan kemanusiaan ke Gaza, serta dukungan politik di arena internasional. Seperti yang dijelaskan M. Hakan Yavuz dalam bukunya "Turkish Foreign Policy" (2015), Turki menggunakan hubungannya dengan Hamas sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk meningkatkan pengaruhnya di dunia Muslim dan di Timur Tengah.

Turki juga telah menjadi tuan rumah untuk pertemuan tingkat tinggi antara pemimpin Hamas dan pejabat Turki. Namun, hubungan ini telah menimbulkan kritik dari beberapa negara, termasuk Israel dan Amerika Serikat, yang menganggap Hamas sebagai organisasi teroris.

Hubungan dengan Yordania

Hubungan antara Hamas dan Yordania telah melalui berbagai fase. Pada tahun 1990-an, Yordania, yang memiliki populasi Palestina yang signifikan, memberikan ruang bagi kepemimpinan Hamas. Namun, hubungan ini menjadi tegang pada akhir 1990-an, terutama setelah Yordania menuduh Hamas terlibat dalam aktivitas ilegal di wilayahnya. Hal ini mengakibatkan pengusiran para pemimpin Hamas dari Yordania tahun 1999.

Setelah itu, hubungan antara Yordania dan Hamas tetap dingin selama beberapa tahun. Namun, ada upaya untuk memperbaiki hubungan ini pada awal 2010-an, seperti yang dijelaskan oleh Curtis R. Ryan dalam bukunya "Jordan in Transition" (2011). Yordania memiliki kepentingan dalam menjaga stabilitas di perbatasannya dengan Palestina dan seringkali bertindak sebagai mediator dalam konflik Israel-Palestina.

Hubungan dengan Suriah

Hubungan Hamas dengan Suriah pernah sangat erat, dengan Suriah memberikan perlindungan dan dukungan kepada para pemimpin Hamas. Suriah, di bawah kepemimpinan Partai Ba'ath dan Presiden Bashar al-Assad, melihat dukungan terhadap Hamas sebagai bagian dari strategi perlawanannya terhadap Israel.

Namun, hubungan ini mengalami keretakan signifikan selama Perang Saudara Suriah. Hamas secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap oposisi Suriah dan mengecam rezim Assad. Hal ini menyebabkan kerusakan serius pada hubungan antara Hamas dan Suriah.

Menurut laporan Flynt Leverett dan Hillary Mann Leverett dalam "Going to Tehran" (2013), perubahan sikap Hamas ini merupakan bagian dari realignmen strategis mereka di kawasan.

Kerusakan hubungan dengan Suriah mengakibatkan Hamas kehilangan salah satu sekutu regionalnya yang paling penting dan mengubah dinamika hubungannya dengan negara-negara lain di Timur Tengah, terutama Iran dan Hizbullah. Hal ini menunjukkan betapa hubungan Hamas dengan negara-negara di kawasan ini sering kali berubah-ubah dan dipengaruhi oleh konflik dan perubahan politik regional.

Hubungan dengan Israel

Hamas dan Israel adalah musuh bebuyutan. Sejak didirikannya Hamas pada akhir tahun 1980-an, organisasi ini telah berada dalam konfrontasi langsung dengan Israel. Hamas, yang mengartikulasikan tujuannya untuk mendirikan negara Palestina dan menentang keberadaan Israel, terlibat dalam berbagai bentuk perlawanan, termasuk serangan roket, intifada, dan aksi militer lainnya terhadap Israel.

Israel, melihat Hamas sebagai ancaman keamanan yang serius, telah menanggapi dengan blokade, serangan militer, dan operasi intelijen. Hubungan ini telah mencapai titik kritis dalam beberapa perang di Gaza, termasuk konflik pada 2008-2009, 2012, 2014, dan terakhir tahun 2023 ini. Dalam konflik ini, Israel bertujuan untuk merusak kemampuan militer Hamas dan menghentikan serangan roket ke wilayahnya.

Konflik ini juga menciptakan krisis kemanusiaan di Gaza. Blokade Israel atas Gaza, yang bertujuan untuk membatasi akses Hamas ke sumber daya dan senjata, telah mengakibatkan kondisi sulit bagi penduduk sipil. Sebagai contoh, laporan PBB dan berbagai LSM telah mendokumentasikan kesulitan ekonomi, medis, dan sosial yang dihadapi oleh penduduk Gaza.

Upaya-upaya mediasi internasional, termasuk dari Mesir, Qatar, dan PBB, telah mencoba untuk meredakan ketegangan dan mencapai gencatan senjata antara Hamas dan Israel. Namun, solusi jangka panjang untuk konflik ini tetap sulit dicapai, mengingat perbedaan yang mendasar dalam posisi dan tujuan kedua pihak.

Hubungan antara Hamas dan Israel, dengan demikian, tetap menjadi salah satu pusat konflik yang paling persisten dan intens di Timur Tengah. Kedua belah pihak berada dalam siklus kekerasan yang tampaknya tidak ada habisnya, dengan konsekuensi yang signifikan tidak hanya bagi mereka sendiri, tetapi juga untuk stabilitas regional secara keseluruhan.

OhPedia Lainnya