FASISME sebagai ideologi politik, telah muncul dalam berbagai bentuk di seluruh dunia pada abad ke-20. Meskipun ciri-cirinya dapat bervariasi antar negara, ada beberapa hal yang khas dari fasisme. Dalam artikel ini, kita akan mengulas enam karakteristik utama fasisme: otoritarianisme, nasionalisme ekstrem, anti-komunisme, kepemimpinan yang kuat, kultus kepribadian, dan kontrol terhadap media dan informasii.
Otoritarianisme
Otoritarianisme adalah pilar utama dari fasisme. Pada dasarnya, ini berarti adanya konsentrasi kekuasaan yang besar pada sekelompok kecil atau seorang individu, biasanya seorang pemimpin yang karismatik.
Di dalam negara fasis, hak-hak individu sering dikorbankan demi kepentingan kolektif atau negara (Hannah Arendt, Asal-usul Totalitarianisme, 1951).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Selain itu, dalam rezim otoritarian, pemerintah cenderung mengawasi dan mengontrol aspek-aspek kehidupan sehari-hari, dari ekonomi hingga media. Penekanan pada kepatuhan dan ketertiban adalah ciri khas lainnya.
Di bawah naungan otoritarianisme, kritik atau oposisi terhadap pemerintah biasanya ditekan dengan keras. Kebebasan pers dan kebebasan berkumpul seringkali dibatasi, sementara penentang politik mungkin menghadapi ancaman, penangkapan, atau bahkan pembunuhan.
Di banyak negara fasis, mekanisme pengawasan yang kuat, seperti polisi rahasia, digunakan untuk menjaga status quo (Robert Paxton, The Anatomy of Fascism, 2004).
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Nasionalisme Ekstrem
Nasionalisme ekstrem adalah ciri lain yang sering dikaitkan dengan fasisme. Ini lebih dari sekadar cinta tanah air; ini adalah keyakinan bahwa bangsa atau negara sendiri lebih unggul dibandingkan yang lain.
Kaum fasis percaya bahwa identitas dan keutamaan nasional mereka lebih penting dari nilai-nilai universal atau hak-hak asasi manusia (George Orwell, Notes on Nationalism, 1945).
Dalam konteks nasionalisme ekstrem, ada keinginan untuk kembali ke "kejayaan" masa lalu dan penolakan terhadap pengaruh asing atau "degeneratif". Ini sering kali mengarah pada xenofobia, atau ketakutan dan kebencian terhadap orang-orang dari latar belakang yang berbeda.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Kaum fasis sering menggunakan propaganda untuk mempromosikan citra negara yang bersatu dan homogen, sementara menggambarkan kelompok lain sebagai ancaman atau musuh (Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945, 1995).
Anti-Komunisme
Meskipun fasisme dan komunisme keduanya muncul sebagai respons terhadap ketidakstabilan dan ketidakpastian pasca-Perang Dunia I, para fasis dengan tegas menentang komunisme.
Alasannya? Fasis melihat komunisme sebagai ancaman terhadap identitas nasional dan keutuhan sosial. Sementara komunisme mendorong persatuan kelas dan pemusnahan batas-batas negara, fasisme menekankan pada keutuhan nasional dan supremasi ras atau kelompok etnik tertentu (Roger Griffin, Fascism: An Introduction to Comparative Fascist Studies, 2018).
Selain itu, komunisme, dengan dasar ideologisnya yang mencari kesetaraan sosial, bertentangan dengan hierarki sosial yang dianjurkan oleh fasisme. Dalam mengejar tujuan mereka, rezim fasis sering kali melakukan tindakan represif terhadap komunis dan kelompok-kelompok lain yang dianggap subversif.
Di beberapa negara, persekusi terhadap komunis dan sindikalis bahkan menjadi ciri khas dari rezim fasis (Ian Kershaw, The Nazi Dictatorship: Problems and Perspectives of Interpretation, 2000).
Kepemimpinan Kuat
Dalam negara para fasis, kepemimpinan kuat sering kali dianggap sebagai solusi atas krisis atau ketidakstabilan sosial. Pemimpin seperti ini dianggap mampu membawa perubahan radikal dan menegakkan ketertiban (Roger Eatwell, Fascism: A History, 2003).
Kepemimpinan ini cenderung bersifat otoriter, dengan sedikit atau tanpa toleransi terhadap oposisi. Pemimpin fasis juga sering kali menggunakan retorika yang membangkitkan emosi dan memanipulasi rasa takut publik untuk memperoleh dukungan.
Kultus Individu
Kultus individu adalah fenomena di mana seorang pemimpin dideifikasi dan dilihat sebagai simbol kejayaan dan kekuatan nasional. Dalam negara fasis, pemimpin sering digambarkan sebagai sosok heroik yang memiliki kualitas luar biasa dan memegang peran sentral dalam narasi nasional.
Propaganda, upacara, dan simbol-simbol negara biasanya dipakai untuk memperkuat citra pemimpin ini (Daniel A. Bell, The Cult of Personality, 2008).
Kontrol terhadap Media dan Informasi
Kontrol terhadap media dan informasi adalah salah satu alat utama dalam mempertahankan kekuasaan dalam rezim fasist. Melalui media, negara dapat mengatur narasi, mempromosikan propaganda, dan membatasi akses publik ke informasi yang dianggap subversif atau mengancam.
Sensor berita, penindasan jurnalis, dan monopolisasi outlet media adalah beberapa taktik yang digunakan untuk memastikan kepatuhan dan pesan yang seragam dari media (Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, 1988).
Referensi:
Hannah Arendt, Asal-usul Totalitarianisme, Eichmann Publishing, 1951.
Robert Paxton, The Anatomy of Fascism, Knopf Publishing, 2004.
George Orwell, Notes on Nationalism, Secker & Warburg, 1945.
Stanley G. Payne, A History of Fascism, 1914–1945, University of Wisconsin Press, 1995.
Roger Griffin, Fascism: An Introduction to Comparative Fascist Studies, Polity Press, 2018.
Ian Kershaw, The Nazi Dictatorship: Problems and Perspectives of Interpretation, Bloomsbury Publishing, 2000.
Roger Eatwell, Fascism: A History, Allen Lane, 2003.
Daniel A. Bell, The Cult of Personality, Blackwell Publishing, 2008.
Noam Chomsky, Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media, Pantheon Books, 1988.