Kronologi Konflik Ukraina-Rusia di Abad 21: Dari Revolusi Oranye, Aneksasi Krimea, hingga Perang

26/08/2023, 12:09 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Kronologi Konflik Ukraina-Rusia di Abad 21: Dari Revolusi Oranye, Aneksasi Krimea, hingga Perang
Ilustrasi perang Ukraina
Table of contents
Editor: EGP

SEJAK awal abad ke-21, hubungan Ukraina dan Rusia telah menjadi salah satu fokus utama dalam geopolitik dunia. Kedua negara yang awalnya bersaudara dalam naungan Uni Soviet ini kini terpecah oleh sejumlah isu yang memengaruhi hubungan bilateral mereka. 

Beberapa momen penting yang patut diperhatikan adalah Revolusi Oranye di Ukraina, pergolakan orientasi geopolitik Ukraina, aneksasi Krimea, dan konflik di Ukraia bagian timur yang memicu perang.

Revolusi Oranye di Ukraina dan Dampaknya terhadap Hubungan dengan Rusia

Revolusi Oranye yang terjadi tahun 2004 merupakan sebuah gelombang demonstrasi dan aksi protes di Ukraina. Demonstrasi ini dipicu oleh dugaan kecurangan dalam pemilihan presiden yang melibatkan Viktor Yanukovych, yang dikenal dekat dengan Rusia, dan Viktor Yushchenko, yang cenderung pro-Barat.

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Akhirnya, setelah tekanan domestik dan internasional, pemilihan diadakan kembali dan Yushchenko terpilih menjadi presiden. (Serhy Yekelchyk, "Ukraine: Birth of a Modern Nation", 2007)

Dengan terpilihnya Yushchenko, Ukraina mulai berorientasi ke arah Barat, terutama ke Uni Eropa dan Amerika Serikat. Ini tentunya tidak diterima baik oleh Rusia, yang ingin Ukraina tetap berada dalam lingkup pengaruhnya.

Selama bertahun-tahun setelah Revolusi Oranye, hubungan kedua negara terus mengalami pasang surut, dengan Rusia kadang-kadang menggunakan pasokan gas sebagai alat tekanan terhadap Ukraina. (Paul D'Anieri, "Understanding Ukrainian Politics", 2006)

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Namun, Revolusi Oranye bukan hanya tentang pergolakan politik semata. Ini juga tentang aspirasi masyarakat Ukraina yang mendambakan demokrasi, transparansi, dan kebebasan dari dominasi luar, terutama Rusia.

Sebagai akibatnya, identitas nasional Ukraina semakin menguat, meski di dalamnya masih terdapat perbedaan pendapat tentang hubungan dengan Rusia. (Andrew Wilson, "Ukraine's Orange Revolution", 2005)

Pergeseran Orientasi Geopolitik Ukraina

Sepanjang abad ke-21, Ukraina mengalami pergeseran yang signifikan dalam orientasi geopolitiknya. Awalnya, negara ini mencoba untuk menyeimbangkan hubungannya antara Barat dan Rusia. Namun, seiring dengan perkembangan politik dan ekonomi, Ukraina mulai cenderung mendekati Barat, khususnya Uni Eropa.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Keputusan Ukraina untuk mendekati Uni Eropa melalui Asosiasi Perjanjian dengan Uni Eropa pada tahun 2014 menjadi titik balik dalam hubungan dengan Rusia. Meski awalnya negosiasi berjalan lancar, tekanan dari Rusia membuat Presiden Yanukovych membatalkan kesepakatan tersebut.

Hal ini memicu protes besar-besaran yang dikenal dengan Euromaidan, yang berakhir dengan jatuhnya Yanukovych dan pengambilalihan Krimea oleh Rusia. (Raj Isar & Dacia Viejo Rose, "Cultural Diplomacy in the Eastern Partnership: The Road Ahead", 2016)

Tindakan Rusia di Krimea dan konflik berikutnya di wilayah Donbas timur Ukraina memperburuk hubungan kedua negara. Dukungan Rusia terhadap pemberontak pro-Rusia di Donbas dan intervensi militer di Krimea dianggap Ukraina sebagai pelanggaran kedaulatan nasionalnya.

Sementara itu, Rusia melihat tindakannya sebagai upaya melindungi etnis Rusia di Ukraina. (Michael McFaul & Stephen Sestanovich, "Redefining Russia: The Challenge of Putin's Foreign Policy", 2018)

Pergeseran orientasi geopolitik Ukraina ini bukan tanpa konsekuensi. Di satu sisi, Ukraina mendapatkan dukungan dari Barat, baik dalam bentuk bantuan ekonomi maupun militer. Di sisi lain, Rusia merespon dengan serangkaian tindakan, baik ekonomi maupun militer, yang menambah ketegangan antara kedua negara.

Aneksasi Krimea oleh Rusia Tahun 2014

Tahun 2014, dunia dikejutkan dengan langkah tegas Rusia yang menganeksasi Krimea, sebuah semenanjung yang strategis di Laut Hitam dan sejak tahun 1954 merupakan bagian dari Ukraina.

Awal mula krisis ini adalah ketidakpuasan sebagian penduduk Krimea, terutama etnis Rusia, terhadap pergolakan politik di Ukraina pasca-Euromaidan. Dalam waktu singkat, pasukan tanpa lambang resmi — yang kemudian dikenal sebagai "Little Green Men" atau tentara Rusia tanpa penanda — muncul dan menguasai infrastruktur kunci di Krimea. (Timothy Snyder, "The Road to Unfreedom", 2018)

Pada Maret 2014, sebuah referendum kontroversial diadakan di Krimea, di mana mayoritas pemilih dilaporkan mendukung untuk bergabung dengan Rusia. Namun, banyak pihak internasional yang mempertanyakan legitimasi referendum tersebut karena diadakan di bawah pengawasan militer Rusia.

Tak lama setelahnya, Rusia secara resmi menganeksasi Krimea, langkah yang mendapat kecaman dari masyarakat internasional dan menyebabkan sanksi ekonomi terhadap Rusia. (Neil MacFarquhar & Andrew E. Kramer, "Crimea Votes to Secede From Ukraine as Russian Troops Keep Watch", The New York Times, 2014)

Konflik di Ukraina Timur: Perang di Donbass

Perang di Donbass merupakan konflik bersenjata yang pecah di wilayah Donetsk dan Luhansk di Ukraina timur sejak April 2014. Konflik ini melibatkan pasukan Ukraina dan pemberontak pro-Rusia.

Ada dugaan kuat bahwa Rusia mendukung pemberontak tersebut, meskipun Rusia membantah keterlibatannya secara langsung dalam konflik. (Mark Galeotti, "Armies of Russia's War in Ukraine", 2015)

Konflik ini bermula dari unjuk rasa di beberapa kota di wilayah Donbass yang menuntut otonomi lebih besar dan mendekati Rusia.

Situasi cepat memburuk ketika gedung-gedung pemerintah dikuasai oleh pemberontak dan pemilihan pemimpin separatis dilakukan tanpa persetujuan pemerintah pusat Ukraina. Hal ini kemudian memicu pertempuran antara pasukan Ukraina dan pemberontak yang didukung oleh pasukan dan persenjataan dari Rusia. (Andrew E. Kramer & David M. Herszenhorn, "Ukraine Pushes to Roll Back Rebels in East", The New York Times, 2014)

Sejak itu, konflik di Donbass telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan pengungsian besar-besaran. Upaya perdamaian telah dilakukan, salah satunya melalui Kesepakatan Minsk, namun gencatan senjata sering kali dilanggar.

Sampai saat ini, konflik di Donbass tetap menjadi salah satu isu panas dalam hubungan antara Ukraina, Rusia, dan Barat.

Referensi:

Serhy Yekelchyk, "Ukraine: Birth of a Modern Nation", Oxford University Press, 2007.
Paul D'Anieri, "Understanding Ukrainian Politics", M.E. Sharpe, 2006.
Andrew Wilson, "Ukraine's Orange Revolution", Yale University Press, 2005.
Raj Isar & Dacia Viejo Rose, "Cultural Diplomacy in the Eastern Partnership: The Road Ahead", EUNIC Global, 2016.
Michael McFaul & Stephen Sestanovich, "Redefining Russia: The Challenge of Putin's Foreign Policy", Brookings Institution Press, 2018.

Timothy Snyder, "The Road to Unfreedom", Tim Duggan Books, 2018.
Neil MacFarquhar & Andrew E. Kramer, "Crimea Votes to Secede From Ukraine as Russian Troops Keep Watch", The New York Times, 2014.
Mark Galeotti, "Armies of Russia's War in Ukraine", Osprey Publishing, 2015.
Andrew E. Kramer & David M. Herszenhorn, "Ukraine Pushes to Roll Back Rebels in East", The New York Times, 2014.

OhPedia Lainnya