FASISME, sebagai ideologi politik yang menekankan nasionalisme, otoritarianisme, dan eliminasi musuh politik, menemukan jalannya ke Jerman melalui Partai Nazi. Meskipun fasisme sering diasosiasikan dengan Italia di bawah Benito Mussolini, bentuknya di Jerman memiliki karakteristik unik, terutama dalam bentuk kebijakan dan tindakannya.
Sejarah Perkembangan
Pada awal 1930-an, Jerman mengalami krisis ekonomi dan sosial yang mendalam akibat kekalahan dalam Perang Dunia I dan sanksi yang ditetapkan oleh Perjanjian Versailles.
Dalam suasana seperti itu, Partai Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler mulai mendapatkan popularitas dengan menjanjikan stabilitas, pekerjaan, dan pemulihan kebanggaan nasional. Ian Kershaw dalam "Hitler: 1889-1936 Hubris" (1998) menggambarkan bagaimana propaganda Nazi memikat rakyat Jerman dengan janji perubahan.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Dengan dukungan yang semakin meningkat, Nazi memenangkan pemilu dengan persentase suara yang signifikan pada tahun 1932, dan Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman pada tahun 1933.
Keberhasilan ini memungkinkan Nazi untuk mengonsolidasikan kekuasaannya, membatasi kebebasan pers, dan menghapus partai politik lain.
Kebijakan dan Tindakan Fasisme di Jerman
Setelah mengambil alih kekuasaan, rezim Nazi dengan cepat memperkenalkan kebijakan rasial, antisemitisme, dan otoritarian. Kebijakan ini termasuk penghapusan hak-hak sipil bagi warga Yahudi, pembatasan pekerjaan dan pendidikan bagi mereka, serta pelaksanaan aksi pogrom seperti Kristallnacht pada tahun 1938.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Saul Friedländer dalam "Nazi Germany and the Jews, 1933-1945" (2007) menyediakan gambaran mendalam tentang dampak kebijakan ini terhadap komunitas Yahudi.
Selain kebijakan antisemitisme, Nazi juga memperkenalkan program rearmament, membangun industri militer dan memulai penaklukan teritorial. Mereka juga menciptakan organisasi pemuda seperti Hitler Youth untuk mengindoktrinasi generasi muda dengan ideologi Nazi.
Di dalam negeri, rezim Nazi membangun kamp konsentrasi untuk mengisolasi dan memenjarakan musuh-musuh politik, komunis, orang Rom (gipsi), homoseksual, dan kelompok lain yang dianggap "tidak diinginkan".
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Kebijakan eugenika juga diterapkan, dengan tujuan menciptakan "ras Aryan murni". Rezim ini mencapai puncak kekejamannya dengan pelaksanaan Holocaust, pembunuhan massal terhadap enam juta orang Yahudi.
Adolf Hitler dan Kekuasaan Nazi
Adolf Hitler adalah sosok sentral di balik fasisme di Jerman. Ia mengubah Partai Pekerja Jerman (DAP) menjadi Partai Nazi, dan memanfaatkan karismatik dan kemampuan berpidatonya untuk mempengaruhi massa.
John Toland dalam bukunya "Adolf Hitler: The Definitive Biography" (1976) menggambarkan bagaimana Hitler dengan cerdik memanfaatkan ketidakpuasan publik dan ketidakstabilan politik untuk meraih kekuasaan.
Setelah ditunjuk sebagai kanselir, Hitler memanfaatkan keadaan darurat politik dan kebakaran Reichstag untuk membatasi kebebasan sipil dan mengekang kekuatan partai politik lain. Dengan cepat ia mengubah Jerman menjadi sebuah negara satu partai dengan dirinya sebagai pemimpin mutlak.
Kekuasaan Nazi semakin terkonsolidasi melalui penindasan politik dan media propaganda yang masif.
Nazi merancang ekonomi yang berfokus pada militarisme dan ekspansi teritorial, menghasilkan apa yang dikenal sebagai "ekonomi perang". Hitler juga memulai upaya membangun kekaisaran baru yang akan menguasai Eropa dan, pada akhirnya, dunia.
Kebijakan-kebijakannya tidak hanya mengubah Jerman tetapi juga menetapkan panggung untuk konflik global.
Untuk memperkuat dominasinya, Hitler bekerja sama dengan negara-negara fasis lainnya seperti Italia dan Jepang. Aliansi ini, yang dikenal sebagai Poros, menjadi kekuatan utama yang berhadapan dengan Sekutu dalam Perang Dunia II.
Peran Fasisme dalam Perang Dunia II
Fasisme di Jerman tidak hanya berdampak pada kehidupan di dalam negeri tetapi juga menjadi pemicu utama Perang Dunia II. Penaklukan teritorial Nazi dimulai dengan pendudukan Austria dan Cekoslowakia, kemudian berlanjut dengan invasi ke Polandia tahun 1939 yang memicu perang.
Richard J. Evans dalam "The Third Reich at War" (2008) menjelaskan bagaimana ambisi ekspansionis Nazi menyebabkan perang yang melibatkan puluhan negara.
Dalam perang ini, Jerman mengimplementasikan apa yang disebut "perang kilat" atau Blitzkrieg, taktik militer yang diarahkan untuk mengejutkan dan menghancurkan musuh secepat mungkin.
Jerman berhasil menduduki sebagian besar Eropa sebelum akhirnya mengalami kemunduran setelah kegagalan invasi ke Uni Soviet dan masuknya Amerika Serikat ke dalam perang.
Ideologi fasisme memengaruhi taktik dan kebijakan Jerman selama perang, termasuk kebijakan brutal terhadap tawanan perang dan penduduk sipil. Selain itu, Holocaust menjadi salah satu kejahatan terbesar yang pernah dilakukan selama perang, di mana Jerman mencoba untuk memusnahkan seluruh etnis Yahudi.
Fasisme di Jerman akhirnya tumbang setelah kekalahan Nazi pada Mei 1945. Pengadilan Nuremberg kemudian digelar untuk mengadili kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan para pemimpin Nazi, menandai akhir dari era kelam ini di sejarah dunia.
Referensi:
Ian Kershaw. "Hitler: 1889-1936 Hubris". Penguin Books, 1998.
Saul Friedländer. "Nazi Germany and the Jews, 1933-1945". Harper Perennial, 2007.
John Toland. "Adolf Hitler: The Definitive Biography". Doubleday, 1976.
Richard J. Evans. "The Third Reich at War". Penguin Books, 2008.