PERANG Dunia Pertama(World War I/WWI) tidak hanya memengaruhi keadaan dunia selama bertahun-tahun setelah pertempuran terakhir, tetapi juga menciptakan dampak jangka panjang yang memengaruhi sejarah dunia selama beberapa dekade. Dari pembentukan Liga Bangsa-Bangsa (kemudian menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB), perubahan peta geopolitik Eropa, implikasi ekonomi yang mendalam, hingga peranannya dalam memicu Perang Dunia Kedua, Perang Dunia Pertama memengaruhi berbagai aspek kehidupan global.
Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa
Setelah penderitaan besar yang disebabkan WWI, pemimpin dunia merasa ada kebutuhan mendesak untuk mencegah perang besar di masa depan. Dengan tujuan ini, pada tahun 1919, Liga Bangsa-Bangsa didirikan. Organisasi internasional ini dirancang untuk mendorong kerja sama dan memastikan perdamaian dunia (Margaret MacMillan, "Paris 1919: Six Months That Changed the World", 2001).
Meski memiliki tujuan mulia, Liga ini menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah Amerika Serikat, salah satu aktor utama pasca-WWI, memilih untuk tidak bergabung.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Selain itu, banyak negara merasa Liga tidak efektif dalam menangani konflik dan menyikapi tuntutan nasionalisme mereka (David Stevenson, "Cataclysm: The First World War as Political Tragedy", 2004).
Sayangnya, keterbatasan struktural dan kegagalan dalam menangani krisis seperti invasi Jepang ke Manchuria pada 1931, dan agresi Italia ke Ethiopia pada 1935, membuat banyak negara kehilangan kepercayaan pada organisasi ini. Akhirnya, Liga ini tidak mampu mencegah Perang Dunia Kedua (Mark Mazower, "Governing the World: The History of an Idea", 2012).
Peta Geopolitik Eropa Berubah
Perang Dunia Pertama menghasilkan perubahan dramatis pada peta geopolitik Eropa. Empat kekaisaran besar (Jerman, Austria-Hongaria, Rusia, dan Utsmaniyah) runtuh atau mengalami transformasi radikal.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Sebagai gantinya, banyak negara baru muncul atau mendapatkan kemerdekaan, seperti Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia (Richard Overy, "The Twilight Years: The Paradox of Britain Between the Wars", 2009).
Treaty of Versailles pada 1919, yang merupakan salah satu dari serangkaian perjanjian yang mengakhiri perang, memberikan pembatasan militer dan reparasi ekonomi yang ketat pada Jerman. Hal ini menciptakan rasa ketidakadilan dan nasionalisme di kalangan masyarakat Jerman, yang nantinya menjadi salah satu sebab dari Perang Dunia Kedua (John Maynard Keynes, "The Economic Consequences of the Peace", 1919).
Bersamaan dengan itu, munculnya ideologi baru seperti komunisme di Rusia dan fasisme di Italia, yang mengubah dinamika kekuatan dan polaritas di Eropa.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Tegangan antara ideologi-ideologi baru ini dan kekuatan-kekuatan tradisional di Eropa membentuk dasar konflik internasional selama beberapa dekade berikutnya (Eric Hobsbawm, "The Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991", 1994).
Krisis Ekonomi
Perang Dunia Pertama memiliki dampak ekonomi yang mendalam yang terasa di seluruh dunia. Perang ini bukan hanya sebuah konflik militer tetapi juga sebuah kejadian yang mengguncang pondasi ekonomi global.
Kebutuhan mendesak akan sumber daya, utang yang membengkak, dan rekonstruksi pasca-perang mengakibatkan pergeseran ekonomi besar di banyak negara.
Perang memerlukan pembiayaan. Negara-negara meningkatkan produksi uang mereka untuk membiayai upaya perang mereka, yang pada gilirannya mengakibatkan inflasi.
Di Jerman, situasi menjadi lebih parah. Akibat dari reparasi perang yang dikenakan oleh Sekutu melalui Perjanjian Versailles, Jerman mencetak lebih banyak uang, yang memicu hiperinflasi pada awal 1920-an. Pada titik tertentu, inflasi begitu ekstrem sehingga uang digunakan sebagai bahan bakar karena nilainya yang hampir tidak ada (Adam Tooze, The Deluge: The Great War and the Remaking of Global Order 1916-1931, 2014).
Untuk mendanai perang, banyak negara mengambil pinjaman besar. Inggris dan Prancis, misalnya, memiliki hutang besar kepada Amerika Serikat. Hutang ini menjadi beban bagi ekonomi mereka selama bertahun-tahun setelah perang.
Negara-negara yang berperang mencari cara untuk membayar kembali hutang ini, seringkali dengan menaikkan pajak, yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi dan menyebabkan ketidakpuasan di kalangan rakyat.
Dengan berakhirnya perang, produksi militer yang masif berhenti. Ini, ditambah dengan hutang perang yang besar dan kebutuhan rekonstruksi, memicu resesi di banyak negara.
Banyak pekerja yang sebelumnya bekerja di industri perang kehilangan pekerjaan mereka. Kombinasi dari beban hutang, pengurangan produksi, dan inflasi menyebabkan Depresi Besar tahun 1930-an, yang memengaruhi hampir setiap negara di dunia (Barry Eichengreen, Golden Fetters: The Gold Standard and the Great Depression, 1919-1939, 1992).
Secara keseluruhan, dampak ekonomi dari Perang Dunia Pertama sangat kompleks dan berlarut-larut. Efek jangka panjang dari perang tersebut memengaruhi kebijakan ekonomi, politik, dan sosial di seluruh dunia selama beberapa dekade setelahnya.
Memicu Perang Dunia Kedua
Ketika Perang Dunia Pertama berakhir, harapan besar muncul bahwa dunia telah melihat konflik terakhirnya pada skala tersebut. Namun, keputusan yang diambil pasca-perang dan dinamika politik global yang berkembang sebenarnya menanam benih untuk konflik besar berikutnya, yaitu Perang Dunia Kedua.
Perjanjian Versailles: Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada kedatangan Perang Dunia Kedua adalah ketentuan dari Perjanjian Versailles yang diberlakukan terhadap Jerman setelah kekalahannya.
Jerman dikenakan reparasi yang besar, kehilangan wilayah, dan angkatan bersenjatanya dibatasi. Banyak orang Jerman merasa diperlakukan secara tidak adil dan dicemooh oleh perjanjian ini, memicu rasa nasionalisme dan rasa tidak puas terhadap pemerintah Weimar yang lemah.
Munculnya Fasisme dan Nazi: Dalam suasana ketidakpuasan ekonomi dan politik pasca-perang, ideologi ekstrem mulai menarik bagi banyak orang di Eropa. Di Italia, Benito Mussolini membawa fasisme ke kekuasaan, sementara di Jerman, Partai Nazi di bawah Adolf Hitler mulai mendominasi.
Hitler dengan cerdik memanfaatkan kemarahan publik atas Perjanjian Versailles dan ketidakstabilan ekonomi, menyebabkan pendukung Partai Nazi tumbuh dengan cepat dan akhirnya memegang kendali penuh atas Jerman pada tahun 1933.
Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa: Seperti yang telah disebutkan, Liga Bangsa-Bangsa, meskipun didirikan dengan niat terbaik, gagal menjaga perdamaian. Tanpa kehadiran Amerika Serikat dan dengan ketidakmampuan untuk memaksakan keputusannya, Liga menjadi lemah di hadapan agresi negara-negara besar.
Ekspansi Jerman: Dengan kebangkitan Nazi, Jerman mulai melanggar ketentuan Perjanjian Versailles, mulai dari remiliterisasi Rhineland, aneksasi Austria (Anschluss), hingga pemisahan Sudetenland dari Cekoslowakia. Respons internasional yang lemah terhadap tindakan-tindakan ini memberi Hitler keyakinan bahwa dia bisa melanjutkan ekspansi tanpa menghadapi intervensi serius.
Ketika Jerman menyerang Polandia pada 1 September 1939, ini menjadi titik api yang memulai Perang Dunia Kedua. Kegagalan dunia dalam menangani dampak jangka panjang dari Perang Dunia Pertama dan ketidakmampuan untuk merespons dengan tegas terhadap tindakan agresif Jerman membuat kondisi yang sempurna untuk meletusnya perang skala besar lagi.
Referensi:
Margaret MacMillan, "Paris 1919: Six Months That Changed the World", Random House Trade Paperbacks, 2001.
David Stevenson, "Cataclysm: The First World War as Political Tragedy", Basic Books, 2004.
Mark Mazower, "Governing the World: The History of an Idea", Penguin Press, 2012.
Richard Overy, "The Twilight Years: The Paradox of Britain Between the Wars", Viking, 2009.
John Maynard Keynes, "The Economic Consequences of the Peace", Harcourt, Brace and Howe, 1919.
Eric Hobsbawm, "The Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991", Michael Joseph, 1994.
Ian Kershaw, To Hell and Back: Europe 1914-1949, Penguin Books, 2015.
Adam Tooze, The Deluge: The Great War and the Remaking of Global Order 1916-1931, Viking, 2014.
Barry Eichengreen, Golden Fetters: The Gold Standard and the Great Depression, 1919-1939, Oxford University Press, 1992.