Mengapa Perang Dunia Kedua Pecah, Ini Alasannya

07/09/2023, 14:35 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Mengapa Perang Dunia Kedua Pecah, Ini Alasannya
Ilustrasi Perang Dunia II
Table of contents
Editor: EGP

PERANG Dunia Kedua sering dianggap sebagai perang paling mematikan dalam sejarah manusia. Perang yang terjadi antara tahun 1939 hingga 1945 itu adalah konflik militer global yang melibatkan mayoritas negara-negara dunia, termasuk semua kekuatan besar yang diorganisir dalam dua aliansi militer yang berlawanan: Sekutu dan Axis.

Namun, apa yang menjadi latar belakang dari perang besar ini? Ada beberapa faktor utama yang memengaruhi timbulnya konflik: Perjanjian Versailles, krisis ekonomi global yang melahirkan gelombang nasionalisme, kebijakan ekspansi Jepang di Asia Timur, serta politik agresif Nazi di Eropa.

Perjanjian Versailles dan Dampaknya pada Jerman

Setelah berakhirnya Perang Dunia Pertama, Perjanjian Versailles ditandatangani pada 1919 sebagai upaya untuk memastikan perdamaian jangka panjang di Eropa. Namun, banyak klausul dalam perjanjian ini memberatkan Jerman, termasuk pembayaran reparasi yang sangat besar dan pembatasan ketentuan militer.

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Hal itu menyebabkan perekonomian Jerman ambruk dan meningkatkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat Jerman (Margaret MacMillan, "Paris 1919: Six Months That Changed the World", 2001, hlm. 75-80).

Jerman kemudian diperintah untuk menyerahkan sejumlah besar wilayahnya dan harus menerima tanggung jawab penuh atas perang. Ini memicu rasa nasionalisme dan kemarahan di kalangan warga Jerman.

Inflasi yang tinggi, pengangguran, dan kemiskinan yang luas menjadi kondisi umum di Jerman pasca-perang. Situasi ini memberikan kesempatan bagi partai-partai ekstremis, seperti Partai Nazi, untuk mendapatkan dukungan dan kekuatan.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Pemimpin Nazi, Adolf Hitler, berhasil mengambil alih kekuasaan di Jerman pada tahun 1933. Ia membatalkan ketentuan Perjanjian Versailles, memulai program rearmament militer dan menjanjikan pemulihan kejayaan Jerman.

Kebijakan ekspansionisnya kemudian memicu ketegangan dengan negara-negara tetangga dan menjadi salah satu faktor utama pecahnya Perang Dunia Kedua.

Krisis Ekonomi Global dan Munculnya Nasionalisme

Pada akhir tahun 1920-an dan awal 1930-an, dunia mengalami Depresi Besar, krisis ekonomi terbesar yang pernah terjadi. Hal ini dimulai dengan runtuhnya pasar saham di Amerika Serikat tahun 1929, yang kemudian memengaruhi perekonomian di seluruh dunia (Ben S. Bernanke, "The Macroeconomics of the Great Depression", 1995, hlm. 87-90).

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Negara-negara Eropa, termasuk Jerman, sangat terpukul oleh krisis itu. Pengangguran meningkat drastis, produksi industri menurun, dan perdagangan internasional terganggu.

Depresi itu memperparah keadaan di banyak negara yang sudah terluka akibat Perang Dunia Pertama. Pemerintah di seluruh dunia mencoba mengatasi krisis dengan mengambil langkah-langkah proteksionis, seperti menaikkan tarif impor dan menerapkan kebijakan ekonomi nasionalis. Sayangnya, tindakan-tindakan itu seringkali malah memperparah krisis.

Krisis ekonomi itu juga menciptakan ketidakstabilan politik. Di banyak negara, terjadi peningkatan dukungan terhadap partai-partai ekstremis dan nasionalis. Di Italia, misalnya, Benito Mussolini dan Partai Fasis-nya mengambil alih kekuasaan, sementara di Spanyol, konflik antara fasis dan republikan memicu Perang Saudara Spanyol.

Kebijakan Ekspansi Jepang di Asia Timur

Selama dekade 1930-an, Jepang mulai memperluas pengaruhnya di Asia Timur sebagai bagian dari ambisi imperialisnya. Invasi Manchuria tahun 1931 merupakan langkah awal yang menandai dimulainya agresi militer Jepang di kawasan tersebut (Akira Iriye, "The Making of Japan's New Order in East Asia", 1992, hlm. 21-25).

Jepang mendirikan negara boneka bernama Manchukuo di Manchuria dan terus mengejar ekspansi militer di wilayah Tiongkok, yang memicu Perang Tiongkok-Jepang Kedua tahun 1937.

Ambisi Jepang di Asia Timur tidak hanya terbatas pada Tiongkok, tetapi juga mencakup wilayah Asia Tenggara. Sumber daya alam yang melimpah di kawasan ini, terutama minyak dan karet, menjadi magnet bagi Jepang yang ingin mengamankan akses ke sumber daya tersebut.

Dengan merasa terancam oleh kebijakan imperialis Barat dan menginginkan "Asia untuk orang Asia", Jepang percaya bahwa mereka memiliki hak untuk memimpin Asia dan menciptakan "Bulat Besar Asia Timur".

Tindakan agresif Jepang ini menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris. Embargo minyak dan sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh negara-negara Barat terhadap Jepang mendorong negara ini semakin agresif, yang pada akhirnya berujung pada serangan terhadap Pearl Harbor  tahun 1941, menandai masuknya Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia Kedua.

Politik Agresif Nazi di Eropa

Dengan naiknya Partai Nazi ke tampuk kekuasaan di Jerman pada 1933, di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, Eropa mulai merasakan gelombang baru imperialisme dan agresi. Hitler memiliki keinginan untuk mengembalikan kejayaan Jerman dan mewujudkan "Lebensraum" atau "ruang hidup" bagi bangsa Jerman di Eropa Timur (Ian Kershaw, "Hitler: 1889-1936 Hubris", 1998, hlm. 450-455).

Salah satu tindakan pertama yang diambil rezim Nazi adalah remiliterisasi Rhineland tahun 1936, wilayah yang seharusnya didemiliterisasi menurut Perjanjian Versailles. Langkah ini diikuti dengan aneksasi Austria (Anschluss) pada tahun 1938, yang meski dilakukan tanpa pertumpahan darah, tetap menunjukkan ambisi ekspansi Jerman.

Pada tahun yang sama, dengan Krisis Sudeten, Jerman mengancam akan menginvasi Cekoslowakia. Hal ini diakhiri dengan Perjanjian Munich, yang memungkinkan Jerman mengambil alih Sudetenland tanpa perlawanan militer.

Namun, tahun 1939, Jerman melanggar perjanjian tersebut dengan menduduki sisa wilayah Cekoslowakia. Aksi agresif ini menjadi pemicu invasi Jerman ke Polandia pada September 1939, yang kemudian menjadi titik awal Perang Dunia Kedua.

Referensi:

Margaret MacMillan, "Paris 1919: Six Months That Changed the World", Random House, 2001.
Ben S. Bernanke, "The Macroeconomics of the Great Depression", MIT Press, 1995.
Akira Iriye, "The Making of Japan's New Order in East Asia", Harvard University Press, 1992.
Ian Kershaw, "Hitler: 1889-1936 Hubris", W. W. Norton & Company, 1998.

OhPedia Lainnya