OPERASI Barbarossa, yang dimulai pada 22 Juni 1941, adalah kode nama untuk invasi besar-besaran Jerman Nazi ke Uni Soviet selama Perang Dunia Kedua. Invasi ini menjadi titik balik penting dalam sejarah konflik tersebut, mengubah arah perang yang sebelumnya mendominasi Eropa menjadi konflik yang menentukan antara kedua kekuatan besar Eropa tersebut.
Secara strategis, rencana ini dirancang untuk menduduki wilayah Soviet Barat, mengamankan sumber daya alam yang penting, dan akhirnya menghancurkan komunisme serta Uni Soviet sebagai kekuatan militer dan politik.
Namun, meskipun dimulai dengan cepat dan berhasil menduduki banyak wilayah, Operasi Barbarossa akhirnya mengalami kegagalan karena ketahanan militer Uni Soviet, cuaca ekstrem, dan kesalahan strategi oleh Jerman (Glantz, When Titans Clashed, 1995, hal. 58).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Keberhasilan awal Jerman dalam Operasi Barbarossa terlihat menakjubkan. Dalam beberapa bulan, tentara Jerman berhasil maju dengan cepat, menduduki wilayah-wilayah penting di Uni Soviet dan memojokkan pasukan Soviet.
Namun, musim dingin yang keras, ketahanan Soviet, dan garis suplai Jerman yang terlalu panjang akhirnya menjadi kendala serius bagi kemajuan Jerman (Glantz, When Titans Clashed, hal. 61-63).
Latar Belakang Operasi Barbarossa
Mengapa Jerman memilih untuk menyerang Uni Soviet, sebuah negara yang sebelumnya menjadi sekutu taktis dalam Perjanjian Ribbentrop-Molotov? Latar belakang dari invasi ini kompleks dan multifaset.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Adolf Hitler, pemimpin Jerman Nazi, selama bertahun-tahun telah mengekspresikan keinginannya untuk menghancurkan Uni Soviet. Dalam bukunya, Mein Kampf (1925), ia berbicara tentang Lebensraum atau "ruang hidup" yang dia inginkan bagi rakyat Jerman di timur.
Selain itu, ideologi Nazi berlandaskan ketidakpercayaan dan permusuhan terhadap komunisme. Ini menjadi salah satu alasan mengapa Jerman memandang Uni Soviet sebagai ancaman yang harus dihancurkan.
Sebagai tambahan, Uni Soviet memiliki sumber daya alam yang melimpah, terutama minyak, yang sangat dibutuhkan oleh Jerman untuk melanjutkan usahanya dalam perang (Tooze, The Wages of Destruction, 2006, hal. 288).
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Ketegangan antara kedua negara ini terus meningkat, meskipun keduanya sebelumnya telah menandatangani perjanjian non-agresi. Namun, perjanjian ini tampaknya hanyalah taktik dari Hitler untuk mengamankan front baratnya saat menyerang Prancis dan Inggris.
Begitu Eropa Barat jatuh ke tangan Jerman, Hitler merasa saatnya tepat untuk memulai rencananya menyerang Uni Soviet dan menghancurkan komunisme (Tooze, The Wages of Destruction, hal. 300).
Rencana Serangan
Rencana serangan Jerman terhadap Uni Soviet merupakan kumpulan dari beberapa operasi militer besar yang dimaksudkan untuk mengejutkan dan menghancurkan kekuatan Soviet dalam waktu singkat.
Hitler memiliki visi utopia tentang cepatnya serangan ini: ia mengharapkan perang melawan Uni Soviet akan selesai dalam beberapa bulan saja. Rencana tersebut dikenal dengan tiga operasi besar: Operasi Utara menuju Leningrad, Operasi Tengah menuju Moskwa, dan Operasi Selatan ke arah Ukraina dan ladang minyak Kaukasus (Glantz, When Titans Clashed, hal. 65).
Strategi ini dirancang untuk memisahkan pasukan Uni Soviet dan memaksa mereka ke dalam pertempuran terbuka di mana keunggulan taktis dan teknologi Jerman diharapkan akan dominan.
Selain itu, dengan menduduki wilayah-wilayah kunci tersebut, Jerman berharap untuk mengendalikan sumber daya alam dan industri Uni Soviet yang penting untuk usaha perang mereka (Tooze, The Wages of Destruction, hal. 305).
Pelaksanaan Serangan
Pada awal Operasi Barbarossa, Jerman Nazi memiliki keunggulan teknis dan taktis yang signifikan. Pasukan Jerman, dikenal dengan Wehrmacht, mengandalkan taktik Blitzkrieg atau "perang petir", yang mengkombinasikan serangan udara, infanteri motor, dan pasukan tank untuk mengejutkan dan menghancurkan pertahanan musuh dalam waktu singkat.
Pada pagi hari tanggal 22 Juni 1941, tiga kelompok tentara Jerman menyerbu Uni Soviet, memulai dengan serangan udara mendadak terhadap pangkalan udara Soviet, yang mengejutkan dan merusak sebagian besar pesawat Soviet di landasan.
Grup Tentara Utara, di bawah komando Field Marshal Wilhelm von Leeb, ditargetkan untuk menyerbu melalui negara Baltik dan merebut Leningrad. Mereka maju dengan cepat, namun pertahanan Leningrad memaksa mereka berhenti di pinggiran kota.
Grup Tentara Tengah, di bawah komando Field Marshal Fedor von Bock, merupakan kekuatan serangan terbesar. Mereka menyerbu melalui Belarus dengan tujuan merebut ibukota Soviet, Moskwa. Awalnya, kelompok ini berhasil mendapatkan banyak kemenangan, namun kemudian dihadapkan dengan pertahanan sengit di dekat Moskwa.
Grup Tentara Selatan, di bawah komando Field Marshal Gerd von Rundstedt, maju melalui Ukraina dengan tujuan mengamankan ladang minyak di Kaukasus. Meskipun mereka mengalami sukses di awal operasi, pertempuran di kota-kota besar seperti Kiev menunda kemajuan mereka.
Sementara itu, tentara Soviet, walau kaget dan tidak siap, mempertahankan diri dengan keberanian dan determinasi.
Stalin memerintahkan "Tidak selangkah mundur!", yang mengharuskan setiap unit Soviet mempertahankan posisinya sampai akhir. Musim panas berlalu, dan Wehrmacht mulai merasa tertekan oleh suplai yang terganggu, jalur komunikasi yang terlalu panjang, dan perlawanan Soviet yang tidak pernah berhenti.
Ketika musim dingin tiba, Wehrmacht menemukan diri mereka tidak siap untuk berperang dalam kondisi ekstrem tersebut. Di sisi lain, tentara Soviet lebih terbiasa dengan kondisi dingin dan memanfaatkannya untuk melancarkan serangan balasan.
Hingga akhir tahun 1941, Wehrmacht gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu menaklukkan Moskwa, dan momentum perang mulai bergeser.
Dampak Operasi Barbarossa
Dampak dari Operasi Barbarossa sangat signifikan bagi jalannya Perang Dunia Kedua.
Pertama, invasi ini memicu pembalasan besar-besaran dari Uni Soviet dan memaksanya untuk sepenuhnya terlibat dalam perang melawan Blok Poros (Jerman dan aliansinya). Ini menandai awal dari koalisi antara Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Inggris untuk menggulingkan rezim Nazi (Glantz, When Titans Clashed, 1995, hal. 85).
Kedua, kegagalan Jerman untuk mengalahkan Uni Soviet dalam waktu singkat menjadi salah satu penyebab utama kekalahan mereka dalam Perang Dunia Kedua.
Operasi Barbarossa menguras sumber daya dan tenaga Jerman, sementara Uni Soviet, dengan dukungan dari sekutu Barat, memulihkan kekuatannya dan membalas serangan dengan operasi-offensif besar-besaran (Tooze, The Wages of Destruction, hal. 320).
Ketiga, invasi itu menimbulkan dampak besar bagi rakyat Uni Soviet. Jutaan orang tewas, terluka, atau menjadi tawanan perang. Banyak kota dan desa dihancurkan, serta terjadi penderitaan masyarakat sipil yang luar biasa karena peperangan, kelaparan, dan kekejaman tentara pendudukan.
Tragedi ini menjadi pengingat akan biaya perang dan pentingnya perdamaian (Glantz, When Titans Clashed, hal. 90-92).
Keempat, Operasi Barbarossa juga berdampak terhadap pemikiran strategis dan militer setelah perang. Pelajaran dari invasi ini memengaruhi doktrin militer, strategi, dan pendekatan hubungan internasional dalam dekade-dekade berikutnya, memastikan bahwa ingatan tentang invasi Jerman ke Uni Soviet tetap hidup dalam kesadaran kolektif dunia.
Referensi:
David M. Glantz, When Titans Clashed: How the Red Army Stopped Hitler, University Press of Kansas, 1995.
Adam Tooze, The Wages of Destruction: The Making and Breaking of the Nazi Economy, Viking, 2006.