Kritik terhadap Multikulturalisme: Merayakan Keberagaman atau Menciptakan Jurang?

14/09/2023, 11:17 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Kritik terhadap Multikulturalisme: Merayakan Keberagaman atau Menciptakan Jurang?
Ilustrasi mutikulturalisme
Table of contents
Editor: EGP

MULTIKULTURALISME adalah konsep yang sering dipuji karena menghargai dan merayakan keberagaman budaya dalam sebuah masyarakat. Konsep ini menekankan pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap keberagaman etnis, agama, dan budaya.

Namun, seperti halnya dengan setiap ide besar, multikulturalisme bukan tanpa kritik. Beberapa pihak berpendapat bahwa, alih-alih menghubungkan, pendekatan ini justru dapat memperdalam perbedaan, melemahkan identitas nasional, dan bahkan mendorong isolasi budaya. 

Bisa Memperdalam Pemisahan dan Perbedaan

Multikulturalisme dinilai dapat menciptakan apa yang disebut "silos budaya", yaitu kantong-kantong kecil dari masyarakat yang terisolasi secara budaya dan etnis. Dalam model ini, alih-alih membaur dan berintegrasi, kelompok-kelompok berbeda cenderung menjaga jarak satu sama lain. Ini bisa menciptakan polaritas dan memperdalam jurang antar kelompok budaya. 

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations (1996, hlm. 207-210) menggambarkan bahwa perbedaan peradaban atau budaya bisa menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik.

Paradoks lain dari multikulturalisme adalah penguatan stereotipe. Saat kita mengelompokkan orang berdasarkan karakteristik budaya atau etnis, kita bisa jadi secara tidak sengaja memperkuat prasangka atau stereotipe yang sudah ada. 

Stereotipe ini bisa jadi membatasi daripada membebaskan, mempersulit integrasi dan menanamkan pandangan yang mengurangi kompleksitas identitas individual. Penulis Kenan Malik dalam bukunya Multiculturalism and Its Discontents (2013, hlm. 76-78) memperlihatkan bagaimana stereotipe bisa memengaruhi persepsi dan tindakan sosial kita.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Bisa Melemahkan Identitas Nasional

Multikulturalisme seringkali disambut dengan antusiasme sebagai cara untuk mendorong inklusivitas dan toleransi. Namun, banyak pihak juga merasa khawatir bahwa fokus yang berlebihan pada keberagaman budaya dan etnis ini dapat melemahkan identitas nasional. 

Dalam sebuah masyarakat multikultural, kecenderungan untuk mengutamakan identitas kelompok bisa mengalahkan identitas nasional, yang pada akhirnya dapat melemahkan rasa persatuan di antara warganegara.

Mengutip Roger Scruton dalam bukunya England: An Elegy (2000, hlm. 152-156), identitas nasional adalah salah satu fondasi yang memungkinkan sebuah negara untuk berfungsi dengan efisien.  Tanpa adanya fondasi ini, kebijakan sosial dan politik yang efektif akan sulit dirumuskan, karena akan selalu ada perdebatan mengenai siapa yang seharusnya menjadi prioritas. Ini juga bisa memengaruhi kebijakan eksternal suatu negara, terutama dalam hal diplomasi dan keamanan.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Terkadang, upaya untuk mengakomodasi berbagai kelompok budaya dan etnis justru menghasilkan seperangkat hukum dan kebijakan yang 'serba salah' —tidak memuaskan bagi siapa pun karena mencoba mengakomodasi keinginan semua orang. 

Dalam skenario ini, identitas nasional yang biasanya dijadikan patokan dalam pembuatan kebijakan menjadi terabaikan. Akibatnya, sulit menciptakan rasa memiliki dan kesatuan di antara warganegara.

Kehilangan atau pelemahan identitas nasional bisa berujung pada berkurangnya rasa loyalitas terhadap negara, yang tentu berisiko menimbulkan berbagai masalah, mulai dari ketidakstabilan politik hingga ancaman keamanan nasional. 

Oleh karena itu, sangat penting untuk menemukan keseimbangan antara penghormatan terhadap keberagaman budaya dan pemeliharaan identitas nasional.

Menimbang pro dan kontra dari multikulturalisme, kita seharusnya mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk merayakan keberagaman sambil tetap mempertahankan identitas nasional yang kuat. Hal ini akan memungkinkan kita untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki oleh keberagaman budaya tanpa mengorbankan persatuan dan stabilitas sebuah negara.

Mengabaikan Persamaan dan Penekanan Berlebihan pada Perbedaan

Kritik lain terhadap multikulturalisme adalah bahwa pendekatannya terlalu menekankan pada perbedaan hingga mengabaikan persamaan. Dalam masyarakat yang majemuk, ada risiko bahwa keberagaman yang dirayakan bisa justru menciptakan pemisahan alih-alih persatuan.

Jika yang terus-menerus ditekankan adalah perbedaan budaya, agama, atau etnis, maka apa yang menjadi benang merah yang mengikat sebuah masyarakat bisa menjadi kabur.

Francis Fukuyama dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018, hlm. 88-92) mencatat bahwa ada kebutuhan mendalam dalam setiap individu untuk diakui dan dihargai. Namun, ketika multikulturalisme hanya menyoroti perbedaan, masyarakat cenderung melupakan bahwa di balik perbedaan tersebut, semua individu memiliki keinginan dan kebutuhan dasar yang sama. Perasaan ini bisa memicu isolasi dan bahkan konflik.

Lebih lanjut, ada klaim bahwa multikulturalisme mengurangi kemampuan masyarakat untuk berbicara mengenai isu-isu universal atau nasional dengan satu suara. Kalaupun masyarakat berbicara, sering kali yang terdengar adalah suara-suara dari kelompok-kelompok tertentu yang menonjolkan identitas mereka. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengurangi kapasitas masyarakat untuk bersatu dalam menghadapi tantangan bersama.

Penting untuk diingat bahwa sementara keberagaman adalah kekayaan, persamaan adalah dasar dari solidaritas sosial. Multikulturalisme yang sehat seharusnya tidak hanya merayakan perbedaan, tetapi juga mengakui dan merayakan persamaan-persamaan yang dimiliki, menciptakan keseimbangan antara kedua aspek tersebut.

Dengan demikian, pendekatan yang ideal adalah menggabungkan keberagaman dengan persatuan. Masyarakat harus mengakui dan menghargai perbedaan budaya, agama, dan etnis, namun tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dipegang bersama.

Dengan cara ini, masyarakat dapat merayakan multikulturalisme sambil memastikan bahwa persatuan dan solidaritas tidak terkikis.

Referensi

Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations, Simon & Schuster, 1996.
Kenan Malik, Multiculturalism and Its Discontents, Seagull Books, 2013.
Roger Scruton, England: An Elegy, Chatto & Windus, 2000.
Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment, Farrar, Straus and Giroux, 2018.

OhPedia Lainnya