Signifikansi Kemenangan Sekutu di Afrika dan Timur Tengah pada Perang Dunia II

20/09/2023, 15:43 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Signifikansi Kemenangan Sekutu di Afrika dan Timur Tengah pada Perang Dunia II
Ilustrasi Perang Dunia II di Afrika
Table of contents
Editor: EGP

DALAM perjalanan Perang Dunia II, banyak medan pertempuran yang menjadi titik krusial, dan salah satunya adalah Afrika dan Timur Tengah. Wilayah-wilayah ini, yang mungkin tampak jauh dari pusat-pusat kekuatan Eropa, memainkan peran kunci dalam menentukan nasib konflik global tersebut. 

Melalui perjuangan di gurun pasir, pertarungan strategis di Terusan Suez, hingga implikasi politik dan ekonomi dari kemenangan Sekutu, artikel ini akan membawa kita menjelajahi pentingnya teater perang ini dan bagaimana kejadian-kejadian di sana memengaruhi jalannya sejarah dunia.

Latar Belakang Strategis

Afrika dan Timur Tengah menjadi penting dalam konteks Perang Dunia II karena sejumlah alasan. Pertama, posisi geografis kedua wilayah ini memegang peranan penting sebagai jembatan antara Eropa, Asia, dan Afrika. Dengan menguasai wilayah ini, sebuah negara bisa mengontrol akses ke berbagai sumber daya strategis seperti minyak bumi di Timur Tengah (David Fromkin, "A Peace to End All Peace", 1989, hlm. 78). 

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Kedua, medan ini memberikan rute transportasi dan komunikasi yang vital bagi Sekutu dan Poros.

Kedekatan geografis Afrika Utara dengan Eropa juga menjadikannya sebagai titik peluncuran yang strategis untuk invasi ke Eropa Selatan. Penguasaan wilayah ini memungkinkan Sekutu untuk mendekati 'perut' Eropa dari selatan, sementara operasi militer lainnya dilakukan di front timur dan barat.

Selain itu, akses menuju Terusan Suez, yang merupakan arteri transportasi vital, juga menjadi daya tarik utama menguasai wilayah ini.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Pertempuran di Afrika Utara

Pertempuran di Afrika Utara dimulai dengan invasi Italia ke Mesir tahun 1940. Namun, kekuatan Italia terbukti tidak sebanding dengan tentara Inggris yang berpengalaman. Dalam beberapa bulan, Sekutu berhasil merebut kembali wilayah yang telah diambil  Italia dan bahkan memasuki Libya, koloni Italia di Afrika Utara. 

Tetapi, kemenangan Sekutu ini tidak berlangsung lama. Pada awal 1941, Jerman mengirim Afrika Korps di bawah komando Jenderal Erwin Rommel untuk mendukung sekutu Italia mereka (Ian F. W. Beckett, "Modern Insurgencies and Counter-Insurgencies", 2001, hlm. 123).

Rommel dengan cepat mendapatkan julukan "Rubah Gurun" karena kemampuannya bergerak lincah di medan gurun dan strategi militer yang cemerlang. Ia berhasil merebut kembali wilayah yang hilang dan bahkan mendesak Sekutu hingga El Alamein di Mesir. 

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Namun, pada November 1942, Sekutu melancarkan Operasi Torch yang merupakan invasi besar-besaran di Maroko dan Aljazair. Rommel, yang terkurung di antara pasukan Sekutu dari timur dan barat, terpaksa mundur (William B. Breuer, "Operation Torch: The Allied Gamble to Invade North Africa", 2001, hlm. 156).

Setelah serangkaian pertempuran sengit, Sekutu akhirnya berhasil mengusir pasukan Poros dari Afrika Utara pada Mei 1943. Kemenangan ini menjadi awal dari berakhirnya dominasi Poros di Mediterania dan membuka jalan bagi invasi Sekutu ke Italia.

Invasi Sekutu ke Afrika Utara

Operasi Torch, sebuah kode untuk invasi Sekutu ke Afrika Utara, menjadi salah satu langkah penting dalam kampanye militer Sekutu di Mediterania. Dilancarkan pada November 1942, operasi ini melibatkan pasukan darat dan laut dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang mendarat di tiga titik utama: Casablanca di Maroko, Oran di Aljazair, dan Aljir, ibukota Aljazair (Winston Churchill, "The Second World War: The Hinge of Fate", 1951, hlm. 487).

Tujuan Operasi Torch adalah untuk memotong pasokan ke tentara Jerman di Afrika Utara dan memaksa mereka untuk bertarung di dua front: satu dari arah timur di Mesir dan satu lagi dari arah barat dari Aljazair. Ini adalah upaya pertama tentara AS untuk melakukan operasi gabungan berskala besar di luar Amerika Serikat selama Perang Dunia II. 

Ada kekhawatiran tentang bagaimana pasukan AS yang relatif tidak berpengalaman akan bertarung, tetapi dengan bantuan Inggris, invasi berlangsung sukses (Dwight D. Eisenhower, "Crusade in Europe", 1948, hlm. 245).

Walaupun demikian, invasi ini bukanlah tanpa rintangan. Di Oran dan Casablanca, pasukan Vichy (rezim Prancis yang berkolaborasi dengan Jerman) memberikan perlawanan yang signifikan sebelum akhirnya menyerah. Namun, di Aljir, dengan adanya dukungan dari perlawanan Prancis bebas, Sekutu berhasil mengamankan kota dengan cepat. 

Setelah berhasil menguasai tiga titik pendaratan, Sekutu dengan cepat bergerak menuju Tunisia, dengan tujuan untuk memotong jalur pasokan Poros ke Afrika Utara dan memaksa mereka untuk menyerah.

Keberhasilan Operasi Torch tidak hanya mengakhiri dominasi Poros di Afrika Utara, tetapi juga memberikan Sekutu pangkalan penting untuk operasi-operasi militer selanjutnya di Mediterania, terutama invasi ke Sisilia dan Italia. Invasi ini juga memperkuat kerja sama militer antara Amerika dan Inggris, yang akan menjadi dasar kemenangan Sekutu di berbagai teater lainnya selama perang.

Posisi Penting Timur Tengah dan Terusan Suez 

Timur Tengah, dengan keberadaan Terusan Suez, menjadi wilayah yang sangat strategis selama Perang Dunia II. Terusan Suez, yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah, memberikan jalan pintas bagi kapal-kapal yang berlayar antara Eropa dan Asia, menghindari perjalanan yang lebih panjang dan berbahaya melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Mengendalikan kanal ini berarti mengendalikan lalu lintas maritim yang vital bagi kepentingan perang (Alan Moorehead, "The Suez Crisis", 1966, hlm. 32).

Sebelum perang, Inggris telah menguasai wilayah ini sebagai bagian dari kekaisarannya dan telah memastikan bahwa kanal tetap aman dari ancaman luar.

Namun, dengan meletusnya Perang Dunia II dan kemajuan Poros di Afrika Utara, terutama oleh pasukan Jerman di bawah Rommel, kanal ini menjadi terancam. Jika Poros berhasil mencapai dan menguasai Suez, akan ada potensi blokade terhadap pasokan minyak dari Timur Tengah dan juga pemutusan jalur komunikasi dan pasokan antara Inggris dengan koloninya di Asia.

Kepentingan strategis Terusan Suez juga diperkuat dengan sumber daya minyak di Timur Tengah. Minyak telah menjadi sumber energi penting bagi mesin perang, dan Timur Tengah memiliki cadangan minyak terbesar di dunia saat itu (Daniel Yergin, "The Prize: The Epic Quest for Oil, Money & Power", 1991, hlm. 400). Mengendalikan sumber daya ini berarti mengendalikan salah satu aset terpenting dalam perang.

Seiring berjalannya perang, upaya Sekutu untuk mengamankan Timur Tengah dan Suez menjadi lebih intensif. Dengan dukungan dari pasukan kolonial dan tentara Kerajaan Mesir, Sekutu berhasil mempertahankan kanal dari ancaman Poros. Keberhasilan ini, ditambah dengan kemenangan Sekutu di Afrika Utara, memastikan bahwa jalur komunikasi dan pasokan melalui Suez tetap aman hingga akhir perang.

Signifikansi Keberhasilan Sekutu di Afrika

Keberhasilan Sekutu di medang perang Afrika menandai titik balik penting dalam dinamika Perang Dunia II. Ini bukan hanya sebuah kemenangan militer, tetapi memiliki implikasi yang mendalam terhadap jalannya perang dan konstelasi kekuatan dunia pasca-perang.

Pertama, keberhasilan di Afrika Utara membuka jalur bagi Sekutu untuk menyerang 'perut bawah' Eropa. Dengan menguasai Afrika Utara, Sekutu memiliki posisi yang strategis untuk melancarkan invasi ke Italia, yang kemudian dikenal sebagai "perut bawah" Eropa.

Kemenangan di Afrika juga berarti kegagalan Poros dalam upayanya untuk menguasai Mediterania, serta memastikan bahwa jalur pasokan vital melalui Suez tetap terjaga (Stephen W. Sears, "The Mediterranean Strategy in World War II", 1959, hlm. 118).

Kedua, dari perspektif politik dan moral, kemenangan di Afrika memberikan dorongan besar bagi Sekutu. Setelah serangkaian kekalahan dan mundurnya di front lain, kemenangan di Afrika menjadi bukti bahwa Poros bisa dikalahkan. Ini memberi moral bagi tentara dan masyarakat di negara-negara Sekutu dan menunjukkan bahwa momentum perang mulai bergeser.

Ketiga, mengendalikan Afrika berarti mengendalikan sumber daya alam yang krusial, terutama minyak dari Timur Tengah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, minyak menjadi sumber energi penting bagi mesin perang, dan dengan mengamankan Afrika dan Timur Tengah, Sekutu memastikan akses yang tidak terganggu ke sumber daya ini.

Terakhir, keberhasilan di Afrika juga berdampak terhadap kolonialisme pasca-perang. Meskipun Eropa berhasil mempertahankan koloninya selama perang, gerakan nasionalisme di berbagai negara Afrika mendapatkan momentum setelah perang.

Keberhasilan mereka dalam berkontribusi terhadap upaya perang menguatkan tuntutan mereka untuk kemerdekaan dan otonomi yang lebih besar setelah perang berakhir (Frederick Cooper, "Decolonization and African Society", 1996, hlm. 190).

OhPedia Lainnya