DEMOKRASI parlementer, yang dikenal juga dengan sistem parlementer, adalah bentuk pemerintahan di mana eksekutif tunduk dan bertanggung jawab kepada legislatif. Dalam sistem ini, kepala negara bisa berbeda dengan kepala pemerintahan. Misalnya di banyak negara kerajaan, raja atau ratu adalah kepala negara, namun perdana menteri yang biasanya menjadi kepala pemerintahan.
Itu berarti, kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak sepenuhnya terpisah, dan keduanya sering kali saling berinteraksi dalam menjalankan roda pemerintahan (Lijphart, "Patterns of Democracy", 1999, hal. 72).
Salah satu karakteristik utama demokrasi parlementer adalah adanya mekanisme mosi tidak percaya. Jika parlemen tidak puas dengan kinerja eksekutif, mereka bisa mengajukan mosi tidak percaya. Jika mosi tersebut diterima, pemerintahan harus mengundurkan diri dan pemilihan baru akan dilakukan. Ini memastikan bahwa eksekutif selalu bertanggung jawab kepada parlemen (Lijphart, "Patterns of Democracy", hal. 75).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Dalam demokrasi parlementer, pemilihan eksekutif tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sebaliknya, mereka dipilih oleh parlemen atau berdasarkan komposisi parlemen. Ini berarti partai politik memiliki peran kunci dalam menentukan siapa yang akan memimpin eksekutif (Lijphart, "Patterns of Democracy", hal. 77).
Sementara demokrasi presidensial adalah bentuk pemerintahan di mana kepala negara sekaligus menjadi kepala pemerintahan dan memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat, yang terpisah dari legislatif.
Presiden, dalam kapasitas ini, dipilih secara langsung oleh rakyat dan tidak bertanggung jawab kepada legislatif dalam arti parlementer (Linz, "The Perils of Presidentialism", 1990, hal. 52).
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Kelebihan dari sistem ini adalah adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara eksekutif dan legislatif. Ini memungkinkan presiden memiliki mandat langsung dari rakyat dan menjalankan kebijakan tanpa harus selalu berkompromi dengan parlemen.
Namun, ini juga dapat menyebabkan konflik antara dua cabang pemerintahan tersebut, terutama jika mereka dikuasai oleh partai politik yang berbeda (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 55).
Demokrasi presidensial sering kali dikaitkan dengan stabilitas politik karena presiden memiliki periode jabatan yang tetap, biasanya empat atau lima tahun. Selama periode itu, presiden tidak dapat dipecat oleh parlemen kecuali dalam kasus-kasus tertentu seperti impeachment. Ini memberikan presiden kebebasan untuk membuat kebijakan jangka panjang (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 58).
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Kritik utama terhadap sistem presidensial adalah potensinya untuk mengarah pada kekuasaan yang terkonsentrasi. Dengan kekuasaan eksekutif yang kuat dan tidak adanya tanggung jawab langsung kepada parlemen, ada kemungkinan presiden memonopoli kekuasaan dan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 60).
Perbedaan Demokrasi Parlementer dengan Presidensial
Demokrasi parlementer dan presidensial memiliki beberapa perbedaan kunci yang membedakan karakteristik dan cara kerja kedua sistem pemerintahan ini.
Pemilihan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan
Dalam sistem parlementer, kepala negara (misalnya raja atau presiden) dan kepala pemerintahan (biasanya perdana menteri) biasanya merupakan dua individu yang berbeda. Kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen.
Sementara itu, dalam sistem presidensial, kepala negara dan kepala pemerintahan adalah individu yang sama, yaitu presiden, yang dipilih langsung oleh rakyat.
Tanggung Jawab Eksekutif
Dalam demokrasi parlementer, eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat digulingkan melalui mosi tidak percaya. Hal ini memastikan bahwa eksekutif selalu berada di bawah pengawasan legislatif.
Sementara dalam demokrasi presidensial, presiden tidak bertanggung jawab kepada legislatif dalam cara yang sama, meskipun ada mekanisme seperti impeachment untuk kasus-kasus tertentu (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 54).
Pemisahan Kekuasaan
Demokrasi presidensial menekankan pemisahan kekuasaan yang tegas antara eksekutif dan legislatif. Ini berbeda dengan demokrasi parlementer, di mana ada keterkaitan yang lebih erat antara dua cabang tersebut, dan keduanya sering kali saling mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan.
Stabilitas dan Fleksibilitas
Demokrasi parlementer sering kali dianggap lebih fleksibel dalam merespons perubahan politik, karena parlemen dapat dengan mudah menggantikan kepala pemerintahan tanpa harus melakukan pemilihan umum.
Di sisi lain, demokrasi presidensial dianggap memberikan stabilitas politik yang lebih besar karena presiden memiliki periode jabatan yang tetap dan tidak mudah digulingkan (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 56).
Dalam kenyataannya, baik demokrasi parlementer maupun presidensial memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pilihan antara keduanya sering kali didasarkan pada sejarah, budaya, dan kondisi politik spesifik sebuah negara.
Kelebihan
Responsif terhadap perubahan. Karena eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, pemerintah cenderung lebih responsif terhadap tuntutan dan perubahan politik. Jika parlemen tidak puas, mereka dapat menggantikan pemerintahan melalui mosi tidak percaya (Lijphart, "Patterns of Democracy", hal. 78).
Kohesi pemerintahan. Dalam sistem parlementer, pemerintah biasanya didominasi oleh satu partai atau koalisi yang memiliki mayoritas di parlemen. Ini memastikan kohesi dalam kebijakan dan pelaksanaannya, dengan sedikit kemungkinan konflik antara eksekutif dan legislatif (Lijphart, "Patterns of Democracy", hal. 80).
Fleksibilitas. Demokrasi parlementer memungkinkan negara-negara untuk dengan cepat beradaptasi dengan situasi dan kondisi baru, terutama dalam krisis, tanpa harus menunggu pemilihan umum berikutnya (Lijphart, "Patterns of Democracy", hal. 82).
Kelebihan Demokrasi Presidensial
Stabilitas. Karena presiden memiliki periode jabatan yang tetap, ini memberikan stabilitas dalam pemerintahan. Meskipun ada tantangan, presiden dapat merencanakan dan melaksanakan kebijakan jangka panjang tanpa takut akan mosi tidak percaya (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 57).
Mandat langsung. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, memberikannya mandat langsung untuk menjalankan kebijakan. Ini dapat memperkuat legitimasi keputusan yang diambil oleh eksekutif (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 59).
Pemisahan kekuasaan. Sistem presidensial menekankan pemisahan yang jelas antara eksekutif dan legislatif, mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan memastikan bahwa setiap cabang memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas.
Meski masing-masing sistem memiliki kelebihannya, baik demokrasi parlementer maupun presidensial memiliki potensi untuk berhasil atau gagal berdasarkan sejumlah faktor lain, seperti tradisi politik, budaya, dan sejarah dari negara tersebut.
Kekurangan
Kekurangan Demokrasi Parlementer
Kestabilan rendah. Karena eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen, pemerintahan dapat dengan mudah digulingkan melalui mosi tidak percaya. Hal ini bisa mengakibatkan periode pemerintahan yang pendek dan kebijakan yang tidak konsisten (Lijphart, "Patterns of Democracy" , hal. 85).
Dominasi partai. Dalam beberapa kasus, partai dominan atau koalisi partai dapat memonopoli kekuasaan, mengurangi pluralisme dan pilihan politik bagi rakyat (Lijphart, "Patterns of Democracy", hal. 87).
Tidak ada mandat langsung. Karena kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen dan bukan rakyat, ada kemungkinan terjadinya ketidakselarasan antara keinginan rakyat dan tindakan pemerintah (Lijphart, "Patterns of Democracy", hal. 89).
Kekurangan Demokrasi Presidensial
Risiko konsentrasi kekuasaan. Dengan kekuasaan eksekutif yang kuat, ada potensi untuk konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, yang bisa mengarah pada bentuk otoritarianisme (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 62).
Konflik dengan legislatif. Pemisahan kekuasaan yang jelas antara presiden dan parlemen bisa memicu konflik, terutama jika mereka dikuasai oleh partai politik yang berbeda. Ini dapat menghambat proses pembuatan kebijakan.
Kurangnya fleksibilitas. Karena presiden memiliki periode jabatan yang tetap, bisa sulit bagi negara untuk merespons dengan cepat perubahan atau krisis yang mendesak (Linz, "The Perils of Presidentialism", hal. 66).
Baik demokrasi parlementer maupun presidensial memiliki kelebihan dan kekurangan. Pilihan antara keduanya harus mempertimbangkan konteks spesifik negara tersebut, termasuk tradisi politik, budaya, dan dinamika sosial.
Referensi:
Lijphart, Arend. "Patterns of Democracy". Yale University Press, 1999.
Linz, Juan J. "The Perils of Presidentialism". Journal of Democracy, 1990.