SEJARAH Romawi kuno mencakup rentang waktu yang luar biasa, dari asal mula mitologis Romulus dan Remus hingga jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Untuk memahami bagaimana Romawi berkembang dari republik ke kekaisaran, kita harus menelusuri sejarahnya yang panjang dan kompleks.
Republik Romawi
Sejarah Romawi dimulai dengan legenda Romulus dan Remus, dua saudara kembar yang dididik oleh serigala dan kemudian mendirikan kota Roma pada 753 SM. Namun, kisah yang lebih konkret berkisar pada periode Republik Romawi yang dimulai pada 509 SM ketika raja terakhir Romawi, Tarquinius Superbus, digulingkan.
Masyarakat Romawi saat itu merasa bahwa monarki tidak lagi cocok dengan aspirasi mereka, sehingga mereka menggantinya dengan sistem republik yang demokratis, di mana dua konsul dipilih setiap tahunnya untuk memimpin negara (H.H. Scullard, From the Gracchi to Nero, 1982, hlm. 12-15).
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Dalam periode Republik, Senat Romawi memegang kekuasaan legislatif, yudisial, dan eksekutif. Mereka memastikan keputusan diambil dengan konsensus dan adanya pemisahan kekuasaan.
Namun, seiring waktu, perbedaan antara kelas aristokrat dan rakyat biasa semakin meningkat. Konflik ini mengakibatkan berbagai reformasi sosial dan politik yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh seperti Tiberius dan Gaius Gracchus (Michael Crawford, The Roman Republic, 1978, hlm. 70-85).
Meskipun republik itu mengalami masa-masa keemasan seperti ekspansi wilayah dan pembentukan aliansi, namun ketidakstabilan internal terus mengancam stabilitas Romawi.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Transisi dari Republik ke Kekaisaran dimulai dengan krisis yang berlarut-larut. Terjadi perang saudara yang memicu pertempuran antara faksi-faksi berpengaruh seperti Julius Caesar, Pompey, dan Marcus Antonius.
Dengan kemenangan Julius Caesar dalam Perang Saudara Romawi dan kemudian pembunuhan Caesar, Augustus (yang dulu dikenal sebagai Octavian) muncul sebagai pemimpin tunggal Romawi, menandai berakhirnya Republik dan awal dari Kekaisaran Romawi (Ronald Syme, The Roman Revolution, 1939, hlm. 110-120).
Transisi ke Kekaisaran
Periode transisi dari Republik ke Kekaisaran ditandai dengan kekacauan politik. Namun, dengan keberhasilan Octavian (yang kemudian menjadi Augustus) mengonsolidasikan kekuasaannya, ia berhasil mendirikan kekaisaran yang stabil dan damai.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Pada tahun 27 SM, Senat Romawi memberikan gelar "Augustus" kepadanya, dan meskipun ia tetap mempertahankan bentuk-bentuk republikan, dalam praktiknya, kekaisaran sudah menjadi monarki absolut (H.H. Scullard, From the Gracchi to Nero, 1982, hlm. 211-220).
Salah satu ciri khas dari Kekaisaran Romawi adalah pax Romana atau "kedamaian Romawi". Dalam periode ini, yang berlangsung sekitar 200 tahun, wilayah kekaisaran menikmati stabilitas dan kedamaian relatif.
Augustus mengembangkan administrasi negara yang efisien, memperluas jaringan jalan, dan mempromosikan kebudayaan Romawi ke seluruh wilayah kekaisaran.
Kemudian, kekaisaran ini melanjutkan ekspansinya di bawah kepemimpinan kaisar-kaisar seperti Trajan dan Hadrian (Anthony Birley, Hadrian: The Restless Emperor, 1997, hlm. 30-45).
Namun, keberhasilan ini tidak berlangsung selamanya. Seiring berjalannya waktu, Kekaisaran Romawi mulai menghadapi tantangan eksternal dan internal yang serius. Ekspansi berlebihan, persaingan untuk kekuasaan, dan serangan dari bangsa-bangsa barbar mengancam keberadaan kekaisaran.
Meski demikian, perubahan dari Republik ke Kekaisaran menggambarkan adaptasi masyarakat Romawi dalam menghadapi tantangan dan mengubah dunia kuno secara fundamental.
Julius Caesar: Jembatan dari Republik ke Kekaisaran
Julius Caesar adalah salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Romawi, terutama dalam transisi dari Republik ke Kekaisaran. Dia adalah seorang jenderal dan politisi yang berbakat, dan berhasil memperluas wilayah Romawi ke Gaul (sekarang Prancis). Caesar kembali ke Roma dengan kekuatan militer dan populeritas yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan kekhawatiran di antara para elite politik (Adrian Goldsworthy, Caesar: Life of a Colossus, 2006, hlm. 420-430).
Ketika dia ditunjuk sebagai "diktator perpetuo" atau diktator seumur hidup, dia mulai melakukan berbagai reformasi yang radikal. Reformasi ini meliputi distribusi tanah kepada veteran perang, reorganisasi kalender Romawi, dan merancang struktur administrasi yang lebih efisien.
Namun, banyak senator merasa kehilangan kekuasaan dan merasa terancam, yang akhirnya memicu pembunuhan Caesar pada 44 SM.
Meski demikian, perubahan yang dia inisiasi sudah tidak dapat dihentikan, dan Caesar sendiri menjadi simbol dari akhir Republik Romawi dan awal Kekaisaran Romawi (Mary Beard, SPQR: A History of Ancient Rome, 2015, hlm. 350-360).
Augustus: Pendiri Kekaisaran Romawi
Setelah kematian Caesar, terjadi kekosongan kekuasaan yang diisi oleh tiga tokoh: Augustus (Octavian), Marcus Antonius, dan Marcus Aemilius Lepidus dalam apa yang disebut Triumvirat Kedua.
Setelah beberapa tahun perang saudara dan intrik politik, Octavian berhasil mengalahkan Marcus Antonius dan Cleopatra di Pertempuran Actium pada 31 SM. Kemenangannya membuka jalan untuk Octavian menjadi pemimpin tunggal di Roma (Robert Gurval, "Actium and Augustus: The Politics and Emotions of Civil War," 1995, hlm. 250-260).
Pada tahun 27 SM, Senat memberikan gelar "Augustus" kepada Octavian, dan dia dengan cepat memulai proses stabilisasi politik dan militer yang sangat dibutuhkan oleh Roma. Ia mempertahankan beberapa elemen Republik seperti Senat, namun dalam praktiknya, ia adalah penguasa monarki.
Augustus bahkan menciptakan institusi-institusi baru seperti Praetorian Guard dan membawa perubahan dalam hukum dan moral. Era pemerintahannya dianggap sebagai awal dari Pax Romana, sebuah periode perdamaian dan stabilitas yang membentang lebih dari dua abad (H.H. Scullard, From the Gracchi to Nero, 1982, hlm. 211-220).
Kedua tokoh ini, Julius Caesar dan Augustus, memiliki peran sentral dalam membentuk sejarah Romawi. Mereka menjadi simbol dari berakhirnya Republik dan awal dari Kekaisaran, dan keduanya juga meninggalkan warisan yang masih kita kenal dan pelajari hingga hari ini.