NEOLIBERALISME merupakan paradigma ekonomi dan sosial yang menekankan pada kebebasan pasar, deregulasi, dan privatisasi. Meskipun neoliberalisme telah memberikan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara dan menginspirasi banyak reformasi ekonomi global, namun paradigma ini juga menghadapi kritik tajam terkait dengan sejumlah dampak negatifnya.
Meningkatnya ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan
Sejak 1980-an, pendekatan neoliberal telah didominasi oleh keyakinan bahwa pasar bebas akan menghasilkan kemakmuran bagi semua. Namun, dalam praktiknya, ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan justru meningkat.
Thomas Piketty dalam bukunya, "Capital in the Twenty-First Century" (2013), menunjukkan bahwa pengembalian pada kekayaan seringkali tumbuh lebih cepat daripada ekonomi secara keseluruhan, sehingga membuat orang kaya menjadi semakin kaya, sementara pendapatan kelas menengah stagnan atau bahkan menurun. Ini berdampak pada kesenjangan yang semakin melebar antara kaya dan miskin.
Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya
Sebagai tambahan, sistem neoliberal cenderung memfasilitasi perpindahan kekayaan dari kelas pekerja ke pemilik modal. Deregulasi, liberalisasi perdagangan, dan kebijakan pajak yang menguntungkan kelompok kaya semakin memperkuat ketidaksetaraan ini.
Joseph E. Stiglitz, dalam "The Price of Inequality" (2012), menyatakan bahwa ketidaksetaraan yang ekstrem bisa merusak pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan ketidakstabilan sosial.
Kerentanan terhadap krisis ekonomi
Neoliberalisme, dengan penekanannya pada deregulasi keuangan, sering kali dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap krisis ekonomi. Krisis keuangan 2008 adalah contoh nyata dari bagaimana kegagalan regulasi bisa mengakibatkan bencana global.
Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme
Dalam bukunya, "The Big Short" (2010), Michael Lewis menggambarkan bagaimana praktik perbankan tanpa pengawasan yang memadai bisa membawa ekonomi global ke ambang kehancuran.
Pasar bebas tanpa intervensi pemerintah sering kali dianggap sebagai solusi neoliberal terhadap masalah ekonomi. Namun, hal ini justru memperbesar risiko terjadinya spekulasi berlebihan dan pembentukan gelembung aset. Deregulasi yang berlebihan juga memungkinkan lembaga keuangan untuk mengambil risiko yang berlebihan tanpa pertimbangan akibat yang mungkin terjadi.
Ini adalah salah satu kritik yang disampaikan oleh Raghuram Rajan dalam "Fault Lines: How Hidden Fractures Still Threaten the World Economy" (2010). Rajan berpendapat bahwa sistem yang terlalu berorientasi pada pasar tanpa pengawasan yang memadai cenderung menciptakan siklus pertumbuhan dan krisis yang berulang.
Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya
Hilangnya hak-hak pekerja
Di bawah naungan neoliberalisme, banyak negara telah menderegulasi pasar tenaga kerja dengan harapan meningkatkan efisiensi dan daya saing. Namun, deregulasi ini seringkali berdampak pada pelemahan hak-hak pekerja. Dalam banyak kasus, perlindungan kerja, seperti perjanjian kerja jangka panjang atau hak untuk berorganisasi, berkurang.
Kebebasan berorganisasi dan berunding kolektif adalah hak dasar pekerja, tetapi dalam era neoliberalisme, banyak perusahaan berusaha menghambat kegiatan serikat pekerja.
David Harvey, dalam "A Brief History of Neoliberalism" (2005), mencatat bagaimana kebijakan neoliberal mendukung kepentingan kapitalis di atas kepentingan kelas pekerja, yang mengakibatkan penurunan kekuatan tawar pekerja dan kondisi kerja yang lebih buruk.
Tak hanya itu, perlindungan terhadap pekerja seringkali dikorbankan demi fleksibilitas pasar tenaga kerja. Ini menghasilkan pertumbuhan pekerjaan berbasis kontrak atau pekerjaan sementara yang tidak menawarkan keamanan, manfaat, atau perlindungan yang sama seperti pekerjaan tetap.
Guy Standing, dalam "The Precariat: The New Dangerous Class" (2011), memaparkan bagaimana neoliberalisme telah menciptakan kelompok "prekariat", yaitu individu-individu yang hidup dalam kondisi kerja yang tidak stabil dan rentan.
Selain itu, dengan fokus pada efisiensi dan produktivitas, seringkali pekerja ditekan untuk bekerja lebih keras dengan upah yang tidak meningkat secara proporsional. Ini menghasilkan ketidakseimbangan antara produktivitas dan kompensasi pekerja, yang pada gilirannya meningkatkan ketidaksetaraan dan ketidakpuasan di antara pekerja.
Dampak terhadap Lingkungan dan Sumber Daya Alam
Neoliberalisme juga dikecam karena dampak buruknya terhadap lingkungan dan sumber daya alam. Model ekonomi yang menekankan pada pertumbuhan tanpa henti sering kali mengabaikan dampak lingkungan dari eksploitasi sumber daya alam.
Naomi Klein dalam "This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate" (2014), menjelaskan bahwa prinsip-prinsip neoliberalisme, seperti deregulasi industri dan eksploitasi sumber daya alam tanpa batas, secara langsung berkontribusi pada perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Pertambangan, deforestasi, dan praktik industri lain yang merusak lingkungan seringkali diberikan "lampu hijau" dalam sistem neoliberal karena dianggap bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Namun, kerusakan yang dihasilkan oleh praktik-praktik ini jauh lebih besar dan sering kali tidak dapat dipulihkan. Ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, kerusakan ekosistem, dan perubahan iklim, yang pada akhirnya merugikan semua orang, terutama komunitas yang paling rentan.
Meningkatnya Dominasi Perusahaan Multinasional
Di bawah bendera neoliberalisme, perusahaan multinasional mendapat banyak keuntungan, termasuk akses yang lebih mudah ke pasar global dan kemampuan untuk mengoperasikan bisnis di seluruh dunia dengan sedikit hambatan. Meski demikian, dominasi mereka juga menimbulkan masalah serius.
Noam Chomsky, dalam bukunya "Profit Over People: Neoliberalism and Global Order" (1999), membahas bagaimana perusahaan besar mendapatkan kekuatan yang sangat besar di bawah sistem neoliberal, sering kali dengan mengorbankan keberlanjutan, kesejahteraan pekerja, dan hak-hak konsumen.
Perusahaan multinasional sering kali mampu menghindari pajak, menciptakan ketidaksetaraan yang lebih besar dan mengurangi pendanaan untuk layanan publik yang penting.
Mereka juga cenderung mengeksploitasi sumber daya alam dan pekerja, terutama di negara-negara berkembang, di mana regulasi sering kali lebih longgar.
Lebih jauh lagi, dominasi perusahaan multinasional ini sering kali mengikis kedaulatan dan kemampuan negara-negara untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan warganya.
Kesimpulan
Neoliberalisme, dengan prinsip-prinsipnya yang menekankan pada kebebasan pasar, deregulasi, dan privatisasi, memang telah mendatangkan pertumbuhan ekonomi di banyak wilayah. Namun, dampak negatifnya juga cukup signifikan.
Meningkatnya ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan, kerentanan terhadap krisis ekonomi, pelemahan hak-hak pekerja, kerusakan lingkungan, serta dominasi perusahaan multinasional adalah sejumlah kritik yang kerap diajukan terhadap pendekatan neoliberal ini.
Penting bagi kita untuk merefleksikan dan mengevaluasi model ekonomi ini, memastikan bahwa pertumbuhan dan kemajuan ekonomi tidak diperoleh dengan mengorbankan keberlanjutan lingkungan, kesejahteraan pekerja, atau keadilan sosial. Sebuah pendekatan yang lebih holistik dan inklusif mungkin diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang kita hadapi di abad ke-21.
Referensi:
Thomas Piketty, "Capital in the Twenty-First Century", Harvard University Press, 2013.
Joseph E. Stiglitz, "The Price of Inequality", W. W. Norton & Company, 2012.
Michael Lewis, "The Big Short", W. W. Norton & Company, 2010.
Raghuram Rajan, "Fault Lines: How Hidden Fractures Still Threaten the World Economy", Princeton University Press, 2010.
David Harvey, "A Brief History of Neoliberalism", Oxford University Press, 2005.
Guy Standing, "The Precariat: The New Dangerous Class", Bloomsbury Academic, 2011.
Naomi Klein, "This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate", Simon & Schuster, 2014.
Noam Chomsky, "Profit Over People: Neoliberalism and Global Order", Seven Stories Press, 1999.