Berbagai Dampak Buruk "Argumentum Ad Hominem"

11/01/2024, 17:00 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Berbagai Dampak Buruk "Argumentum Ad Hominem"
Debat
Table of contents
Editor: EGP

KEKUATAN argumen dalam debat atau diskusi terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan pandangan dengan logika dan bukti yang mendukung. Namun, tak jarang kita menyaksikan bagaimana sebuah diskusi berubah menjadi ajang serangan personal, atau yang dikenal sebagai argumentum ad hominem. 

Fenomena ini bukan hanya merusak esensi dari sebuah debat yang sehat, tetapi juga menimbulkan dampak yang jauh lebih luas dan mendalam. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan dampak argumentum ad hominem, terutama dalam mengalihkan diskusi dari jalur rasional, menciptakan lingkungan debat yang tidak sehat, dan mengurangi kemungkinan mencapai kesepakatan yang bermakna. 

Pengalihan dari Diskusi Rasional

Mengalihkan Fokus Argumen: Salah satu dampak utama dari penggunaan argumentum ad hominem adalah pengalihan fokus dari masalah yang sebenarnya dibahas. Ketika seseorang menyerang pribadi lawan bicaranya, perhatian beralih dari topik yang relevan ke karakteristik pribadi. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas diskusi, karena aspek yang relevan dengan topik tidak lagi menjadi fokus utama. Stephen Toulmin dalam bukunya "The Uses of Argument" (1958), menjelaskan bahwa pengalihan fokus ini dapat merusak proses pembentukan kesimpulan yang berbasis fakta dan logika.

Baca juga: Aleksander Agung: Kehidupan Awal dan Latar Belakangnya

Menciptakan Konflik yang Tidak Perlu: Ad hominem seringkali menciptakan konflik dan ketegangan yang tidak diperlukan dalam diskusi. Hal ini terjadi karena serangan pribadi dapat memicu emosi negatif dan membuat lawan bicara merasa harus membela diri. Konflik ini sering kali mengarah pada penurunan kesediaan untuk berkolaborasi dan mencari pemahaman bersama, seperti yang diungkapkan oleh Douglas Walton dalam "Informal Logic: A Handbook for Critical Argumentation" (1989).

Merusak Kredibilitas Pembicara: Penggunaan argumentum ad hominem juga dapat merusak kredibilitas pembicara itu sendiri. Alih-alih dilihat sebagai sumber yang obyektif dan kredibel, mereka yang sering menggunakan ad hominem dapat dilihat sebagai orang yang tidak mampu berdebat dengan cara yang matang dan rasional. Carl Cohen dan Victor Rodych dalam "Critical Thinking: An Introduction to Good Thinking" (2003), menulis bahwa kehilangan kredibilitas ini dapat memiliki dampak jangka panjang terhadap bagaimana orang lain melihat dan menilai argumen yang disampaikan.

Menghalangi Pemahaman Bersama: Penggunaan argumentum ad hominem sering kali menghalangi terciptanya pemahaman bersama dalam diskusi. Ketika fokus beralih dari isu yang sebenarnya ke serangan pribadi, peluang untuk mengeksplorasi pandangan dan menemukan kesamaan menjadi terbatas. Ini diperjelas dalam teori komunikasi Bruce Tuckman, yang dijelaskan dalam "Developmental Sequence in Small Groups" (1965), di mana dinamika kelompok yang sehat memerlukan pertukaran ide dan penghargaan terhadap perbedaan pendapat.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Simbolisme

Meningkatkan Polaritas dan Intoleransi: Argumentum ad hominem dapat meningkatkan polaritas dan intoleransi dalam diskusi. Alih-alih mencari titik temu atau memahami perspektif lawan bicara, serangan personal cenderung memperkuat sikap defensif dan memperlebar jurang pemisah antar pendapat. Hal ini dijelaskan oleh Jonathan Haidt dalam "The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion" (2012), yang menggambarkan bagaimana emosi dan bias mempengaruhi pandangan kita terhadap orang lain, khususnya dalam konteks yang polarisasi.

Dengan memahami dampak ini, kita dapat berusaha menghindari penggunaan ad hominem dan fokus pada pembentukan argumen yang rasional dan konstruktif.

Menciptakan Lingkungan Debat yang Toksik

Mengurangi Rasa Hormat Antar Peserta: Argumentum ad hominem berkontribusi besar dalam menciptakan lingkungan debat yang tidak sehat (toksik). Saat peserta debat mulai mengabaikan argumen dan beralih ke serangan personal, tingkat saling hormat antar mereka menurun drastis. Ini dijelaskan oleh Deborah Tannen dalam "The Argument Culture: Stopping America's War of Words" (1998), yang menggarisbawahi bagaimana komunikasi agresif dan personal dapat mengikis rasa hormat dan kepercayaan dalam diskusi.

Baca juga: Apa Itu Simbolisme: Definisi, Sejarah, dan Fungsinya

Mendorong Sikap Defensif dan Agresi: Lingkungan debat yang tidak sehat atau toksik sering kali ditandai dengan sikap defensif dan agresi yang meningkat. Peserta cenderung lebih fokus pada pertahanan diri daripada berkontribusi pada dialog yang produktif. James G. March dalam "Decisions and Organizations" (1988) menggambarkan bagaimana lingkungan yang penuh dengan serangan personal dapat mengubah prioritas peserta dari mencari solusi menjadi mempertahankan ego.

Menurunkan Kualitas Debat: Kualitas debat secara keseluruhan menurun ketika argumentum ad hominem menjadi praktik umum. Alih-alih berfokus pada pertukaran ide yang cerdas dan analisis yang mendalam, debat berubah menjadi pertunjukan kekuatan ego. Ini disoroti oleh Daniel Cohen dalam "Argumentation and Debate" (2009), yang menekankan pentingnya etika dan integritas intelektual dalam debat.

Menghambat Pembelajaran dan Pertumbuhan Intelektual: Debat yang toksik menghambat peluang pembelajaran dan pertumbuhan intelektual bagi pesertanya. Ketika serangan personal mendominasi, peluang untuk memahami perspektif berbeda dan mengembangkan pemikiran kritis berkurang. Menurut John Stuart Mill dalam "On Liberty" (1859), eksposur terhadap berbagai pandangan dan debat yang sehat adalah kunci untuk pengembangan intelektual.

Meningkatkan Polaritas dalam Masyarakat: Penggunaan argumentum ad hominem dalam debat juga dapat mencerminkan dan memperkuat polaritas dalam masyarakat. Serangan personal menciptakan 'kami versus mereka' dalam diskusi, yang memperdalam jurang pemisah dan mengurangi kemungkinan kerjasama. Jurgen Habermas dalam "The Structural Transformation of the Public Sphere" (1962) menyoroti bagaimana diskursus publik yang sehat penting untuk demokrasi dan bagaimana serangan personal dapat merusak fondasi ini.

Mengurangi Kemungkinan Mencapai Kesepakatan yang Bermakna

Menghambat Dialog Konstruktif: Penggunaan argumentum ad hominem berperan penting dalam mengurangi kemungkinan mencapai kesepakatan yang bermakna dalam debat atau diskusi. Serangan pribadi menghambat dialog konstruktif, karena fokus beralih dari mencari solusi bersama ke pertahanan diri. Peter Senge dalam "The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization" (1990) menjelaskan, dialog konstruktif adalah kunci untuk mencapai pemahaman bersama dan kesepakatan yang bermakna.

Mengesampingkan Argumen Berbasis Fakta: Argumentum ad hominem menggeser fokus dari argumen berbasis fakta dan logis ke serangan personal. Hal ini menyebabkan aspek penting dari masalah yang dibahas sering terabaikan. Menurut Daniel Kahneman dalam "Thinking, Fast and Slow" (2011), pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan pertimbangan logis dan berbasis fakta, yang terhalang oleh penggunaan serangan personal.

Menciptakan Hambatan Komunikasi: Serangan personal menciptakan hambatan komunikasi antara peserta debat, membuat sulit bagi mereka untuk mendengarkan dan memahami sudut pandang satu sama lain. Dalam bukunya "Nonviolent Communication: A Language of Life" (2003), Marshall Rosenberg menjelaskan bagaimana komunikasi yang penuh empati dan bebas dari serangan dapat memfasilitasi pencapaian kesepakatan yang lebih mendalam dan bermakna.

Menyulitkan Pencapaian Konsensus: Argumentum ad hominem sering kali menyebabkan posisi yang lebih kaku dan mengurangi kemungkinan mencapai konsensus. Ketika peserta merasa diserang secara pribadi, mereka cenderung berpegang teguh pada pandangan mereka dan tidak mau mengalah. David Bohm, dalam "On Dialogue" (1996), menekankan pentingnya keterbukaan dan kerentanan dalam mencapai pemahaman bersama.

Mengurangi Kepercayaan dan Kolaborasi: Akhirnya, penggunaan argumentum ad hominem dapat mengurangi kepercayaan dan kolaborasi antar peserta, yang krusial untuk mencapai kesepakatan yang berarti. Seperti dijelaskan oleh Stephen R. Covey dalam "The 7 Habits of Highly Effective People" (1989), kepercayaan adalah fondasi dari kerjasama yang efektif, dan tanpa itu, sulit untuk mencapai hasil yang memuaskan semua pihak.

OhPedia Lainnya