Palestina, Israel, dan Jejak Kesultanan Utsmaniah

12/10/2023, 11:39 WIB
Artikel dan Ilustrasi ini dibuat dengan bantuan artificial intelligence (AI). Dimohon untuk bijak memanfaatkan informasi. Jika Anda menemukan ada kesalahan informasi atau kesalahan konteks, silakan memberitahu kami ke feedbackohbegitu@gmail.com
Palestina, Israel, dan Jejak Kesultanan Utsmaniah
Ilustrasi Palestina
Table of contents
Editor: EGP

PALESTINA, sebuah wilayah yang kaya dengan sejarah dan budaya, telah menjadi titik temu peradaban-peradaban besar sepanjang beberapa ribu tahun. Berada di persimpangan tiga agama monoteistik dunia - Yudaisme, Kristen, dan Islam - wilayah ini telah menjadi saksi bagi kejadian-kejadian monumental yang membentuk dunia seperti yang kita kenal saat ini. 

Dari pengaruh mendalam Islam hingga dominasi Kesultanan Utsmani, Palestina telah mengalami berbagai transformasi. Namun, di balik kekayaan sejarahnya, tersembunyi benih-benih konflik yang hingga saat ini masih menjadi topik hangat di kancah internasional.

Kaum Muslim Masuk ke Palestina

Palestina telah menjadi tempat yang penting bagi tiga agama besar dunia: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Pada awal abad ke-7 M, Palestina dikuasai oleh Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur). 

Baca juga: Rekomendasi Game Memasak dari Papa's Series

Namun, situasinya berubah ketika tentara Muslim, di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, memasuki wilayah tersebut dan merebut Yerusalem tanpa perlawanan berarti tahun 638 M. Dengan demikian, Palestina mulai masuk ke dalam orbit dunia Islam (Donner, The Early Islamic Conquests, 1981).

Kedamaian yang dijanjikan oleh penaklukan Muslim menjadi berkah bagi penduduk asli, terutama bagi komunitas Yahudi dan Kristen. Di bawah kekuasaan Muslim, mereka mendapatkan perlindungan dan kebebasan untuk beribadah. 

Kebijakan toleransi itu berlandaskan pada konsep dhimmi dalam syariat Islam yang memberikan perlindungan kepada non-Muslim (Lewis, The Arabs in History, 2002).

Baca juga: Mengenal Aplikasi Discord: Platform Komunikasi Serba Guna yang Merajai Dunia Digital

Dengan masuknya Palestina ke dalam kekuasaan Muslim, pembangunan infrastruktur, ilmu pengetahuan, dan budaya pun meningkat pesat. Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu, dua landmark penting di Yerusalem, dibangun selama periode ini dan menjadi pusat ibadah bagi umat Islam dari berbagai belahan dunia.

Kemunculan Kesultanan Utsmaniyah

Setelah beberapa abad berada di bawah kekuasaan berbagai dinasti Islam, pada tahun 1517 M, Palestina dan sekitarnya dianeksasi oleh Kesultanan Utsmaniyah, sebuah kekaisaran Turki yang sedang berada di puncak kejayaannya (Finkel, Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire, 2006). Di bawah Utsmaniyah, Palestina menikmati era stabilitas dan pembangunan.

Pembangunan infrastruktur meningkat di bawah pemerintahan Utsmaniyah. Jalan-jalan diperbaiki, sistem irigasi diperbarui, dan berbagai fasilitas publik lainnya dikembangkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, Yerusalem, sebagai pusat keagamaan, mendapatkan perhatian khusus dalam hal pemeliharaan dan renovasi (Quataert, The Ottoman Empire, 1700-1922, 2005).

Baca juga: Tips Membawa Banyak Pakaian Tanpa Menghabiskan Ruang dengan Teknologi Vakum Pakaian

Saat berada di bawah kekuasaan Utsmaniyah, Palestina menjadi tempat persinggahan penting bagi para pelancong, pedagang, dan peziarah. Sistem administratif yang efisien dari Utsmaniyah memastikan bahwa keadilan dan perdamaian ditegakkan di wilayah tersebut. 

Walaupun demikian, pada akhirnya, kejatuhan Kesultanan Utsmaniyah pada akhir Perang Dunia I mengakhiri dominasi mereka atas Palestina, yang kemudian menjadi medan pertempuran antara kepentingan nasionalis Arab dan Zionis Israel.

Pengaruh Utsmaniyah di Palestina

Selama masa pemerintahan Utsmani, Palestina bukan hanya sekadar wilayah administratif biasa, tetapi juga merupakan bagian dari propinsi Utsmaniyah yang lebih besar, yaitu wilayah Bilad al-Sham atau yang sering disebut dengan Levant. Dalam struktur administratif, wilayah Palestina termasuk dalam sanjak atau distrik, yang merupakan bagian dari vilayet atau Provinsi Damaskus (İnalcık, The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600, 1973).

Pemerintahan Utsmaniyah memberlakukan sistem timar di Palestina, di mana tanah-tanah diberikan kepada para sipahi atau ksatria sebagai pengganti layanan militer. Sistem ini mempromosikan pertanian dan pembangunan di wilayah tersebut. Penduduk lokal, termasuk banyak petani, mendapat manfaat dari kestabilan yang dibawa oleh pemerintahan Utsmaniyah dan dari reformasi agraria yang mereka laksanakan (Barkey, Empire of Difference: The Ottomans in Comparative Perspective, 2008).

Kehadiran Utsmaniyah di Palestina juga berdampak pada komposisi demografis dan kehidupan sosial masyarakat. Selain masyarakat Arab asli, banyak kelompok lain seperti Turki, Kurdi, dan Circassian yang bermigrasi dan menetap di Palestina. Keberagaman ini menciptakan mosaik budaya yang kaya di wilayah tersebut (Doumani, Rediscovering Palestine: Merchants and Peasants in Jabal Nablus, 1995).

Tidak hanya itu, Kesultanan Utsmaniyah juga berinvestasi dalam pengembangan kota-kota utama di Palestina, seperti Yerusalem, Nablus, dan Akka. Pembangunan kembali tembok kota, pasar, sekolah, dan masjid menjadi bukti komitmen Utsmaniyah untuk menjadikan Palestina sebagai wilayah yang makmur dan stabil di bawah kendali mereka.

Konflik Israel dan Palestina di Masa Utsmaniyah

Sejarah konflik antara orang Israel dengan Palestina memang kompleks, dan akar dari konflik ini sejatinya dapat ditelusuri jauh sebelum kekuasaan Utsmaniyah di Palestina. Namun, di bawah pemerintahan Utsmaniyah, dasar-dasar konflik modern mulai terbentuk.

Gerakan Zionis modern lahir di Eropa pada akhir abad ke-19, dengan aspirasi mendirikan sebuah "tanah air" bagi orang Yahudi di Palestina. Theodor Herzl, seorang jurnalis Austria-Yahudi, adalah tokoh utama di balik gagasan ini dan memainkan peran penting dalam Kongres Zionis Pertama yang diadakan di Basel tahun 1897 (Laqueur, A History of Zionism, 1972).

Dengan meningkatnya antisemitisme di Eropa, banyak orang Yahudi yang tertarik dengan ide Zionisme dan mulai beremigrasi ke Palestina. Di bawah kekuasaan Utsmaniyah, migrasi ini awalnya terjadi dalam skala yang terbatas. Akan tetapi, ketika Utsmaniyah mulai menghadapi masalah internal dan eksternal, mereka lebih toleran terhadap migrasi Yahudi, terutama jika hal ini dapat menguntungkan perekonomian lokal (Segev, One Palestine, Complete: Jews and Arabs Under the British Mandate, 2000).

Namun, kedatangan gelombang besar imigran Yahudi di awal abad ke-20 mulai menimbulkan ketegangan dengan penduduk Palestina asli. Penduduk Arab Palestina khawatir dengan kedatangan besar-besaran ini, yang mereka lihat sebagai ancaman terhadap identitas dan hak mereka di tanah leluhur mereka sendiri. Ini menjadi awal mula dari gesekan dan ketidaksetujuan antara kedua kelompok ini.

Pada akhir periode kekuasaan Utsmaniyah, setelah Perang Dunia I, situasi semakin memburuk dengan Deklarasi Balfour yang dikeluarkan pemerintah Inggris tahun 1917. Deklarasi ini mendukung pembentukan "tanah air nasional bagi orang Yahudi" di Palestina, yang pada waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Utsmaniyah. 

Deklarasi ini memicu kontroversi dan meningkatkan ketegangan antara komunitas Arab dan Yahudi di Palestina.

Referensi:

Donner, F.M., The Early Islamic Conquests, Princeton University Press, 1981.
Lewis, B., The Arabs in History, Oxford University Press, 2002.
Finkel, C., Osman's Dream: The History of the Ottoman Empire, Basic Books, 2006.
Quataert, D., The Ottoman Empire, 1700-1922, Cambridge University Press, 2005.
Laqueur, W., A History of Zionism, Tauris Parke Paperbacks, 1972.
Segev, T., One Palestine, Complete: Jews and Arabs Under the British Mandate, Little, Brown and Company, 2000.
İnalcık, H., The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600, Weidenfeld & Nicolson, 1973.
Barkey, K., Empire of Difference: The Ottomans in Comparative Perspective, Cambridge University Press, 2008.
Doumani, B., Rediscovering Palestine: Merchants and Peasants in Jabal Nablus, University of California Press, 1995.

Teknologi Lainnya